"Orang tidak diingat karena banyaknya yang dikerjakan. Tapi bisa saja hanya satu dua kata yang kita buat dan itu diingat." (Rusdin Tompo)
SELEPAS menjabat Ketua Komisioner Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan, Rusdin kian produktif menulis buku.
Hingga saat ini, puluhan buku telah dihasilkannya. Temanya
beragam. Kebanyakan tentang media dan anak. Sebagian lainnya tentang pemikiran
dan jejak tokoh.
Di antaranya buku seri Panduan Praktis Menonton Sehat untuk Guru (2007), buku seri Panduan Praktis Menonton Sehat untuk Anak
(2007), buku Panorama Penyiaran di
Sulawesi Selatan (2010) dan buku kumpulan puisi Tuhan Tak Sedang Iseng (2014).
Buku karya lainnya, Mohammad Hidayat, 730 Hari
Mengabdi (2015), buku Woro Susilo,
Polisi di Zona Merah (2015), buku Mimpi
Seorang Prajurit (2015) dan buku Menyelamatkan Anak-anak Tanpa
Kewarganegaraan (2016).
Gagasan-gagasannya tak hanya bisa dibaca dalam wujud
buku, tapi juga dapat dibaca di berbagai surat kabar maupun media online di Kota
Makassar.
Jauh
sebelum ia menjabat komisioner KPID Sulsel (2007-2010 dan 2010-2013), tulisan-tulisan
Rusdin sudah kerap dimuat di rubrik opini Tribun
Timur dan Fajar.
Produktifitas menulis alumni Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin ini layak diapresiasi. Sebab anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sulawesi Selatan
(1999-2000)
ini tergolong sibuk.
Hampir setiap hari, ia harus mengajar di beberapa
perguruan tinggi di Kota Makassar dan Kabupaten Gowa. Juga kerap diundang
sebagai pembicara seminar dan host/presenter radio.
Sekali sepekan juga menggelar Sajak Sabtu Sore.
Acara ini menghadirkan sejumlah penyair dan penulis untuk silih berganti
membacakan sajak karyanya.
Makanya predikat mantan Koordinator Pemberitaan
Radio Bharata FM (1996-2000) ini beragam: penulis, penyair, akademisi, pengamat
media, aktivis dan peneliti masalah anak hingga presenter radio dan televisi.
Lalu apa rahasia Rusdin yang bisa tetap produktif
menulis kendati tergolong sibuk?
Anggota Ikatan Penulis Indonesia Makassar (IPIM)
sejak 2004 ini
membocorkannya kepada saya saat bersua di Kafe Baca, Jalan Adhyaksa, Kota
Makassar, akhir 2017 lalu.
Berikut ini penuturannya kepada saya:
Sejak kapan senang menulis?
Sejak kelas 4 SD di Ambon. Waktu itu, saya suka pelajaran
bahasa Indonesia. Nilai mengarang saya selalu 30. Ini nilai tertinggi mengarang
dari guru kami saat itu.
Biasanya saya mengarang setengah halaman. Sering dibaca
kakak saya, Rustam Tompo. Dia selalu memberi apresiasi.
Selain mengarang bebas, ketika itu saya juga suka
menulis puisi. Waktu itu ada teman pindahan dari Sorong, Papua Barat. Ia
keturunan Ambon-Padang. Dia suka puisi. Lalu kami pun sama-sama buat puisi.
Saat SMP, saya makin suka menulis puisi. Sebab waktu
itu sering ada lomba menulis dan membaca puisi di kampung kami. Saya selalu
ikut lomba.
Saat SMA, saya dipercaya sebagai pemimpin redaksi
Majalah Dinding Sekolah. Di sini kemampuan saya menulis makin terasah.
Proses inilah yang saya rasakan sangat berpengaruh
sehingga saya menganggap menulis itu pekerjaan menyenangkan. Bukan beban.
Motivasi menulis saat itu?
Waktu itu sekadar suka saja. Dengan menulis, saya
bisa mengekspresikan perasaan dan kegelisahan yang saya alami. Termasuk
penderitaan saya sebagai anak yatim.
