Antara Makassar dan Bandung





PADA awal Juli 2006 lalu, saya mendapat tugas dari redaksi Tribun Timur untuk memenuhi undangan dari Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Makassar. 

Undangannya adalah mengikuti rombongan studi banding para lurah dan beberapa camat se-Kota Makassar ke Bandung dan Jakarta.

Karena tugas dari kantor, saya pun ikut. Kota yang pertama dituju rombongan adalah Kota Bandung. 

Ini kali pertama saya menginjakkan kaki di ibu kota Jawa Barat tersebut. 

Di kota yang dikenal dengan julukan Paris Van Java ini memang mengesankan bagi siapa saja yang sempat berkunjung ke sana. 

Saya merasa ada banyak hal yang bisa dicontoh dari kota ini. Beberapa hal mengesankan itu di antaranya;

Model Bangunan Belanda

Membangun Kota Makassar mungkin ada baiknya bisa mencontoh spirit masyarakat dan pemerintah Kota Bandung dalam menata kotanya. 

Spirit yang dimaksud adalah semangat warga kota kembang ini untuk mempertahankan model model bangunan peninggalan zaman Belanda.

Bila berkeliling Kota Bandung, kota yang berpenduduk sekitar tiga juta di siang hari ini, tak jarang dijumpai bangunan bangunan peninggalan zaman pendudukan Belanda. 

Kalau pun ada yang diubah, hanyalah catnya saja. Tapi model bangunannya tetap alias tak berubah. 

Baik itu bangunan gedung gedung pemerintahan, seperti Kantor Gubernur Jawa Barat yang kerap disebut gedung sate, kantor Balai Kota Bandung, sekolah, maupun rumah rumah pribadi di kota ini.

Termasuk bangunan yang memiliki nilai sejarah, seperti gedung Konferensi Asia Afrika yang berada di Jalan Asia Afrika, terlihat terawat di kota ini. 

Saya merasa beruntung karena masih sempat melihat-lihat gedung yang didominasi warna putih tersebut.

Kendati bangunan peninggalan zaman Belanda itu sebagian telah ada yang berfungsi sebagai rumah makan, outlet, maupun toko, pemilik bangunan tersebut memilih tetap mempertahankan model bangunan khas Belanda. 

Maka memandang Kota Bandung tak ubahnya serasa berada di salah satu kota kecil Belanda atau paling tidak terasa hidup di zaman Belanda. Namun tentu saja tanpa kompeni lagi.

Apa yang kulihat di Kota Bandung tersebut terasa sangat beda dengan yang terjadi di Kota Makassar. 

Di kota berjuluk Serambi Madinah ini boleh dibilang kini makin jarang lagi ditemukan bangunan bangunan dengan model khas peninggalan zaman Belanda. 

Padahal, era tahun 80 an, bangunan model peninggalan Belanda masih cukup banyak di kota ini.

Sebagian besar bangunan dengan model khas peninggalan Belanda itu telah disulap menjadi rumah rumah toko (ruko). Sehingga Makassar pun kerap disebut sebagai kota ruko.

Untung saja, masih ada beberapa bangunan khas peninggalan zaman Belanda di Kota Makassar yang masih berdiri utuh, seperti gedung Pengadilan Negeri Makassar, rumah dinas gubernur, rumah dinas wali kota dan Balaikota Makassar. 

Selain itu masih ada Museum Kota Makassar, Benteng Fort Rotterdam, Gedung Mulo, gedung kesenian atau Sociteit de Harmonie, dan beberapa bangunan lainnya.

Mudah-mudahan saja bangunan-bangunan tua dan bersejarah tersebut bisa dipertahankan sepanjang masa. 

Harapan untuk melestarikan bangunan bersejarah ini harus selalu didengungkan. 

Sebab bukan mustahil bangunan bangunan peninggalan zaman pendudukan Belanda itu pun bakal berubah menjadi ruko atau diubah dengan model bangunan mengikuti zamannya.

Apalagi jika pemerintahannya tak tegas dan komitmennya untuk melestarikan bangunan bersejarah itu kurang. 

Maka yang akan terjadi bangunan khas peninggalan zaman Belanda itu tak tampak lagi. 

Padahal dengan mempertahankan bangunan-bangunan model peninggalan zaman Belanda itu bisa diarahkan menjadi obyek wisata bagi generasi masa kini maupun mendatang.

Itu berarti bisa mendapatkan kuntungan financial bagi masyarakat dan Pemerintah Kota Makassar. 

Juga tak kalah pentingnya bangunan-bangunan bersejarah itu bisa menjadi obyek pendidikan sejarah bagi anak cucu kita di masa kini dan mendatang.

Musik Khas Sunda

PEMERINTAH Kota Bandung dan masyarakat kota tersebut memang patut diacungi jempol dalam melestarikan dan memperkenalkan budaya mereka. 

Bukan hanya bangunan-bangunan khas peninggalan zaman Belanda yang dipertahankan dengan baik di kota ini. 

Tapi juga dalam melestarikan dan memperkenalkan lagu dan musik khas Sunda, suku asli kota tersebut.

Betapa tidak, lagu dan musik khas Sunda itu selalu saja terdengar di mana-mana. 

