Menulis Itu Pekerjaan Ulama


Dr Firdaus Muhammad 

Menulislah dengan membahasakan kata hati. Niscaya mereka membacanya dengan mata hatinya, itulah hikmah dan khidmatmu.  
- Dr Firdaus Muhammad MA - 

NAMA dan wajahnya selalu menghiasi layar televisi, surat kabar hingga media online yang berbasis di Sulawesi Selatan. Kadang muncul sebagai narasumber yang membahas perihal politik.

Tapi lebih sering sebagai penulis. Di surat kabar Tribun Timur, ia adalah penulis tetap untuk kolom Literasi Ulama.

Kolomnya rutin terbit setiap edisi Jumat, sekali sepekan. Sesekali juga muncul sebagai penulis opini di Tribun Timur dan Fajar, dua koran berpengaruh di Sulawesi Selatan.

Aktivitasnya tergolong padat. Tugas rutinnya sebagai pengajar di Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.

Selain di kampus, ia juga aktif memberi ceramah dari masjid-masjid dalam kapasitasnya sebagai pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Makassar.

Kendati aktifitasnya padat, Dr Firdaus Muhammad MA selalu menyempatkan menghadiri undangan diskusi yang digelar berbagai organisasi kemahasiswaan, pemuda dan ormas.

Termasuk aktif dalam diskusi Forum Dosen di Gedung Tribun Timur sekali sebulan.

Walau tergolong sibuk, hebatnya ia justru makin produktif saja menulis.

Bagaimana rahasianya? Berikut bocorannya yang disampaikan kepada saya melalui whatsApp.

Sejak kapan mulai menyenangi profesi menulis?
Sejak tahun 1994. Waktu itu saya masih mondok di Pesantren An Nahdlah di Jalan Tinumbu Dalam No 12, Kelurahan Bunga Eja Beru, Kecamatan Tallo, Kota Makassar. Umur saya ketika itu, 17 tahun.

Pimpinan pondok pesantren kami, AGH Muh Harisah, kerap menasihati kami agar bisa menulis. Katanya waktu itu,"Menulis itu pekerjaan ulama".

Semua kitab kuning di pesantren merupakan karya ulama. Bahkan ada yang menulis hingga puluhan jilid.

Pesan beliau, hanya ada dua pilihan yakni: jadi penulis atau engkau ditulis. Prinsipnya, menulis itu ibadah jangan tergoda popularitas yang bermuara kesombongan.



Waktu itu, Anda suka menulis tentang apa?
Saya suka menulis tentang apa saja. Terutama sejarah. Saya dan beberapa teman pondok kemudian menerbitkan brosur bernama risalah An-Nahdlah. Terbit stensilan dengan jumlah 4 halaman. Ketika itu saya dipilih sebagai pemimpin redaksinya.

Mungkin karena keaktifan itu, saat umur 18 tahun, saya diminta ikut menulis sejarah Pesantren An-Nahdlah yang dibimbing langsung AGH Muh Harisah. Sejak itu saya suka menulis gaya bertutur.

Sayangnya, risalah yang kami buat tak berumur panjang. Setahun setelah saya kuliah di IAIN (kini: UIN) Alauddin Makassar, risalah ini akhirnya tak terbit lagi.

Lalu saat mahasiswa, makin rutin menulis?
Waktu mahasiswa jenjang strata satu, gairah menulis saya makin bertambah. Agar gairah ini punya media yang bisa menampung, saya dan beberapa teman kuliah kemudian sepakat membuat media mahasiswa. Namanya bulletin Fokus.

Di buletin ini, saya diberi amanah lagi sebagai pemimpin redaksi. Sembari itu,  saya juga terpilih sebagai Ketua Forum Jurnalis IAIN Alauddin tahun 1999. Kala itu saya juga aktif di Pemuda Pers Al Markaz al Islami Jenderal M Jusuf, Kota Makassar.

Hobi menulis ini kemudian berlanjut saat kuliah S2 hingga saya diterima sebagai dosen IAIN Lampung. Sementara sejak tugas di Makassar, sudah beda ritme-nya waktu di Lampung, hehe.

Kapan tulisan Anda pertama kali muncul di media mainstream? 
Waktu berada di Lampung pada 2001 lalu. Ketika itu, saya menulis artikel berjudul Perang Antarperadaban. Terbit di Lampung Post.

Artikel ini saya tulis merespon peristiwa 11 September 2001. Peristiwa ini ditandai dengan aksi teroris membajak tiga pesawat komersial yang kemudian ditabrakkan ke gedung WTC di New York dan Pentagon di Washington, Amerika Serikat.

Peristiwa yang menewaskan ratusan jiwa itu kemudian dibalas dengan gempuran Amerika Serikat ke Afganistan.

Waktu itu saya masih kuliah program magister di Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Bandar Lampung.


