
Jumlah perusahaan yang beroperasi di Kota Makassar masih terbilang minim yang telah mendaftarkan para buruh atau pekerjanya untuk mendapatkan jaminan kecelakaan kerja (JJK) maupun jaminan kematian (JK) pada PT Jamsostek. Padahal, ketentuan ini diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Dari 5.050 perusahaan yang memiliki izin beroperasi dan telah terdaftar di Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Makassar, baru kurang lebih 2.100 perusahaan yang telah mendaftarkan para buruhnya di PT Jamsostek.
Hal itu diungkapkan Kepala Bidang Pengawasan Disnaker Kota Makassar Harun yang menjadi pembicara pada Diskusi Program Penanggulangan Kemiskinan pada Komunitas Buruh yang digelar di Warkop 76, Toddopuli, Makassar, Kamis (1/7).
"Ini artinya ada lebih 50 persen perusahaan di Makassar yang belum mengindahkan aturan untuk melindungi tenaga kerjanya," ujar Harun.
Diskusi tersebut digelar Koalisi Pemberdayaan Masyarakat Sipil (KuPAS) yang didukung Ford Foundation dan Pemerintah Kota Makassar. Selain Harun, tampil sebagai pembicara lain adalah Haedir dari Divisi Hak Ekosob LBH Kota Makassar. Diskusi dipandu Agussalim, aktivis KuPAS. Sejumlah perwakilan organisasi masyarakat sipil hadir di acara ini.
Menurut Harun, salah satu yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar untuk "memaksa" perusahaan-perusahaan tersebut, khususnya yang bergerak di jasa kontruksi, agar mendaftarkan para buruhnya di PT Jamsostek adalah keluarganya Surat Edaran (SE) Wali Kota Makassar Nomor 560/37/S.edar/Disnaker/VI/2010. SE ini berisi perihal perlindungan tenaga kerja harian lepas, borongan, dan perjanjian kerja waktu tertentu pada sektor jasa konstruksi.
Pada SE tersebut ditegaskan bahwa setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD), BUMN atau BUMD, swasta nasional dan perorangan yang melaksanakan pekerjaan proyek pembangunan fisik atau jasa konstruksi di Kota Makassar, diwajibkan mendaftarkan proyek dan tenaga kerjanya/buruhnya kepada Program Jamsostek Sektor Jasa Konstruksi pada Dinas Tenaga Kerja Kota Makassar atau PT Jamsostek Kantor Cabang Makassar.
SE itu juga menegaskan bahwa setiap permintaan pembayaran atau pencairan termin pekerjaan fisik atau proyek pembangunan yang diajukan oleh penyedia jasa/kontraktor/pemborong kepada SKPD lingkup Pemkot Makassar wajib melampirkan bukti setor atau potongan Jamsostek. Hal ini berlaku mulai termin pertama hingga termin terakhir.
"Pelanggaran atas ketentuan ketenagakerjaan ini akan ditindaklanjuti dan diproses oleh Dinasker Kota Makassar sesuai perundang-undangan yang berlaku," tegas Harun.
Lemah Pengawasan
Harun juga mengungkapkan, pengawasan yang dilakukan pihaknya terhadap perilaku perusahaan-perusahaan di Makassar masih sangat lemah. Betapa tidak, jumlah pengawas yang dimiliki Disnaker Kota Makassar, hingga akhir Juni 2010, hanya 10 orang. Rencananya baru ditambah lagi dua tenaga pengawas dalam waktu dekat, sehingga nantinya berjumlah 12 orang.
Selain minimnya tenaga pengawas, dukungan fasilitas operasional bagi tenaga pengawas tersebut juga sangat kurang memadai. Betapa tidak, ke-10 tenaga pengawas itu hanya didukung dua unit sepeda motor untuk operasional.
Padahal, tambah Harun, jumlah perusahaan yang terdaftar di disnaker hingga akhir Juni, tercatat 5.050 perusahaan.
"Nah perusahaan-perusahaan itu kan perlu diawasi apakah dalam mempekerjakan buruh atau pekerjanya sesuai UU Tenaga Kerja atau tidak," papar Harun saat berbicara pada Diskusi Program Penanggulangan Kemiskinan pada Komunitas Buruh yang digelar di Warkop 76, Toddopuli, Makassar, Kamis (1/7)
Menurut Harun, karena keterbatasan tenaga pengawasan yang dimilikinya, ia berharap para pekerja/buruh mengadukan perusahaannya jika mereka tidak diperlakukan secara manusiawi. Misalnya para buruh/tenaga kerjanya itu tidak didaftarkan untuk mendapatkan Jaminan Kecelakaan Kerja (JJK) dan jaminan kematian (JK) pada PT Jamsostek.
"Jika ada perusahaan yang tidak mengindahkan UU tenaga kerja, termasuk memberi upah di bawah UMP (upah minimum provinsi), bisa diadukan di disnaker. Perusahaan yang melanggar tentu ada sanksinya," tegas Harun.
Sementara itu, menurut Haedir, UMP senilai Rp 1 juta bagi buruh di Makassar masih terbilang rendah. Karena nilai UMP ini hanya cocok bagi buruh di daerah-daerah luar Makassar.
"Mestinya upah buruh di Makassar tidak disamakan dengan upah buruh di daerah luar Makassar. Itulah kenapa perlu ada upah minum kota (UMK). Karena mestinya upah buruh di Makassar lebih tinggi dibanding upah buruh daerah lainnya. Karena harga kebutuhan buruh di Makassar jauh lebih mahal," uja Haedir. (jumadi mappanganro)
Catatan: tulisan di atas terbit secara berseri di Tribun Timur edisi 2-3 Juli 2010,
Komentar
Posting Komentar