Ayah meninggal saat saya masih duduk kelas 2 SD.
Suasana itu bisa membuat saya mengekspresikan dalam bentuk tulisan.
Buku dianggap menginspirasi Anda menjadi
penulis?
Ada beberapa buku. Di antaranya buku serial novel
Lupus. Novel karya Hilman Hariwijaya saya suka sekali baca saat masih duduk di
bangku SMA.
Isinya: ringan, segar dan mudah dipahami. Untuk
membacanya, saya pinjam dari teman-teman. Maklum, waktu itu masih susah beli buku.
Lalu saat kuliah, saya suka baca buku-buku karya
budayawan Emha Ainun Nadjib dan Jaludddin Rakhmat, cendekiawan Muslim sekaligus
pakar komunikasi massa.
Buku-buku karya keduanya memberi wawasan yang luas. Juga
membangun perspektif dan enak dibaca.
Buku lain yang saya anggap ikut memotivasi saya
makin suka menulis yakni buku berjudul Berani
Gagal.
Judul aslinya Dare to Fail. Ini buku best seller internasional.
Penulisnya: Billi PS Lim, berkebangsaan Malaysia.
Isinya tentang biografi hidup penulisnya.
Mengisahkan kegagalan-kegagalan yang dilalui sang penulis semenjak kecil hingga
dia memulai merintis kariernya hingga menjadi seorang motivator besar.
Membaca buku ini, membangun keberanian saya untuk
berani mandiri dan bersikap.
Lalu ada Buku
Setengah Isi Setengah Kosong karya Parlindungan Marpaung dan buku From Zero to Hero karya Solikhin Abu
Izzudin yang terbit tahun 2006.
Buku ini saya anggap menginspirasi dan mampu
menenangkan kita dalam situasi kita mengalami pasang surut kehidupan.
Lainnya, buku berjudul Menjadi Manusia Pembelajar: Pemberdayaan Diri, Transformasi Organisasi
dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran Menuju Indonesia 2045. Ditulis
Andrias Harefa.
Juga ada buku Agar
Menulis-Mengarang Itu Gampang. Buku karya Andrias Harefa ini mendorong siapa
saja untuk berani menuangkan ide-idenya melalui tulisan.
Dari buku-buku inilah
yang ikut memotivasi saya terus menulis sampai sekarang.
Siapa sosok lain yang turut berjasa membantu Anda menjadi penulis?
![]() |
Sumber foto: Facebook Rusdin Tompo |
Siapa sosok lain yang turut berjasa membantu Anda menjadi penulis?
Di antaranya ayah saya. Walau usahanya berdagang
ayam, ia punya rasa bahasa yang bagus. Bayangkan, semua anaknya (11 orang)
diawali dengan huruf R.
Sosok lainnya adalah kakak pertama saya, Rusly
Tompo. Dia remaja masjid di kampung kami.
Saya selalu dimintanya ikut lomba
menulis dan membaca puisi-puisi religi (puitisasi Al Quran) jika ada perlombaan
di masjid dalam rangka hari-hari besar Islam.
Kakak sulung saya ini tampil menjadi motivator
sekaligus memberi ruang saya berkreasi dalam hal menulis.
Ada juga teman SMA saya. Namanya Zairing Salampessi
alias Embong Salampessi. Dia seorang ilustrator Suara Maluku (Sumal).
Waktu
itu, dia suka bertanya tentang apa saja yang saya tulis atau saya bikin. Dia
sering bertanya ke saya dan akhirnya secara tidak langsung melatih saya
menjawab.
Motivator saya juga adalah Fadhly A Natsif yang saat ini menjadi dosen di
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar. Dia senior saya di Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin.
Waktu itu masih sama-sama kuliah, kami sering
diskusi dan kajian hukum bersama.
Saat itu dia juga tercatat sebagai Ketua
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Hukum Unhas dan bergabung di
identitas, media internal mahasiswa Unhas.
Dia selalu mendorong saya menulis. Saya ingat kata-katanya,
“Kalau kamu mau menulis, tulis saja dari apa yang kita lakukan atau paling
dekat dari kita,” pesannya yang sulit saya lupakan sejak kuliah hingga saat
ini.
