Fajlurrahman Jurdi SH MH
SAYA mengenalnya sejak ia masih menjabat Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM) Sulawesi Selatan periode 2008-2009.
Kala itu, ia sudah rutin mengirimkan tulisan opini
ke Tribun Timur. Ia juga rutin
menginfokan sekaligus memberi ke saya buku karya terbarunya. Enak kan, hehe…
Menurut saya, masih berstatus mahasiswa S1 tapi
sudah menerbitkan buku karya sendiri adalah hal yang layak dibanggakan.
Setahu saya, mahasiswa S1 di Kota Makassar
yang menerbitkan buku karyanya belum banyak.
Itulah sosok Fajlurrahman Jurdi SH MH yang kini
mengabdi sebagai dosen di almamaternya. Saat ini juga dipercaya sebagai
peneliti di Pusat Kajian Konstitusi Universitas Hasanuddin.
Ia juga kerap diundang sebagai fasilitator dalam
berbagai training dan sebagai pembicara seminar, lokal maupun nasional
Walau tergolong padat kegiatan, hebatnya ia masih
produktif menulis artikel populer yang diterbitkan di sejumlah media massa.
Di antaranya Tribun Timur, Fajar dan majalah Suara Muhammadiyah.
Termasuk juga masih aktif menulis buku dan editor buku.
Karena itulah saya menganggap motivasi dan tipsnya
menjadi penulis produktif perlu diketahui banyak orang.
Saya berterima kasih
karena penulis buku Membalut Luka
Demokrasi dan Islam (2004) ini bersedia berbagi ‘rahasianya’.
Berikut ini ‘rahasia’ menulis Fajlurrahman yang
disampaikan saat bincang-bincang dengan dirinya, November 2017:
Sejak kapan mulai menyenangi dunia tulis
menulis?
Sejak kelas 2 di SMU 1 Belo, Kabupaten Bima. Saat
itu saya suka menulis puisi atau otokritik di majalah dinding (madding)
sekolah.
Siapa yang dorong Anda suka menulis kala
itu?
Tak ada ada yang dorong sebenarnya. Cuma saya suka
membaca apa saja sejak SMP.
Mungkin karena kebiasaan membaca itu, lalu muncul
kesukaan menulis saat di SMU. Puisi yang ditulis saat itu masih belum terlalu
baik karena hanya eskpresi reflektif orang kampung.
Hanya hobi yang tanpa sebab yang terlalu jelas.
Pokoknya saya suka nyoret. Mungkin karena masa puber yang sedang mencari jati
diri dan bentuk eskpresinya lewat puisi di madding, hehe….
Waktu SMU, adakah penyair yang Anda?
Saya sebenarnya gak pernah suka penyair. Saya justru
suka dengan para pemikir ilmu sosial seperti Max Weber, Josep Schumpeter, dll
Kalau menulis untuk media massa sejak
kapan?
Sejak semester satu di Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin. Kalau ini sumber inspiringnya Kak Syarifuddin Jurdi. Dia kakak
saya. Waktu itu dia mengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Jogyakarta.
Waktu itu, saya bisa menghabiskan waktu membaca berjam-jam
sehari. Setiap habis bacaan, saya
nyoret-nyoret di kertas kuarto. Saya sempat punya buku harian, tapi saya buang.
Apa pesan Syarifuddin Jurdi ke Anda ketika
itu?
Beliau pesannya sederhana saja. Katanya , kita tak
punya siapa-siapa dan tak punya apa-apa. Karena itu jangan berpikir sesuatu
bisa diperoleh dengan gampang.
Semuanya harus melalui perjuangan dan
pertarungannya besar.
Jika ingin menjadi ‘orang besar’ suatu ketika,
menderitalah dari sekarang dan fokuslah menulis. Karena hanya dengan cara itu
kehormatan bisa terjaga dan kebaikan terus bisa diperjuangkan.
![]() |
Sumber foto FB Fajlurrahman |
Media yang pertama memuat tulisan atau
artikel Anda?
Pertama kali di Identitas,
koran kampus Unhas yang sekali dalam dua pekan. U
sai Identitas, saya kemudian memberanikan mengirim tulisan ke media
mainstream yang ada di Kota Makassar yakni Fajar dan Tribun Timur.
Waktu itu saya bisa menulis dua atau tiga artikel setiap
hari. Alhamdulillah, di antara tulisan yang saya kirim ada yang nyangkut alias
dimuat di koran. Waktu itu saya sudah semester dua, tahun 2004 lalu.