Di hotel, di rumah-rumah makan, bahkan di kantor pemerintahan kota itu pun, lagu dan musik khas daerah ini kerap saja diperdengarkan.

Saat kami ke Balai Kota Bandung, misalnya, kontingen disambut dengan alunan musik khas Sunda yang mengalun lembut dari hampir seluruh ruangan kantor Wali Kota Bandung itu.

Begitu pula saat kami tiba di Hotel Santika Bandung, tempat rombongan menginap selama dua malam di kota ini, musik khas Sunda mengalun dengan syahdu. 

Saat rombongan berkesempatan berkunjung ke beberapa rumah makan yang ada di kota ini, lagi-lagi alunan lagu dan musik khas Sunda terdengar sejak kami tiba hingga rombongan pulang.

Bukan hanya itu, ornamen-ornamen pada rumah makan yang sempat kami kunjungi di kota itu, juga menonjolkan seni budaya khas Sunda. 

Padahal, menurut pelayan rumah makan yang saya tanya, beberapa rumah makan yang kami kunjungi itu pemiliknya bukanlah orang Sunda. Melainkan pendatang yang berbisnis di kota kembang ini.

Mestinya hal di atas juga dapat ditiru para pengelola hotel, restoran, dan rumah-rumah makan yang ada di Kota Makassar. 

Biar ciri khas Kota Makassar juga terasa saat orang datang di kota berjuluk Kota Anging Mammiri ini.

Apalagi, harus diakui, Kota Makassar tidak hanya kaya menu makanan khas daerahnya, tapi juga kaya dengan lagu dan musik khas Bugis Makassar. 

Dengan selalu memperdengarkan lagu dan musik khas Bugis-Makassar, secara tak langsung pengelola hotel, rumah makan, restoran, itu turut mensosialisasikan budaya Bugis Makassar kepada orang.

Saya rasa ini juga bisa menjadi daya tarik pula bagi siapa saja yang baru datang di Kota Makassar. 

Apalagi Makassar saat ini sedang gencar-gencarnya mempromosikan pariwisata kota ini ke para turis, domestik maupun manca negara.

Benteng Rotterdam, Kota Makassar


Pejalan Kaki
Hal yang juga patut dicontoh dari program yang telah diterapkan Pemerintah Kota Bandung adalah penyediaan fasilitas publik dan sosial. 

Di Kota Bandung, pejalan kaki dan anak-anak maupun mereka yang telah berusia lanjut usia (lansia) sangat dihargai.

Betapa tidak, di kota ini fasilitas untuk pejalan kaki (pedestrian) itu tersedia di hampir seluruh sisi jalan di kota ini. 

Pedagang kali lima yang biasanya kerap menggunakan pedestrian seperti di Kota Makassar, tak tampak di kota kembang ini.

Sehingga pejalan kaki bisa dengan leluasa melintas di pedestrian tanpa terhalang keberadaan pedagang kaki lima (PKL). Di kota ini telah disediakan lokasi-lokasi yang boleh ditempati oleh PKK. 

Bahkan, tepian pedestrian yang berbatasan dengan jalan raya, tak jarang dipasangi pagar besi.

Hal ini membuat bagi pejalan kaki di Kota Bandung, tak perlu khawatir bakal tertabrak kendaraan bermotor. 

Kebijakan mengadakan pagar pada tepian pedestrian di kota ini mungkin bisa dimaklumi. 

Sebab jumlah kendaraan bermotor di Bandung sudah masuk kategori sangat padat. Jumlahnya jauh lebih banyak dari kendaraan yang ada di Kota Makassar. 

Namun dibanding Bandung, jalan di Kota Makassar masih lebih lebar.

Yang lebih menarik lagi, hampir sepanjang pedestrian di kota berpenduduk sekitar tiga juta ini ditanami tanaman hijau. 

Ada pula yang menaruh pas-pas bunga. Sehingga berjalan di pedestrian di kota ini tak ubahnya berjalan di sekitar taman saja.

Sementara bagi anak-anak maupun bagi yang telah lansia di kota ini juga disediakan taman khusus bagi mereka. 

Kedua taman ini berada di sekitar Markas Kodam Siliwangi. Di taman ini, fasilitas bermain untuk anak-anak dan tempat menghibur diri bagi para lansia juga disediakan.

Karena di taman ini ditumbuhi pohon-pohon besar yang rimbun, taman ini pun selalu saja tampak ramai sejak pagi hingga sore. 

Terlebih di hari-hari libur. Hal ini tampak kontras dengan taman-taman yang ada di Kota Makassar yang tampaknya masih belum dimanfaatkan secara maksimal.

Mestinya Pemerintah Kota Makassar tidak boleh bosan melarang PKL atau pengayuh becak yang kerap menggunakan pedestrian sebagai tempat berjualan atau memarkir becaknya di atas pedestrian.

Sangat disayangkan juga karena taman-taman hijau di Kota Makassar yang berfungsi sebagai paru-paru kota, kini makin sempit. 

Menyusul maraknya bangunan yang berdiri tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan. (*)

Catatan perjalanan ini ditulis 10 Juli 2006 dan dimuat secara bersambung di Tribun Timur 11-14 Juli 2006. 

Komentar