Sosok yang saya sulit pula saya lupakan adalah Prof
Dr Mansyur Ramli, mantan Rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI).
Waktu itu
saya ikut gabung di Lembaga Peduli Anak (LPA) Sulawesi Selatan yang diketuai
Prof Mansyur.
Dia memberi saya keleluasaan menulis tentang
persoalan anak di media massa terbitan Makassar.
Jika ada tulisan saya muncul di
media, saat itu juga dia menelepon dan menyampaikan bahwa dia telah membaca
tulisan saya di media.
Respon dari Beliau makin mendorong saya terus menulis
dan mengirim tulisan-tulisan ke media.
Tulisan Anda pertama kali dimuat di media massa?
Saat kuliah semester empat di Fakultas Hukum Unhas,
saya menulis untuk tabloid Identitas. Judulnya Seni dan Tanggungjawab Sosial.
Dari tulisan ini saya mendapat honor
dari identitas senilai Rp 2.500. Waktu itu tarif petepete kampus hanya Rp 200 per
orang.
Saking senangnya tulisan saya terbit, tulisan tersebut langsung saya
dokumentasikan. Alhamdulilah, sampai sekarang masih ada tersimpan.
Selain di identitas, di media mana saja
tulisan Anda pernah dimuat?
Lumayan sudah banyak media seperti Pedoman Rakyat, Fajar, Tribun Timur dan
sejumlah koran serta media dalam jaringan (daring) lainnya.
Tapi momen yang sulit saya lupakan adalah saat tulisan
saya untuk kali pertama dimuat di koran harian terbitan Makassar yakni Pedoman Rakyat. Judulnya Penanganan Pengungsi Anak. Ketika itu
tahun 2000.
Bagaimana ceritanya sehingga Anda menulis
tentang Penanganan Pengungsi Anak?
Saya menulis ini karena ada kejadian. Waktu itu Lembaga
Perlindungan Anak (LPA) Sulsel yang yang masih berkantor di Jl Andi Tonro,
Makassar, diundang berbicara di Hotel Sedona (kini Hotel Aryaduta) untuk
membahas penangangan HIV dan AIDS.
Prof Mansyur Ramli yang ketika itu menjabat Ketua
LPA Sulsel diundang menjadi salah satu pembicara. Saya kemudian diminta
membantu membuatkan poin-poin yang akan disampaikan saat berbicara.
Namun saat hari H, Prof Mansyur berhalangan hadir
karena bertepatan waktu menerima tamunya dari luar negeri.
Dia kemudian meminta saya mewakili beliau untuk menjadi narasumber. Ini kali pertama saya jadi narasumber (1999-2000).
Dia kemudian meminta saya mewakili beliau untuk menjadi narasumber. Ini kali pertama saya jadi narasumber (1999-2000).
Sempat ada yang nyinyir kenapa saya yang jadi
narasumber mewakili LPA. Akhirnya saya merasa, timbul semangat menulis. Ada
semangat perlawanan cerdas yang anggap saya remeh.
Jadi ide membuat tulisan di media juga sekaligus
sebagai penegasan sebagai eksistensi bahwa saya paham persoalan.
Nah saat ada keinginan menulis untuk media, tercetus
ide untuk menulis tentang Penanganan
Pengungsi Anak. Sebab waktu itu, Indonesia lagi dilanda konflik.
Kebetulan pula LPA, di mana saya bergabung, sedang mengurus pengungsi anak akibat konflik Timor Timur yang ditampung di Masjid Sultan Alauddin di Komples UMI Jl Racing Centre (kini Jalan Prof Basalamah).
Kebetulan pula LPA, di mana saya bergabung, sedang mengurus pengungsi anak akibat konflik Timor Timur yang ditampung di Masjid Sultan Alauddin di Komples UMI Jl Racing Centre (kini Jalan Prof Basalamah).
Saya terlibat langsung dalam penanganan pengungsi
anak ini. Jadi kurang lebih saya paham dan tahu apa yang mesti yang tuangkan
dalam tulisan.