Tapi ada juga yang tidak dimuat. Timbul kesadaran
saya ketika itu bahwa menulis tidak perlu harus dimuat di media. Tapi menulis
saja. Apapun nanti hasilnya, apakah dimuat atau tidak, itu hanya berupa bonus.
Bagaimana rasanya kali pertama tulisan
Anda muncul di surat kabar harian?
Dehh, jangan maki
bilang bahagianya, Kak. Saya paling bahagia ketika pertama kali dimuat di
Fajar.
Kemudian saya mulai punya harapan ketika Tribun Timur juga menerbitkan tulisan saya yang lain beberapa bulan
kemudian.
Karena dengan dimulainya di dua media ini, saya
berpikir bahwa mungkin saya mulai menjadi penulis.
Selanjutnya saya makin rajin
menulis untuk media. Termasuk di media lain seperti
Bima Post, Radar Bone, Suara Mandiri, Suara Muhammadiyah.
Bagaimana apresiasi teman dan dosen waktu
tahu artikel Anda muncul di koran?
Semua mengapresiasi dengan baik. Tentu disertai berbagai
masukan yang sangat membangun.
Kapan terbitkan buku kali pertama?
Hampir bersamaan saat awal-awal tulisan saya mulai
muncul di surat kabar lokal di Makassar atay tahun 2004 lalu.
Tapi ketika itu saya
masih menerbitkan buku secara Indie. Jumlah yang dicetak pun masih terbatas.
Judul buku pertama saya, Membalut Luka Demokrasi dan Islam.
Hingga hari ini, sudah berapa judul buku
karya Anda?
Alhamdulilllah hingga sekarang sudah 15 judul buku. Di
antaranya Delegitimasi Terhadap Komisi
Yudisial, Sporadisme Oposisi di
Indonesia: Sebuah Pengkhianatan Intelektual, Transendensi Politik Muhammadiyah: Moralitas untuk Pencerahan Peradaban
(Juthapek, Yogyakarta: 2007).
Buku lainnya berjudul Oposisi
Kelas Menengah Melawan Negara: Kesadaran Kaum Intelektual, Civil Society, Membalut Luka Demokrasi dan Islam (2004), dan beberapa lainnya.
Bagaimana tipsnya Anda mudah menulis
artikel?
Menurut saya, salah satu prinsip yang harus dipegang
oleh penulis adalah banyak membaca.
Saya menghabiskan waktu rata-rata lebih 4 jam perhari untuk membaca. Sekarang saya membagi waktu 10 jam itu untuk
membaca dan menulis.
Jadi, saya biasa selang seling membagi antara kedua
hal tersebut. Jika menulis buku, saya memulai dengan menentukan tema.
Kemudian
menyusun daftar isi dan mengumpulkan bahan berdasarkan sub bahasan.
Jika menulis artikel, saya hanya melihat kasus dan
membedahnya dengan teori.
Saya bisa menyelesaikan artikel hanya dua jam paling
lama untuk dimuat di media. Atau saya menulis 3 atau 4 puisi jika lagi mood datang.
Adakah waktu menulis yang Anda anggap
tepat menulis: pagi, siang, malam atau subuh?
Semua waktu saya anggap enak untuk menulis. Mungkin
karena menulis bagi saya telah berubah menjadi hobi atau mungkin kebutuhan.
Biasanya menulis di mana?
Ada tiga tempat favorit saya menulis sekarang: rumah,
kafe dan Perpustakaan Fakultas Hukum Unhas.
Saya suka menulis di perpustakaan
saat siang hari. Di kafe pada malam hari.
Lalu lanjut di rumah jika ada yang harus segera diselesaikan.
Di antara tiga tempat ini, saya paling enak menulis di
perpustakaan. Di mana saja, ide itu bisa mengalir. Intinya adalah lebih dulu
rajin membaca.
Saat menulis artikel, biasanya suka sambil
mendengar musik atau tidak?
Dulu saya suka menulis dalam situasi hening.
Belakangan ini, harus ramai baru bisa cepat-ka menulis.
Menulis untuk 1 artikel bisa menghabiskan
berapa gelas kopi?
Tak sampai satu gelas kopi kalau menulis satu artikel.
Kadang satu gelas kopi bisa dua artikel selesai. Satu artikel, rata-rata dua
halaman kwarto.
Biasanya dalam sebulan, beli berapa buku?
Tergantung kantong sih. Kadang saya beli buku hingga
lebih Rp 1 jutaan. Kadang-kadang juga hanya novel saja dibeli untuk dibaca.
