Media Gathering HUT Makassar Kok di Jakarta

MEMPROMOSIKAN Kota Makassar adalah kegiatan yang patut didukung oleh warga kota ini. Tapi tentu metode promosi dimaksud adalah kegiatan mempublikasikan kota ini dengan cara efektif dan efisien menggunakan dana.

Prinsip ekonomi, dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya untuk memperoleh hasil tertentu dan pengeluaran tertentu untuk mendapatkan hasil maksimal, harus menjadi pegangan oleh siapa saja yang menyelenggarakan kegiatan. Tak terkecuali bagi kegiatan promosi Pemerintah Kota Makassar.

Saya sengaja mengawali tulisan ini dengan kalimat di atas untuk menyinggung sejumlah kegiatan yang dilakukan Pemerintah Kota Makassar, khususnya terkait promosi Dirgahayu Kota Makassar yang ke-400 tahun.

Salah satu kegiatan itu adalah Media Gathering 400 Tahun Makassar yang digelar di Jakarta. Kegiatan ini mengundang jurnalis dari berbagai media, baik asal Makassar maupun yang ada di Jakarta. Dari Makassar, tidak kurang 50 jurnalis yang diikutkan.

Info itu kutahu dari rekanku yang kebetulan salah seorang wartawan yang diundang mengikuti acara tersebut di Jakarta. Katanya, hitungannya satu media satu utusan. Padahal jumlah media massa, baik koran harian maupun media elektronik seperti radio berita dan cybermedia yang eksis di Makassar tak lebih 15 media. Kok bisa jumlah wartawan yang diberangkatkan sebanyak itu?

"Maklumlah. Soalnya, walau medianya sudah tak jelas waktu terbitnya, mau pun kontributor yang bertugas di Makassar untuk media yang berkantor di Jakarta, eh diikutkan juga," ujar Furqon Madjid, wartawan Tribun Timur, saat berbincang santai dengannya sepulang dari Jakarta.

Mau tahu apa kegiatannya di Jakarta? Para jurnalis tersebut hanya diberitahu bahwa Makassar diulang tahunnya yang ke-400 telah, sedang dan akan menyelenggarakan sejumlah event besar bernuansa Budaya-Makassar. Tujuannya agar para jurnalis itu memberitakannya melalui medianya masing-masing.

Bagi wartawan di Jakarta, mungkin saja itu hal menarik dan layak berita. Tapi sehari setelah pertemuan yang berlangsung di sebuah hotel itu, saya tidak membaca berita di harian nasional. Apatah lagi pemberitaan di televisi yang memang lebih suka menayangkan berita peristiwa daripada sebuah jumpa pers yang sifatnya hanya memberitahukan agenda kegiatan.

Andai saja wartawan di Jakarta itu diundang datang ke Makassar dan menyaksikan sejumlah lokasi pariwisata dan situs sejarah yang ada di ibu kota Sulawesi Selatan ini, saya kira justru lebih tepat. Wartawan Jakarta pasti suka karena bisa melihat dan merasakan langsung dinamika Kota Makassar.

Dengan cara demikian, seorang jurnalis bisa lebih kaya pengetahuan bila ia akan menulis tentang apa-apa yang bagus diberitakan tentang Kota Makassar diusianya yang ke-400 tahun. Soal biaya untuk mendatangkan mereka dan selama berada di Makassar, tak perlu khawatir.

Libatkan PHRI Lokal
Pemerintah Kota Makassar bisa bekerjasama dengan Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulawesi Selatan dan PHRI Kota Makassar maupun asosiasi travel. Pengusaha hotel bisa dimintai partisipasinya untuk, misalnya menanggung biaya makan dan penginapan para jurnalis tersebut selama di Makassar. Jumlah hotel berbintang di kota ini saya kira sudah lebih 20-an.

Kalau satu hotel misalnya menanggung biaya akomodasi untuk satu orang jurnalis, maka mendatangkan 20 jurnalis nasional dan internasional yang berkedudukan di Jakarta, rasanya cukup ringan. Pemerintah tak perlu keluarkan dana.