Alhamdulillah, tulisan pertama yangs aya kirim ke Koran Pedoman Rakyat langsung dimuat. Jedanya tak sampai sepekan.
Alhamdulillah, tulisan pertama yangs aya kirim ke Koran Pedoman Rakyat langsung dimuat. Jedanya tak sampai sepekan.
Saat itu, mungkin belum banyak tulisan tentang anak
yang menjadi korban konflik. Saya memberi perspektif baru. Belakangan saya
akhirnya rutin menulis perihal isu soal anak.
Apa yang perlu diperhatikan jika ingin membuat artikel untuk surat kabar?
Apa yang perlu diperhatikan jika ingin membuat artikel untuk surat kabar?
Mungkin setiap
orang berbeda pandangan. Tapi kalau saya, kita harus ada
spesifikasi isu.
Usahakan isu yang kita angkat ke media, minimal dipahami dan kita kompeten membahasnya. Makanya sebelum menulis, kita mesti bertanya dalam hati, apa kompetensi kita.
Usahakan isu yang kita angkat ke media, minimal dipahami dan kita kompeten membahasnya. Makanya sebelum menulis, kita mesti bertanya dalam hati, apa kompetensi kita.
Dengan spesifikasi isu yang rutin kita tulis, akan membentuk brand diri. Saya selalu berupaya menspesialkan menulis tentang anak dan media. Sehingga mungkin sebagian orang menganggap brand saya adalah soal anak dan media.
Kalau penulis lain, mungkin menspesialkan menulis
tentang lingkungan dan HAM. Ada juga special menulis tentang fashion atau
kuliner. Sah-sah saja. Tak ada yang salah.
Hal lain yang harus kita lakukan sebelum menulis
adalah wajib rajin membaca. Terutama bacaan yang berkaitan dengan isu yang akan
kita tulis. Tujuan lainnya untuk mengupdate informasi dan wawasan kita.
Nah pada tulisan yang kita buat, harus ada data. Tren:
naik atau turun. Juga sebaiknya ada ilustrasi kasus: untuk merasakan human interest-nya. Ada penggambaran
kasus.
Nah saat menulis, tidak perlu terlalu memikirkan batasan saat menulis. Menulis saja. Lalu edit sesuai kebutuhan.
Dalam artikel, harus ada perspektif kita terhadap isu yang diangkat. Lalu menawarkan solusi, sesederhana apa pun.
Juga harus rutin menulis sekecil atau sependek apapun. Bisa ’dipanggil’ kapan saja. Semacam draf-draft tulisan. Ilustrasi kasus dan teori.
Untuk menjadi penulis andal, kita mesti meluangkan
waktu mengikuti kajian-kajian terhadap berbagai isu. Hal ini baik untuk melatih
analis kita.
Perlu juga kita membaca tulisan-tulisan orang untuk
komparasi. Terutama tulisan tentang isu yang sama dengan isu yang akan kita
tulis.
Tak kalah penting juga, kita mesti merawat hubungan dengan teman-teman di media.
Dengan menjalin hubungan baik, kita bisa memberitahukan via telepon, pesan singkat (SMS) atau whatsApp kalau kita telah mengirim tulisan ke media tersebut.
Butuh berapa hari bisa jadi 1 tulisan artikel untuk dikirim ke media?
Kadang bisa sehari satu artikel selesai. Kadang butuh
6 jam. Tapi kadang juga hanya dua jam saja. Tergantung kesibukan saat itu.
Sebelum menulis artikel, apa yang Anda lakukan?
Membaca. Diskusi. Nonton. Biasa juga jalan-jalan ke toko
buku untuk lihat referensi dan membaca sudut pandang beberapa penulis.
Biasanya menulis saat kapan?
Saya menulis saat
tak ada kegiatan mengajar atau menghadiri undangan. Biasanya waktu antara
sepulang mengantar anak sekolah hingga waktu menjemput, saya gunakan untuk
menulis.
Paling sering larut malam hingga subuh.
Paling sering larut malam hingga subuh.
Selama ini, saya sudah biasa tidur mulai pukul 8 atau 9 malam. Pukul 12 malam, saya bangun. Saat itulah saya sering menulis hingga subuh.