Kenapa novel?
Karena dengan membaca novel, bisa memperhalus bahasa
tulisan kita. Karena itu, saya menganggap harus membaca novel.
Siapa novelis yang Anda suka karyanya?
Tidak ada satu novelis khusus. Saya hanya suka
novel-novel politik, gerakan sosial atau perang seperti Geroge Orwell, 1984,
dll
Kalau penulis lain yang Anda suka?
Saya sebenarnya suka baca buku-buku filsafat. Dulu pada
awal-awal saya suka bukunya Samuel Huntington, Michel Foucault, Francois
Fukuyama.
Kalau penulis Indonesia yang sering saya baca karyanya
di antaranya ada Yasraf Amir Piliang, Yudi Latif, Dhaniel Dhakidae.
![]() |
sumber foto FB Fajlurrahman Jurdi |
Mana kini lebih produktif menulis, saat
mahasiswa atau saat sudah sarjana atau saat jadi dosen?
Saat jadi sarjana hanya dua buku karya saya. Tapi
paling progress setelah menjadi dosen. Hanya dalam waktu dua tahun lebih saya
menulis sekitar tujuh buku.
Bagaimana Anda waktu antara membaca,
menulis, mengajar, urus keluarga, dll?
Saya juga kurang tahu juga. Karena mengalir saja
sebenarnya.
Mungkin karena komitmen pribadi saya untuk menulis besar, jadi saya
selalu sisihkan waktu harus menulis setiap hari meskipun hanya artikel.
Apa saja keuntungan finansial dan
nonfinansial yang Anda peroleh dari kemampuan menulis buku?
Kalau keuntungan finansial tak seberapa, jika dibandingkan
dengan biaya buku yang dibeli dan tenaga yang digunakan.
Yang nonfinansialnya
adalah keuntungan membangun jaringan, semacam social capital.
Bagi saya yang
utama adalah gagasan-gagasan kita terdokumentasi dan syukur jika karya kita
bisa bermanfaat bagi banyak orang.
Apa tips atau rahasia bisa memelihara
gairah menulis Anda?
Banyak org yang bilang bahwa menulis itu kadang
butuh mood. Saya menjalaninya dengan
hobi sehingga sebenarnya tidak ada tips khusus.
Sama dengan kalau ada orang yang
hobi naik gunung, tak perlu tips. Yang penting membaca, mau menulis.
Bagi yang berat memulai, mungkin pikiran pragmatis
seperti janji "popularitas", "janji hidup abadi", dan
bahkan "janji kaya raya" suatu ketika bisa ia tanamkan.
Kalau saat ini, saya tidak berpikir untuk hal-hal itu. Karena terbit atau tidak terbit, dimuat
atau tidak dimuat oleh media, saya tetap menulis.
Apa
pesan Anda kepada mereka yang ingin belajar menulis atau buat buku karya
sendiri?
Bagi mereka yang mau menulis, mulailah menulis.
Menulis bukanlah cita yang diucapkan, tapi tindakan yang harus dimulai.
Menulis
bukan refleksi, tetapi aksi. Berbeda dengan membaca. Karena membaca adalah
refleksi.
Sedangkan menuliskan hasil refleksi adalah tindakan. Karena itu,
ambillah tindakan dengan cara menuliskan hasil bacaan.
Banyak orang yang mau menjadi penulis, tapi tak
pernah mulai menulis. Padahal menulis bukan "mau menulis", tapi
"mulai menulis".
Apa saran Anda kepada pemerintah atau para
pihak agar budaya menulis tumbuh subur di Sulsel?
Mungkin perlu perhatian khusus. Semisal member penghargaan
dari negara atau pemerintah terhadap penulis.
Seandainya satu buku dihargai
layak, mungkin banyak orang yang mau menulis.
Royalti saya sebagai penulis, hanya 10% dari
penerbit. Karena terlalu besarnya pajak yang dipotong oleh negara kepada
penerbit. Belum lagi potongan lain di distributor, dll.
Penerbit dapatnya kecil, sehingga mereka member royalty
juga kecil ke penulis.
Saya termasuk penulis yang sudah agak lama, bagaimana dengan
penulis pemula? Mereka harus mencari uang untuk biaya sendiri bukunya supaya
terbit.
Setelah itu senyap tanpa penghargaan. Saya pernah
merasakan penderitaan itu pada awal-awal menerbitkan buku. (*)
Komentar
Posting Komentar