Perasaan waktu tulisan Anda pertama kali terbit di koran harian?
Sama perasaanya bagi penulis lain yang pertama kali dimuat tulisannya di media: pasti senang tak terkira sehingga ingin menulis terus. Tentu saja saya sangat bersyukur dan bahagia. Sejak itulah terasa kalau menulis itu candu.

Sejak itu, saya kemudian rutin mengirim tulisan di Lampung Post. Dari keaktifan mengirim artikel itulah saya bisa kenal langsung redaktur opini Lampung Post.

Karena saya merasa bisa menunaikan pesan AGH Muh Harisah justru saat saya berada di kampung orang sebagai perantau.

Saya juga sempat rutin berkunjung ke kantor redaksi Lampung Post untuk berdiskusi. Kadang diskusi tentang tulisan atau isu aktual. Kadang diminta menulis opini untuk momen tertentu.

Kadang saya juga membuat tulisan analisis untuk halaman satu Lampung Post. Waktu itu saying sering menulis dengan fokus soal politik dan agama.

Kemudian saya membentuk kelompok diskusi politik, agama dan budaya. Namanya Afkar Circle. Komunitas ini rutin diskusi bulanan di kantor redaksi Lampung Post. 

Magnet diskusi ini karena diikuti sejumlah akademisi dan aktifis di Lampung. Keberadaan Pemimpin Umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya sebagai pemandu diskusi juga menjadi magnet diskusi ini.

Honor tulisan pertama Anda di media mainstream kala itu?
Honornya Rp 75 ribu. Tapi bagi saya, bukan soal honor. Tapi lebih karena ada kepuasan tersendiri mana kala tulisan kita dimuat di media massa kala itu.

Apa tips khusus agar tulisan kita tembus di media massa? 
Kita harus mengenal karakter media yang kita tuju. Berikut space-nya. Lalu menulis sesuai isu aktual sebagai apresiasi berita media dari perspektif tertentu.

Membangun relasi dengan redaktur opini media juga ada bagusnya. Hal ini untuk mendapat koreksi atau masukan untuk perbaikan kualitas tulisan kita.

Tulisan yang Anda kirim ke media massa, dimuat semua atau ada yang tak terbit? 
Alhamdulillah selama menulis di Lampung, saya tidak pernah punya pengalaman tulisan saya ditolak. Kalau media di Makassar, awalnya beberapa tulisan saya ditolak.

Selanjutnya lebih sering dimuat. Kalau tulisan ditolak, saya tidak berbuat apa-apa melainkan mengikhlaskannya, hehe….

Selain di Lampung Post, di koran mana saja sering memuat tulisan Anda?
Radar Lampung, Tribun Timur, Fajar dan Koran Sindo. 

Hingga saat ini, sudah berapa buku karya Anda: baik karya sendiri maupun antologi?

Alhamdulillah sudah 12 buku. Di antaranya:

- Politik Ulama-Ulama Politik (UIN Alauddin Pres, 2012)
- Komunikasi Politik Islam (UIN Alaudddin Press, 2013)
- Jurnalisme Profetik (UIN Alauddin Press, 2014)
- Politik Profetik (UIN Alauddin Press, 2015)
- AGH. Muh. Harisah: Mewariskan Pesantren, Merawat Jejak Leluhur (Nala Litera, 2016)
- Anregurutta: Literasi 100 Ulama Sulselbar (Nala Litera 2017)

Pernahkah Anda mengikuti pelatihan jurnalistik atau penulisan kreatif
Saya pernah mengikuti Pelatihan Jurnalistik Dasar di Pesantren An-Nahdlah dan IPNU tahun 1994.

Saya juga sempat ikuti Inhouse Training Washilah 1997 di Kampus UIN Alauddin Makassar. Saya juga pernah ikut pelatihan penulisan puisi di Lampung pada 2002 lalu.

Malam, subuh, pagi, siang atau sore waktu spesial Anda saat menulis artikel?
Saya tidak memilih waktu khusus untuk menulis. Tapi memang yang lebih baik sesudah shalat subuh. Tapi saya berusaha menulis tuntas untuk menjaga keutuhan idenya, kemudian mengkhususkan editing.

Sekarang lebih nyaman menulis di kafe karena bisa menulis tuntas. Sebab waktunya terbatas dan berbayar. Kalau di rumah sering terganggu aktifitas lain.

Beda kalau buku, fokus membuat pola dan kerangka melalui outline dulu sehingga distribusi gagasannya bisa sistematis.

Saran Anda bagi calon penulis agar bisa mudah menulis artikel? 
Lebih awal menetapkan niat untuk berkontribusi bagi masyarakat banyak. Dengan begitu selalu ada spirit menulis dan komitmen menjaganya dengan terus menulis.

