Mansyur Semma yang Kukenal


SELASA pagi itu saya belum mandi. Sedangkan istri saya sedang bersiap-siap menanti mobil jemputan ke tempat kerja. Tiba-tiba telepon selulerku berdering. Sebuah short message service (SMS) masuk.

Saya pun bergegas membukanya. Pikiran awal saya, mungkin SMS yang berisi pemberitahuan dari sumber yang menginginkan kegiatannya diliput atau ada perintah liputan dari redaktur. 

Sebagai jurnalis, menerima pesan pendek demikian sudah biasa. Namun dugaanku keliru. Rupanya pesan pendek elektronik itu berisi kabar duka. 

Inna Lillahi wa Inna Ilahi Rojiun. Telah berpulang ke Rahmatullah DR Mansyur Semma pada 04/03/08 subuh pkl 3.50 di RS Labuang Baji. Teruskan ke teman2 lainnya. +628124245492. Time: 06:29:15.

Saya tak mengenal nomor pengirim SMS itu. Karena tak ada nama pengirimnya. Nomornya pun tak terdaftar di memori ponselku. 

Tapi saya percaya ia pasti mengenalku dan mungkin saya mengenalnya. Informasinya pun menurutku serius. Saya kemudian memberitahukan kabar duka ini ke istri.

Sehari sebelumnya atau Senin sore, 3 Maret 2008, saya dan istri memang menyempatkan membesuk Pak Mansyur Semma di Rumah Sakit (RS) Pelamonia. RS tentara ini berada di Jalan Jenderal Sudirman, Kota Makassar.

Makanya saat menerima SMS itu, saya menganggap informasi tersebut serius. Tapi saya tetap butuh kepastian dari sumber yang bisa saya percaya. Saat itu saya langsung mengontak Pak Aswar Hasan untuk menanyakan kabar tentang Pak Mansyur.

“Benar, Dek. Dia meninggal tadi subuh. Saya harap datang-ki ke rumahnya,” tutur Pak Aswar dengan nada suara yang rendah. Ia memang selalu menyapa saya dan banyak jurnalis lain yang akrab dengannya dengan sapaan adik.

Saya sengaja menghubungi Pak Aswar, karena sebelumnya, informasi bahwa beliau sedang sakit dan dirawat di RS milik Kodam VII Wirabuana, itu juga saya peroleh darinya. 

Ia memberitahuku melalui telepon, Senin pagi 3 Maret 2008.

SahabatPak Aswar dan Pak Mansyur Semma memang dikenal bersahabat. Boleh dibilang persahabatannya cukup unik karena memiliki sejumlah kesamaan. 

Di antaranya, keduanya sama-sama berasal dari Palopo. Keduanya juga sama-sama berprofesi sebagai dosen Jurusan Komunikasi Unversitas Hasanuddin (Unhas).

Tidak hanya itu, keduanya pun dikenal sebagai dosen yang produktif menulis artikel di sejumlah media massa. Keduanya juga dekat dengan kalangan jurnalis serta aktivis mahasiswa di Makassar.

Keduanya juga sama-sama aktif di beberapa organisasi Islam seperti Pelajar Islam Indonesia (PII) Sulawsi Selatan, Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan, dan sejumlah organisasi Islam lainnya di daerah ini. 

Keduanya juga laris diundang sebagai pembicara pada banyak acara, baik bersifat ilmiah maupun acara serominal lainnya. Dari acara seminar, workshop, diskusi di radio, ceramah di masjid, maupun sekadar dialog di warung kopi.

Saat membesuk Pak Mansyur Semma, saya dan istri tak sempat bercakap dengannya. Pasalnya, saat kami tiba, kami lihat pria kelahiran Palopo, 10 November 1962 lalu, itu dalam kondisi tak memungkinkan diajak berkomunikasi. 

Sembari terbaring, sebuah O2, alat bantu oksigen, sedang terpasang di mulutnya. Di dekatnya, beberapa anaknya berdiri di samping ranjang, tempat Mansyur Semma terbaring.

Pak Aswar yang juga Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan, Kepala Dinas Kesehatan Kota Makassar dr Naisyah Tun Azikin dan beberapa staf Naisyah juga terlihat berdiri di sisi ayah empat anak itu.

Awalnya, saya ingin bertanya tentang penyakit apa yang menimpa Pak Mansyur kepada Pak Aswar. Namun saat itu saya melihat semua yang hadir di dekat Mansyur Semma terdiam. 

Saya pun batal bertanya. Saya ikut terdiam sembari menatap wajah pria bersahaja yang sedang terbaring itu.