Menurutku, menanggung biaya tiket pergi pulang dan akomodasi untuk satu orang wartawan selama sepekan di Makassar oleh pengelola sebuah hotel berbintang, tak begitu memberatkan. Pun dengan cara tersebut, sebenarnya tak merugikan pengelola hotel.

Apalagi tujuannya hendak mempublikasikan Kota Makassar. Dengan demikian diharapkan bisa memancing keinginan lebih banyak orang di Jawa maupun dari luar negeri untuk berkunjung ke kota daeng ini.

Bila itu kemudian terjadi, efek positifnya kembali pula akan dirasa oleh para pengelola hotel. Dengan jumlah pengunjung terus meningkat ke kota ini, maka tingkat hunian hotel-hotel di kota ini pun bakal meningkat.

Ujungnya-ujungnya keuntungan hotel akan meningkat. Pengelola hotel pun akan terseyum. Tidak hanya itu, warga kota ini akan ikut merasakan efek dominonya. Insya Allah investor makin banyak yang melirik kota ini untuk menanamkan investasinya.

Lalu bagaimana dengan jurnalis Makassar yang diundang ke Jakarta? "Tak ada info baru," kata rekanku satu ini.

Sebab, katanya, apa yang disampaikan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin di hadapan wartawan di Jakarta sudah diketahui dan diberitakan sebagian wartawan asal Makassar di medianya masing-masing.

Lantas apa sebenarnya tujuan para wartawan itu diundang ke Ibu Kota RI itu? Sulit rasanya menapikan tuduhan sebagian orang yang menuding bahwa acara tersebut hanya sekadar menghambur-hamburkan uang.

Parahnya dana yang digunakan itu adalah uang rakyat. Tuduhan itu boleh jadi benar. Hal ini juga dikuatkan dengan pernyataan rekan lain yang kebetulan ikut dalam rombongan tersebut ke Jakarta.

Bayangkan saja. Jumpa pers yang digelar di hotel berbintang itu hanya berlangsung beberapa jam. Tepatnya pada hari Sabtu, 7 Juli 2007. Sementara rombongan wartawan asal Makassar sudah berada di Jakarta pada hari Kamis, 5 Juli 2007. Mereka baru balik pada Minggu, 8 Juli 2007.

Kata Furqon Madjid, memanfaatkan waktu lowong tersebut mereka diajak ke beberapa lokasi belanja dan wisata di Jakarta. Bahkan mereka sempat diajak jalan-jalan ke pusat belanja sepatu dan sandal di Cibaduyut dan Bandung, Jawa Barat. Mereka mengendarai bus pariwisata yang disewa Pemerintah Kota Makassar.

Kok Keluarga Ikut
Tidak hanya wartawan, dari foto-foto yang diabadikan sejumlah rekan wartawan yang ikut dalam rombongan tersebut, rupanya event "jalan-jalan" ke Jakarta dan Bandung itu juga dimanfaatkan para staf Humas Pemerintah Kota Makassar dan keluarganya ikut dalam tur.

Mumpung barangkali semua biaya akomodasinya ditanggung pemerintah. Walhasil, rombongan asal Makassar yang berangkat ke Jakarta itu boleh dibilang sangat gemuk.

"Kalau mau ditaksir, kami semua ada sekitar 60-an orang," ujar teman lain yang ikut dalam rombongan yang diberangkat ke Jakarta itu. Temanku yang kumaksud ini juga seorang wartawan, namun kami bekerja di koran yang berbeda. Tapi sama-sama terbitan lokal, Makassar.

Boros Biaya
Lalu berapa biaya yang dihabiskan untuk kegiatan tersebut? Walau saya tak mendapat info pastinya, namun sebenarnya bisa ditaksir.
Taruhlah misalnya, biaya tiket, hotel, transportasi dan makan minum selama di Jakarta, setiap jurnalis dan staf Humas Pemkot Makassar yang ikut dalam rombongan ke Jakarta itu sebesar Rp 3 juta setiap kepala. Total mereka yang dibiayai dalam tur itu sebanyak 60 orang. Maka total biaya yang dihabiskan minimal Rp 180 juta.