Biasanya, setelah tiga hari begadang menulis, maka pada hari keempat, saya bebaskan diri dari aktivitas menulis. Saya hanya merapikan file dan koreksi-koreksi ringan.
Hari berikutnya lanjut lagi menulis. Begitu selalu.
Sedangkan Sabtu dan Minggu, sering juga saya habiskan waktu untuk menulis. Terlebih jika ada yang harus kejar deadline.
Tempat favorit Anda menulis?
Di rumah. Kebetulan di rumah ada meja multifungsi
yang diletakkan di ruang tamu. Meja ini difungsikan sebagai meja makan jika
waktu makan.
Setelah itu jadi meja kerja. Nah di meja inilah saya suka menulis. Saya selalu menulis sembari menghadap pintu depan rumah.
Setelah itu jadi meja kerja. Nah di meja inilah saya suka menulis. Saya selalu menulis sembari menghadap pintu depan rumah.
Katanya banyak artikel Anda yang pernah terbit di koran telah dibukukan?
Benar. Sudah ada delapan judul buku kumpulan tulisan
saya yang pernah terbit di sejumlah koran. Umumnya tentang media dan anak.
Kalau menulis 1 buku, berapa lama?
Bisa satu setengah bulan hingga dua bulan.
Tergantung banyaknya halaman dan referensi yang dibutuhkan.
Karena saya menanggap menulis itu sudah profesi, sering jika sedang menulis bahan-bahannya bisa dapat segera dan idenya biasa datang sendiri.
Hal ini mempercepat saya menyelesaikan satu tulisan atau buku.
Makanya memang perlu juga dikuasai tips membaca cepat. Tapi tetap bisa menangkap inti pesan yang sesuai/relevan dengan apa yang kita tulis.
Apa saja keuntungan menulis?
Keuntungannya sangat banyak. Baik dari sisi
finansial maupun nonfinansial. Misalnya, gegara menulis buku, saya pernah diberi
sepeda motor sebagai bayaran uang muka.
Selepas menjabat komisioner di KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah) Sulsel, produktifitas saya menulis buku kian gencar.
Dari honor-honor penulisan buku itu, saya bisa bayar cicilan rumah, biaya kuliah anak, beli laptop dan beragam lainnya.
Keuntungan lainnya, jejaring makin bertambah. Kita
juga makin kerap diundang sebagai pembicara hingga tawaran menulis lainnya.
Kita juga dihargai banyak orang.
Dengan tulisan, kita juga bisa menunjukkan komitmen
atau keberpihakan pada isu anak dan media dan beragam keuntungan lainnya.
Rasanya tak cukup ditulis semua.
Bagaimana Anda memelihara gairah menulis?
Rutin membaca. Saya juga berusaha tidak berhenti menulis. Sesederhana pun isinya.
Tulis saja tentang apa yang kita minati. Apa yang kita alami atau tentang fenomena yang ada di sekitar kita.
Rutin membaca. Saya juga berusaha tidak berhenti menulis. Sesederhana pun isinya.
Tulis saja tentang apa yang kita minati. Apa yang kita alami atau tentang fenomena yang ada di sekitar kita.
Mohon diceritakan kisah awal Anda membuat buku?
Pertama
kali saya buat buku pada tahun 1999. Judulnya, Anak. Isinya kumpulan kata-kata bijak tentang
anak. Disertai ilustrasi.
Diterbitkan LPA Makassar dan UNICEF (tahun 2000). Sempat dijual di Toko Buku Gramedia.
Saya membuatnya ketika masih sebagai pengurus Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Makassar. Saat itu LPA dipimpin Prof Mansyur Ramli (mantan Rektor Universitas Muslim Indonesia).
Waktu itu saya juga masih bekerja di bagian pemberitaan Radio Bharata FM. Setelah buku pertama ini ‘lahir’, saya kian bergairah menulis dan membuat buku.
Diterbitkan LPA Makassar dan UNICEF (tahun 2000). Sempat dijual di Toko Buku Gramedia.