Namun beberapa menit kami menemuinya, pria yang menjadi yatim sejak usia 11 tahun itu kemudian dipindahkan dari Rumah Sakit Pelamonia ke Rumah Sakit Labuang Baji. Pak Aswar dan Ibu Naisyah ikut mengantar.

“Dipindahkan karena di sini belum ada alat untuk mencuci darah. Kebetulan di Rumah Sakit Labuang Baji alatnya ada dan jaraknya dekat dari sini,” ujar Pak Aswar sembari berjalan meninggalkan RS Pelamonia.

Dari jawaban Pak Aswar, saya pun tahu kalau Pak Mansyur mengalami gangguan ginjal. Dalam hati, saya memanjatkan doa agar beliau diberi kesembuhan.

Sore itu juga saya mengirim laporan ke portal Tribun Timur tentang kondisi Pak Masyur yang kritis. Saya berharap kondisi Pak Mansyur itu segera diketahui orang banyak. Dengan harapan mereka mendoakannya agar bisa segera sembuh.

Buta
Saat mobil ambulans mengantar Pak Mansyur ke RS Labuang Baji, kami tak ikut. Sebab sore menjelang waktu salat magrib itu, saya harus segera ke kantor menulis berita. 

Tapi sebelum ke kantor, saya mengantar istri dulu ke rumah orangtuanya di Jl Landak Baru. Dalam perjalanan mengendarai sepeda motor, mungkin karena penasaran, istriku bertanya.

“Kak, siapa itu tadi yang sakit?” tanyanya pendek.

Saya sadar. Rupanya saya lupa memberitahukannya sebelum kami membesuk Pak Mansyur. Wanita yang saya nikahi dua tahun lalu ini memang tidak mengenal sosok Pak Mansyur. 

“Dia itu namanya Doktor Mansyur Semma. Matanya tak bisa lagi melihat sejak sekitar tujuh tahun lalu,” kataku sembari mengendarai sepeda motor meninggalkan rumah sakit.

Saya sengaja menyebut namanya lengkap dengan gelar doktor dan dengan penekanan bahwa dirinya tak bisa lagi melihat. Sebab saya ingin menjelaskan lebih banyak tentang sosoknya yang luar biasa kepada istri.

Kata saya, walau sudah buta, ia bisa menyelesaikan program doktornya di Unhas setahun yang lalu. Bukan itu saja, ia masih produktif menulis artikel untuk sejumlah media massa seperti Tribun Timur dan Fajar dan beberapa media massa lainnya.

Tema-tema tulisannya pun selalu yang sedang hangat dibicarakan atau diberitakan di media massa. Itu artinya, kendati sudah tak bisa lagi membaca, ia tak ketinggalan berita-berita, baik dari media cetak maupun elektronik.

Dari seorang teman yang juga akrab dengan almarhum, saya baru tahu kalau sejak matanya mengalami gangguan penglihatan, Pak Mansyur akhirnya lebih banyak meluangkan waktunya mendengarkan radio dan televisi yang menyiarkan berita. 

Setiap pagi juga, istrinya yang bernama Arfah Colleng, dengan setia membacakan isi berita di koran-koran harian. Jika istrinya berhalangan, maka tugas membacakan koran diambil alih anaknya.

Begitu pula jika Pak Mansyur hendak membuat artikel, istrinya atau anaknyalah yang mengetikkan kalimat yang dilontarkan almarhum di komputer hingga menjadi naskah yang siap dikirim ke media massa atau sebagai bahan materi seminar. Sungguh sebuah usaha luar biasa.

Soal buta yang dialaminya itu sendiri sempat menghebohkan dan menjadi berita sejumlah media cetak lokal di Makassar maupun harian nasional yang diterbitkan di Jakarta.

Saat itu marak diberitakan bahwa buta yang dialami mantan aktivis Kepanduan Hisbul Wathan Muhammadiyah itu karena ulah yang diduga malapraktek saat Pak Mansyur dirawat di Rumah Sakit DR Wahidin Sudiro Husodo. 

Ketika itu saya masih duduk di tahun kedua di Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.

Tepati Janji
Suatu hari, tepatnya pada Senin, 17 Desember 2007 lalu, saya mengikuti Diskusi Terbatas Membedah Badan Hukum Pendidikan (BHP) di Kantor Redaksi Kompas Biro Indonesia Timur di Jl Pengayoman, Panakkukang, Makassar. Diskusi ini dilaksanakan Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulawesi Selatan.

Diskusi itu menghadirkan dua pembicara yakni dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta DR Martiningtyas yang juga aktif menulis artikel tentang pendidikan di harian KOMPAS dan almarhum Mansyur Semma. 

Diskusi diikuti sekitar 20-an peserta yang terdiri para jurnalis dan pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Makassar yang intens menyuarakan penolakan BHP.