Namun jumlah tersebut menurut saya sudah cukup besar. Parahnya, faedahnya tak dirasakan sebagian besar warga kota ini. Padahal bila dana itu dialokasikan saja untuk memberi bantuan kredit tanpa bunga kepada rakyat miskin yang tak sedikit jumlahnya di Kota Makassar, misalnya Rp 5 juta per kepala keluarga, maka dengan dana Rp 180 juta, bisa membantu sedikitnya 35 kepala keluarga untuk membuka usaha kecil.

Bisa pula dana Rp 180 juta itu dialokasikan untuk membuat taman-taman baca di Kota Makassar. Hal ini justru sejalan dengan Gerakan Makassar Gemar Membaca, salah program unggulan Pemerintah Kota Makassar.

Jika untuk mengadakan sebuah taman baca yang sederhana itu menghabiskan dana sekitar Rp 12,5 juta, maka dengan dana Rp 180 juta itu setidaknya bisa digunakan untuk membangun taman baca 14 unit atau masing-masing satu kecamatan di Kota Makassar bisa dibuatkan satu taman baca.

Taman baca itu bisa diserahkan untuk dikelola selanjutnya oleh komunitas masyarakat setempat seperti karang taruna, remaja masjid setempat, atau bisa pula dikelola oleh pemerintah kecamatan. Namun syaratnya, taman-taman baca itu mesti bisa diakses oleh masyarakat secara bebas dan gratis. Terbuka selama tujuh hari sepekan, mulai pagi hingga tengah malam.

Dengan demikian diharapkan taman baca itu bisa maksimal dimanfaatkan oleh masyarakat. Bukan beroperasi sesuai jadwal kerja pegawai negeri yang hanya bekerja lima hari sepekan mulai pagi hingga sore. Sementara di malam hari atau hari libur justru ditutup alias tak menerima warga untuk membaca di taman baca tersebut.

Padahal justru di malam hari atau hari libur itulah justru biasanya banyak warga hendak memanfaatkan membaca di taman baca. Sebab di saat itulah mereka umumnya memiliki kesempatan atau waktu luang yang lebih leluasa.

Sebuah prestasi mulia bila duet Ilham-Herry lebih memilih memberikan kredit tanpa bunga kepada masyarakat miskin atau membuat taman-taman baca di tengah pemukiman warga, daripada mengajak rombongan wartawan, staf Humas Pemkot Makassar, dan keluarganya jalan-jalan ke Jakarta.

Sebab membawa rombongan dengan jumlah lusinan orang hanya sekadar hendak menggelar jumpa pers terkait rencana peringatan Dirgahayu 400 Tahun Makassar ke Jakarta sungguh hanya menguntungkan segelintir orang saja. Hanya menguntungkan mereka yang diundang ke Jakarta dan pengusaha travel yang ditunjuk Wali Kota Makassar untuk mengurus dan melayani pemberangkatan hingga pemulangan rombongan tersebut.

Boleh jadi, hal itu sebenarnya disadari. Namun toh tetap juga dilakukan. Mungkinkah karena travel yang digunakan adalah travel yang dikelola Aliyah Mustika yang tak lain istri Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin?

Kalau dugaan itu benar, berarti bisa dibaca bahwa penggunaan dana rakyat yang diamanahkan kepada pemerintah untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya itu, memang ujung-ujungnya hanya untuk memberi gizi bagi segelintir orang.

Saya berharap kegiatan yang sekadar menghamburkan uang itu tak perlu lagi dilakukan. Kita berharap dana yang diamanahkan ke pemerintah oleh rakyat selama ini dapat dimanfaatkan secara postif, rasional, efisien, dan tepat sasaran. Penggunaan anggaran pemerintah hendaknya selalu dalam bingkai untuk peningkatan kesejahteraan rakyat umumnya. Amin. ()

Makassar, 14 Juli 2007

Komentar