Saya membuatnya ketika masih sebagai pengurus Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Makassar. Saat itu LPA dipimpin Prof Mansyur Ramli (mantan Rektor Universitas Muslim Indonesia).
Waktu itu saya juga masih bekerja di bagian pemberitaan Radio Bharata FM. Setelah buku pertama ini ‘lahir’, saya kian bergairah menulis dan membuat buku.
Besaran biaya membuat buku?
Yang saya syukuri,
banyak buku saya itu terbit bukan atas biaya sendiri. Tapi ada beberapa lembaga
yang membiayai. Di antaranya Badan Perpustakaan dan Kearsipan
Sulsel.
Ada juga karena
pesanan tokoh. Jadi yang membiayai penerbitannya adalah tokoh yang memesan dibuatkan
buku.
Bagaimana ceritanya sampai diongkosi Badan
Perpustakaan dan Kearsipan Sulsel?
Setiap buku yang saya tulis terbit, saya rutin memberi
ke Badan Perpustakaan dan Kearsipan Sulsel.
Jadi sangat banyak buku karya saya tersimpan dan bebas dibaca di perpustakaan Badan Perpustakaan dan Kearsipan Sulsel.
Jadi sangat banyak buku karya saya tersimpan dan bebas dibaca di perpustakaan Badan Perpustakaan dan Kearsipan Sulsel.
Belakangan pihak Badan Perpustakaan dan Kearsipan
Sulsel yang menawarkan membiayai penerbitan buku saya. Hubungan ini kami rawat.
Pernah juga menulis buku biografi?
Saya belum berani menulis buku biografi. Sejauh ini hanya
menulis tentang kiprah dan kinerja seseorang pada periode tertentu.
Bagaimana Anda melihat potensi penulis dan
penerbitan buku di Sulsel
Penulis di Sulsel itu sangat banyak. Mulai penulis yang
masih duduk di tingkat SMP hingga pensiunan PNS, banyak di Sulsel.
Cuma rasanya masih kurang mendapat penghargaan dari pemerintah. Tantangannya, pembeli buku karya penulis lokal masih minim.
Cuma rasanya masih kurang mendapat penghargaan dari pemerintah. Tantangannya, pembeli buku karya penulis lokal masih minim.
Tapi saya sangat yakin, profesi penulis sangat
menjanjikan dari sisi finansial.
Honor terendah dan tertinggi yang pernah
ada terima sebagai penulis profesional?
Saya pernah menerima honor menulis dari Rp 35 ribu,
Rp 30 juta hingga Rp 40 juta. Honor Rp 35 ribu saya terima setelah resensi buku
yang saya buat terbit di koran Pedoman Rakyat.
Honor dari Pedoman Rakyat saat itu saya langsung belikan lagi buku.
Honor dari Pedoman Rakyat saat itu saya langsung belikan lagi buku.
Kalau honor Rp 30 juta dan Rp 40 juta itu saya
terima karena membuatkan buku untuk dua jenderal polisi. Dia membayar saya
sebagai penulis profesional.
Jujur, adanya honor bagi penulis adalah salah satu
yang memicu atau memotivasi produktifitas penulis. Jadi sekali lagi menjadi
penulis professional itu sangat menjanjikan.
Berapa kini tarif Anda jika diminta menulis
buku?
Sesuai saja kemampuan pemesan. Tapi kini standar saya,
Rp 20 juta – Rp 30 juta untuk satu buku.
Apa saran Anda untuk penulis pemula
Menulis saja. Banyak
tulisan sederhana kok yang ternyata bisa dibuat. Jangan pikir susah-susah.
Jangan pikirkan apakah tulisan-tulisan kita akan
dibukukan atau dimuat di media massa atau tidak.
Tulis saja. Bayangkan, puisi saya yang 30 tahun lalu, akhirnya baru diterbitkan saat ini.
Camkan juga bahwa menulis itu adalah bagian dari proses menawarkan gagasan kita kepada orang lain.
Tulis saja. Bayangkan, puisi saya yang 30 tahun lalu, akhirnya baru diterbitkan saat ini.