Kemudian soal teknis dan karakter tulisan lebih awal membuat kerangka ide lalu menarasikannya sesuai space yang tersedia. Sekarang saya belajar menulis yang berkisah atau bertutur.

Lalu dari sering menulis sejarah lalu beralih ke filsafat dan sastra. Saya merasa ini hal baik. Ketiganya wajib bagi penulis untuk mengolah logika, rasio dan rasa bahasa.

Lebih suka menulis artikel di smartphone atau laptop?
Menulis di laptop karena sudah terbiasa. Hanya sesekali saja pakai smartphone jika kondisi deadline.

Kalau menulis artikel populer untuk media, biasanya apa yang Anda lakukan sebelumnya?

Rutin membaca dan menyimak berita-berita aktual yang disajikan koran nasional, koran local, televisi maupun media online

Saya juga memerhatikan momen tertentu terkait politik. Lalu saya meresponsnya dalam perspektif komunikasi politik.

Saat menulis artikel untuk dikirim ke media massa, biasanya butuh berapa jam dan berapa gelas kopi?

Biasaya menulis opini butuh 30 menit dan mengeditnya juga 30 menit. Lalu butuh pengendapan dan diedit lagi sebelum dikirim sehingga rata-rata butuh sejam dan secangkir kopi untuk satu artikel.

Siapa orang yang turut memengaruhi atau mewarnai proses menulis Anda?
Banyak orang mewarnai proses menulis saya. Di antaranya ada sosok AGH Harisah, Dr Aswar Hasan MSi (dosen Universitas Hasanuddin) dan Hadi Daeng Mapunna (dosen UIN Alauddin Makassar). Mereka banyak memotivasi saya.

Almarhum AGH Harisah pernah berpesan ke saya, “Jadilah penulis atau engkau ditulis. Menulis adalah pekerjaan ulama.”

Kalau guru menulis saya saat masih di Lampung, ada Djajat Sudrajat (jurnalis senior Media Indonesia), Hesma Eryani (Lampung post) dan  Isbedy Stiawan ZS dan Iswadi Pratama (sastrawan)

Sosok lainnya, ada Goenawan Mohamad, Mahbub Junaidi hingga Emha Ainun Nadjib. Buku-buku karyanya saya anggap turut memengaruhi minat menulis saya. Meski saya akui sulit mengikuti karakter menulisnya.

Belakangan saya belajar menulis dari Alwy Rachman, Muhary Wahyu Nurba serta Gun Gun Heryanto terkait politik.

Apa saja keuntungan finansial dan nonfinansial yang Anda peroleh dari kemampuan menulis?
Bagi saya, menulis sejatinya diniatkan ibadah sehingga tidak diukur dari sisi finansial. Kadang justru saya mengeluarkan biaya beli buku sebagai referensi. Keuntungannya bukan materil tapi relasi sosial dan publik.

Semisal mendapat apresiasi dari banyak kalangan menjadi kebanggaan tak ternilai secara materil.

Apakah ada pengaruh tulisan Anda sering muncul di media dengan kerapnya Anda diundang jadi pembicara, tim seleksi dan narasumber media lain?

Tentu ada. Awal tiba Kota Makassar setelah kembali dari perantauan selama sembilan tahun, saya kembali menulis dan mengirim artikel ke media-media di Kota Makassar.

Lalu diminta beberapa media member komentar hingga menjadi narasumber di televisi. Juga akhirnya diundang pada acara-acara terutama terkait politik.

Semua ini berawal dari tulisan saya muncul di media. Karena setelah tulisan kita muncul di media, banyak orang tahu.

Saat di Lampung juga saya mengenalkan diri melalui tulisan-tulisan di media hingga berkenalan sejumlah tokoh setempat. Itulah segelintir manfaat dari menjadi penulis dan karya kita muncul di media-media.

Bagaimana Anda membagi waktu antara urusan keluarga, dosen, organisasi, dakwah dan waktu menulis? 

Persoalan membagi waktu cukup berat terutama ketika benturan jadwal. Prioritas antar jemput anak sekolah dan mengajar. Tetapi itu rutinitas yang terjadwal.

Khutbah jumat dan pengajian di pesantren juga terjadwal. Kadang agenda dadakan seperti menjadi narasumber atau kegiatan organisasi di MUI dan NU misalnya, kadang memang sulit mengaturnya.

Tapi saya menetapkan skala prioritas dan manajemen waktu. Sebab bagi saya, kunci menulis salah satunya disiplin waktu.

Solusinya, saya menulis agenda harian secara detail dan cecklist yang telah tertunaikan.

Bagaimana rahasianya Anda bisa mengumpulkan cerita-cerita tentang para ulama di Sulawesi Selatan yang rutin terbit setiap edisi Jumat di Tribun Timur, padahal sebagian para ulama itu telah lama meninggal?
Kisah tentang ulama terekam dari cerita kedua orangtua saya. Terutama ibu yang sejak kecil menanamkan cinta ulama semisal AGH Yunus Maratan.