DR Martiningtyas dan Mansyur Semma sengaja diundang sebagai pembicara karena keduanya dikenal sebagai sosok yang getol menyuarakan penolakannya terhadap rencana pemberlakuan BHP dan menolak pembahasan Rancangan Undang-Undang BHP.

Sore itu, Makassar sedang diguyur hujan. Bagi sebagian orang, keluar rumah saat hujan adalah pekerjaan yang sulit. Saya dan beberapa peserta yang menanti kedatangan narasumber, sempat khawatir. Jangan-jangan Pak Mansyur tidak datang. Apalagi mengingat kondisinya yang buta.

“Pak Mansyur itu orangnya kalau diundang dan sudah mengiyakan akan datang, pasti ia usahakan datang,” ujar Kak Ani, wartawan Kantor Berita Nasional Antara yang juga pengurus PJI Sulsel sore itu.

Ternyata kekhawatiran itu tidak terbukti. Kak Ani memang betul. Baru beberapa menit berlalu kami membicarakan tentang apakah Pak Mansyur bakal datang atau tidak, ia pun tiba dengan menumpang mobil taksi. 

Dengan gayanya yang khas, mengenakan sandal, jaket, dan tongkat, ia turun dari mobil. Ia datang seorang diri memenuhi undangan PJI. Luar biasa.

Kekaguman saya pada sosoknya tidak berhenti sampai di situ saja. Saat tiba sesi tanya jawab pada diskusi tersebut, saya menyempatkan bertanya kepada kedua narasumber.

Belum selesai saya bertanya, sempat saya mendengar suara Pak Mansyur bertanya kepada Nasrullah Nara, Ketua PJI Sulawesi Selatan sekaligus wartawan dan Kepala Kompas Biro Sulawesi dan Indonesia Timur. 

Kebetulan saat itu Pak Mansyur duduk berdekatan dengan Kak Nara. Kurang lebih, ia berkata, "apakah yang sedang bertanya itu Jumadi dari Tribun Timur ya"?

Saya yang mendengar pertanyaan Pak Mansyur itu, langsung teringat, rupanya saya lupa memperkenalkan diri di awal sebelum mengajukan pertanyaan. 

Jujur, saya juga tak bisa menyembunyikan rasa terharu karena orang seperti dia, mengenalku kendati hanya mendengar suara saya.

Saya pun makin kagum saja pada dirinya yang memiliki ingatan yang kuat. Betapa tidak, saya bukanlah orang yang terbilang dekat dengannya. Saya berkomunikasi langsung dengannya pun tak selalu.

Namun kami memang sudah berkenalan sejak sejak saya masih duduk di bangku kuliah di Universitas Hasanuddin. 

Perkenalan pertama itu saat saya menjadi salah satu peserta pendidikan dan latihan dasar (diklatsar) jurnalistik yang dilaksanakan Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Universitas Hasanuddin tahun 1999. Pak Mansyur Semma menjadi salah satu pemateri. Saat itu, matanya masih normal.

Usai membawakan materi, Pak Mansyur melayani kami berdiskusi tentang kondisi Kampus Unhas dan gerakan mahasiswa saat itu. Di situlah kami secara tak langsung saling mengenal.

Pada saat itu, Pak Mansyur sudah menjadi dosen yang paling sering diundang kelompok mahasiswa membawakan materi. Tidak hanya kegiatan diklat jurnalistik, seminar, lokakarya, workshop, hingga diskusi-diskusi kecil yang digelar kelompok mahasiswa, ia kerap diminta menjadi pembicara.

Tanpa Honor
Yang saya kagumi, kendati pelaksananya adalah kelompok mahasiswa yang anggotanya hanya segelintir orang, Pak Mansyur tak pernah menyepelekan. Ia selalu hadir memenuhi undangan membawakan materi.

Padahal hampir semua kegiatan mahasiswa itu tak ada yang memberinya honor finansial. Paling banter, panitia memberinya plakat penghargaan kepada almarhum. 

Tak jarang, panitia hanya menyuguhkan segelas air putih dan beberapa potong kue serta ucapan terima kasih kepada almarhum.

Walau demikian, saya tak pernah mendengarnya mengeluh diundang menjadi pembicara tanpa imbalan finansial. Beberapa rekanku yang dekat dengan Pak Mansyur, juga mengaku serupa. 

Hebatnya, walau tak diberi honor, jika ia diundang ulang oleh organisasi atau kelompok tersebut, almarhum tetap datang memenuhi undangan itu dengan wajah yang cerah.

“Dia termasuk dosen yang bekerja dengan penuh dedikasi, ikhlas, dan konsisten. Pokoknya, di kalangan mahasiswa dan alumni Unhas yang mengenalnya, pasti sulit melupakan almarhum yang dikenal sederhana itu,” tutur Bahar Makkutana.