Camkan juga bahwa menulis itu adalah bagian dari proses menawarkan gagasan kita kepada orang lain.
Smart Quotes
Orang tidak diingat karena banyaknya yang dikerjakan. Tapi bisa saja hanya satu dua kata yang kita buat dan itu diingat.
Menulis adalah cara saya juga beribadah. Melengkapi ibadah-ibadah kita yang lain yang mungkin selama ini bolong-bolong. (jumadi mappanganro)
Orang tidak diingat karena banyaknya yang dikerjakan. Tapi bisa saja hanya satu dua kata yang kita buat dan itu diingat.
Menulis adalah cara saya juga beribadah. Melengkapi ibadah-ibadah kita yang lain yang mungkin selama ini bolong-bolong. (jumadi mappanganro)
= = =
Data Diri
Nama: Rusdin Tompo SH
Lahir: Ambon, 3 Agustus 1968
Pendidikan:
- SDN 7 Ambon (Tamat 1982)
- SMPN 3 Ambon (Tamat 1984
- SMAN 2 Ambon (Tamat 1987)
- FH Unhas (Selesai 1992)
* Keluarga
- Ayah: Tata Tompo
- Ibu: Ke’na Daeng Bollo
- Istri: Gita Nurul Ramadhan
* Anak:
1. Gilang Benazir Adinara
2. Galang Nuraga Attar Nusantara
3. San Valentino Mahatma Gandhi
* Organisasi
- Pengurus Senat Mahasiswa Fak Hukum Unhas (1989-1990 dan 1990-1991)
- Bidang Humas dan Hubungan Antar Lembaga di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan, 1989-2000.
- Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sulawesi Selatan, 1999-2000.
- Anggota Solidaritas Perempuan Komunitas Anging Mamiri, sejak 2000.
- Bidang Perencanaan Program, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan, 2003-2005.
- Koordinator Advokasi dan Litigasi Jaringan Ornop HIV/AIDS dan Narkoba Sulsel (JASS), sejak 2004.
- Wakil Sekretaris Komite Aksi Provinsi (KAP) Sulawesi Selatan Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan untuk Anak, sejak 2004.
- Anggota Ikatan Penulis Indonesia Makassar (IPIM), sejak 2004.
- Koordinator Tim Telepon Sahabat Anak (TeSA) Makassar, mulai 2006.
- Pembina Lingkar Pena Pariwisata Toraja (LPPT).
- Pembina Persatuan Radio Kampus Makassar (PERAKMAS).
- Sekretaris Masyarakat Pemantau Film (MPF), sejak 2016..
Karya buku sebagai penulis atau editor:
1. Ayo Lawan Korupsi (Diterbitkan LBH-P2i dan Partnersip for Governance Reform in Indonesia - 2005)
2. Anak, Media dan Politik (Diterbitkan KPI Sulsel - 2009)
3. Tuhan Tak Sedang Iseng (Buku kumpulan puisi. Diterbitkan Rayhan Intermedia, 2014)
4. MasaDPan Makassar: Dinamika Demokrasi dan Pemerintahan (Diterbitkan Badan Arsip, Perpustakaan dan Pengolahan Data Kota Makassar, 2014)
5. Mengawal Demokrasi di Udara (Diterbitkan Pijar Press, 2015)
6. Bintang Kecil dalam Kotak Ajaib (Diterbitkan Pijar Press, 2015)
7. Mohammad Hidayat, 730 Hari Mengabdi (Diterbitkan Rayhan Intermedia, 2015)
8. Woro Susilo, Polisi di Zona Merah (Diterbitkan Rayhan Intermedia, 2015)
9. Mimpi Seorang Prajurit (Diterbitkan Rayhan Intermedia, 2015)
10. Menolak Takluk (Diterbitkan LBH Makassar)
11. Cerita Tentang Toraja (Diterbitkan Pijar Press, 2015)
12. 7342 Mengawal 115 Pulau (Diterbitkan Pijar Press, 2015)
13. 4,5,6 Spiritualitas Adex Yudiswan (Diterbitkan Media Qita, 2016)
14. Pudji Hartanto Iskandar: Kenapa Makassar (Refleksi Kritis Seorang Bhayangkara).Diterbitkan Rayhan Intermedia, 2016
15. Iwan Tompo, Maestro Lagu Makassar. (Diterbitkan Pustaka Sawerigading, 2017)
Kontak dengan Rusdin Tompo bisa melalui:
- Email: rusdin.tompo@gmail.com
- HP: 081543185183
Data Diri
Nama: Rusdin Tompo SH
Lahir: Ambon, 3 Agustus 1968
Pendidikan:
- SDN 7 Ambon (Tamat 1982)
- SMPN 3 Ambon (Tamat 1984
- SMAN 2 Ambon (Tamat 1987)
- FH Unhas (Selesai 1992)
* Keluarga
- Ayah: Tata Tompo
- Ibu: Ke’na Daeng Bollo
- Istri: Gita Nurul Ramadhan
* Anak:
1. Gilang Benazir Adinara
2. Galang Nuraga Attar Nusantara
3. San Valentino Mahatma Gandhi
* Organisasi
- Pengurus Senat Mahasiswa Fak Hukum Unhas (1989-1990 dan 1990-1991)
- Bidang Humas dan Hubungan Antar Lembaga di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan, 1989-2000.
- Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sulawesi Selatan, 1999-2000.
- Anggota Solidaritas Perempuan Komunitas Anging Mamiri, sejak 2000.
- Bidang Perencanaan Program, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan, 2003-2005.
- Koordinator Advokasi dan Litigasi Jaringan Ornop HIV/AIDS dan Narkoba Sulsel (JASS), sejak 2004.
- Wakil Sekretaris Komite Aksi Provinsi (KAP) Sulawesi Selatan Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan untuk Anak, sejak 2004.
- Anggota Ikatan Penulis Indonesia Makassar (IPIM), sejak 2004.
- Koordinator Tim Telepon Sahabat Anak (TeSA) Makassar, mulai 2006.
- Pembina Lingkar Pena Pariwisata Toraja (LPPT).
- Pembina Persatuan Radio Kampus Makassar (PERAKMAS).
- Sekretaris Masyarakat Pemantau Film (MPF), sejak 2016..
Karya buku sebagai penulis atau editor:
1. Ayo Lawan Korupsi (Diterbitkan LBH-P2i dan Partnersip for Governance Reform in Indonesia - 2005)
2. Anak, Media dan Politik (Diterbitkan KPI Sulsel - 2009)
3. Tuhan Tak Sedang Iseng (Buku kumpulan puisi. Diterbitkan Rayhan Intermedia, 2014)
4. MasaDPan Makassar: Dinamika Demokrasi dan Pemerintahan (Diterbitkan Badan Arsip, Perpustakaan dan Pengolahan Data Kota Makassar, 2014)
5. Mengawal Demokrasi di Udara (Diterbitkan Pijar Press, 2015)
6. Bintang Kecil dalam Kotak Ajaib (Diterbitkan Pijar Press, 2015)
7. Mohammad Hidayat, 730 Hari Mengabdi (Diterbitkan Rayhan Intermedia, 2015)
8. Woro Susilo, Polisi di Zona Merah (Diterbitkan Rayhan Intermedia, 2015)
9. Mimpi Seorang Prajurit (Diterbitkan Rayhan Intermedia, 2015)
10. Menolak Takluk (Diterbitkan LBH Makassar)
11. Cerita Tentang Toraja (Diterbitkan Pijar Press, 2015)
12. 7342 Mengawal 115 Pulau (Diterbitkan Pijar Press, 2015)
13. 4,5,6 Spiritualitas Adex Yudiswan (Diterbitkan Media Qita, 2016)
14. Pudji Hartanto Iskandar: Kenapa Makassar (Refleksi Kritis Seorang Bhayangkara).Diterbitkan Rayhan Intermedia, 2016
15. Iwan Tompo, Maestro Lagu Makassar. (Diterbitkan Pustaka Sawerigading, 2017)
Kontak dengan Rusdin Tompo bisa melalui:
- Email: rusdin.tompo@gmail.com
- HP: 081543185183
Komentar
Posting Komentar