Bahkan AGH Abdul Malik dan AGH Hamzah Manguluang dari As'adiyah pernah ke rumah atas undangan ayah.

Kemudian selama di An-Nahdlah Makassar, banyak kisah-kisah ulama diceritakan Beliau di pengajian. Apalagi setiap pagi dan sore beliau cerita keteladanan ulama saat sarapan di rumah

Sedangkan cerita awal saya menulis tentang ulama di Tribun Timur setelah Saiful Jihad, akademisi sekaligus aktivis NU di Sulsel, menulis di kolom perspektif tentang AGH Ambo Dalle.

Meski sekali terbit, tetapi saya tertarik. Setelah diskusi dengan AS Kambie (Manager Produksi Tribun Timur), dia mengizinkan saya menulis berkala di Tribun Timur.

Dari tulisan-tulisan itulah saya membuat buku. Judulnya: Anregurutta Literasi 100 Ulama Sulselbar.

Tidak mudah memang menulis tentang para ulama. Di antaranya karena data ulama di Sulawesi Selatan sulit dikumpul secara lengkap. Terberat untuk mendapat data lahir dan wafat serta foto para ulama tersebut.

Saking jarang data tertulis di buku, saya sering ke Pekuburan Arab Bontoala di Makassar. Demi untuk mendapatkan data lahir dan wafat sesuai tertulis di nisan.

Saya juga banyak terbantu dari beberapa kolega yang memberi data ulama untuk ditulis di Tribun Timur setiap edisi jumat

Saya memang serius meneliti ulama sejak menulis kolom literasi ulama di Tribun Timur. Datanya diperoleh dari cerita sejumlah ulama atau narasumber kompeten, semisal keluarga ulama yang ditulis.

Saya melakukan rekonstruksi untuk mencari titik temu terutama periodisasinya. Sebagian memori dari cerita yang saya peroleh terutama pengalaman personal.

Tahun 1997 saya sengaja silaturahim dengan AGH Daud Ismail, cukup bicara beberapa menit serta foto bersama lalu kembali lagi ke Makassar.

Tahun 1997 juga saya pernah ke AGH Abduh Pabbaja. Pernah tahun 1993 ke Bone bertemu AGH Junaid Sulaiman. Semua kenangan itu terekam hingga kini. Sering mengikuti pengajian AGH. Muh. Nur di Makassar melalui kitab Sunan Abi Daud.

Selama 7 tahun mengaji kitab kuning di hadapan AGH Muh Harisah juga menjadi pengalaman paling membekas bagi saya terkait kisah-kisah ulama.

Buku terbitan MUI Sulsel dan Litbang Kemenag Makassar juga sangat berkontribusi dalam mengayakan isi tulisan saya tentang para ulama di daerah ini.

Saran Anda untuk strategi menggairahkan budaya menulis di Sulawesi Selatan, khususnya calon penulis atau penulis pemula?
Perlu membangun spirit menulis sejak dini dan bergabung dalam komunitas-komunitas yang punya misi pengembangan keterampilan menulis. Juga perlu merambah media.

Simpul-simpul penulis juga perlu disinergikan lintas sekolah dan kampus di Sulawesi Selatan.

Salah satu yang kami lakukan adalah kembali lagi membuat kelas menulis di Pesantren An Nahdlah bekerjasama dengan Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulawesi Selatan. (*)


Data Diri
Nama: Dr Firdaus Muhammad MA
Lahir: Paselloreng Wajo, 20 Februari 1976
Pekerjaan: Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar

Riwayat organisasi:
- Aktif di IPNU saat masih di Pesantren An-Nahdlah
- Aktif PMII saat kuliah di UIN Alauddin
- GP Ansor dan AJI Bandar Lampung saat kuliah S2 UIN Bandar Lampung
- Lakpesdam NU saat S3 di Syarif Hidayatullah, Jakarta
- Sekarang di MUI Makassar, LDNU Sulsel, MUI Sulsel dan sebagai Dewan Etik AJI Kota Makassar

Riwayat pendidikan
- Ibtidaiyah hingga Tsanawiyah di Pesantren As'adiyah, Kabupaten Wajo
- Aliyah di Pesantren An-Nahdlah, Kota Makassar
- S1 UIN Alauddin (selesai 1999)
- S2 UIN Bandar Lampung (selesai 2003)
- S3 UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (selesai 2008).

Ayah: H Muhammad Pasarai
Ibu: Indo Sehe
Istri: Khaerun Nisa Harisah
Anak:
1. Malihatul Wajhi (Malihah)
2. Ahmad Dahiyyah (Yaya).


Komentar