Bahar adalah alumni Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin. Ia menyampaikan hal itu saat kami bersama-sama ikut melepas jenazah Pak Mansyur di lantai satu gedung Rektorat Unhas, 4 Maret 2008 sekitar pukul 14.00 wita. 

Selanjutnya jenazah almarhum dibawa ke pekuburan keluarga besar Universitas Hasanuddin di Pate’ne, Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar.

Kekaguman saya pada sosoknya tak berhenti di situ saja jika ia menyampaikan materi, penjelasannya sangat runut. Didukung dengan suaranya yang nyaring dan penjelasannya yang rasional. 

Setiap ia menyampaikan materi, kami terbawa larut serius mendengarkannya. Tak membosankan. Tak membuat kami mengantuk mendengarkan bahasannya. 

Itulah juga mengapa ia selalu dibutuhkan oleh banyak komunitas mahasiswa maupun masyarakat lainnya yang menyelenggarakan obrolan warkop hingga seminar.

Itulah pula mengapa saya dan banyak orang merasa sangat sedih dengan kepergiannya. Kami kesulitan menjumpai dosen yang intelek, punya nurani, sederhana, vokal menyuarakan penyimpangan, berani menolak BHP pada saat banyak rekannya sesama dosen justru menginginkan BHP.

Soal keberaniannya, ia pernah membuktikan dengan cara mendaftar menjadi sukarelawan untuk dikirim ke Irak membantu rakyat di sana saat tentara Amerika Serikat dan koalisinya menyerang Irak jilid dua (2002-2003) untuk menggulingkan pemerintahan Saddam Husein.

Saat itu Pak Mansyur sudah tak melihat, namun rela ke Jakarta mendaftar sebagai relawan yang siap mati syahid melawan tentara AS. 

Namun niat ayah empat anak itu tak kesampaian. Ia dan sukarelawan lainnya saat itu dicegat pemerintah RI. Mereka dilarang pergi ke Irak. Almarhum pun pulang ke Makassar dan kembali mengajar.

Kepergiannya membuat kami sedih dan terpukul. Tapi kami tetap bangga karena Allah SWT mengizinkan kami mengenal sosoknya yang sederhana, intelek, amanah, dan punya daya ingat yang tajam.

Satu hal yang selalu terpatri di sanubari ini terhadap almarhum adalah nasihatnya untuk berkepribadian seperti lebah. Lebah hanya makan makanan halal dan memproduksi makanan halal yang bergizi tinggi. Tapi jangan mereka diganggu. Sebab ia akan melawan. 

Nasihat ini selalu disampaikan almarhum kepada mahasiswa, rekan, kenalan, dan kepada siapa saja jika ia didaulat memberi ceramah.

Sedangkan saat berbicara di depan para peserta diklat jurnalistik maupun jurnalis, almarhum selalu tak lupa menyampaikan bahwa seorang jurnalis harus bisa menghasilkan karya dalam bentuk buku. 

"Sebab tak lengkap seorang jurnalis dalam karirnya tanpa menghasilkan buku karyanya," pesan almarhum yang selalu saya ingat. 

Saya berdoa kepada Allah SWT memberiku hidayah dan upaya untuk mengamalkannya. Amin.

Semoga Allah SWT mengampuni segala dosa dan menerima segala amal kebajikan almarhum. 

Semoga pula keluarga, sobat, murid, handai taulan, dan mereka yang mencintai almarhum Pak Mansyur Semma diberi ketabahan dan keikhlasan melepaskan kepergiannya.

Semoga perilakunya banyak ditiru, khususnya pribadi saya. Kita berharap semoga Pak Mansyur Semma yang lain makin banyak. Amin Ya Rabbal Alamin. (*)

Makassar, April 2008

Komentar

  1. Pak Mansyur Semma adalah satu dari lima dosen yang saya kagumi yaitu jujur, intelektual dan sederhana tapi Pak Mansur Semma yang paling hebat karena dia juga buta. Lima dosen itu ialah Prof Sutandyo dari Unair, Alm Prof Sumihardjo dari UGM, Alm Prof A Rahman Zainuddin dari UI, DR Inu Kencana Syafei dari IPDN dan terakhir Alm DR Mansyur Semma dari Unhas. Mereka adalah dosen-dosen yang sederhana, jujur, intelektual dan berkualitas tidak seperti dosen-dosen sekarang yang borjuis.

    BalasHapus
  2. Ikut berduka cita kehilangan dosen panutan , walau pun baru kenal sebentar tp Sy punya kesan yg baik akan beliau dan menaruh hormat yg sangat pada beliau

    BalasHapus

Posting Komentar