Menikmati Sore di Taman Rotterdam

DI Taman Rotterdam. Alhamdulillah, sore itu, langit terlihat cerah. Tak terlihat awan mendung seperti hari-hari sebelumnya sepanjang Desember 2008-Februari 2009. Mungkin ini pertanda bahwa musim hujan mulai berakhir di bulan Maret ini di Kota Makassar dan sekitarnya .

Belasan orang, laki-laki dan perempuan, duduk menikmati sore di taman ini. Beberapa anak-anak juga tampak riang bermain. Di taman ini, duduk santai cukup mengasyikkan. Sebab di taman ini, tersedia beberapa tempat duduk yang bisa dinikmati secara gratis.

Sembari duduk, kita juga bisa menyaksikan deburan ombak laut Pantai Makassar. Kendati penglihatan kerap dihalangi lalulintas kendaraan bermotor. Maklum, antara taman dan bibir pantai dibatasi jalan. Namanya Jalan Ujungpandang.

Asap kendaraan bermotor memang menjadi salah satu yang mengurangi kenikmatan bersantai di taman ini. Tapi untunglah di taman ini lumayan banyak tanaman bunga maupun pohon yang berfungsi sebagai penyaring udara kotor.

Kesimpulannya, menikmati sore di taman yang berada di halaman depan Benteng Rotterdam bisa menjadi salah satu pilihan bersantai sembari melepas stres. Apalagi di taman ini kita bisa menikmati makanan dan minuman dengan cara memesan melalui Warkop Rotterdam yang berdiri di pojok selatan Taman Rotterdam.

Bukan hanya itu, menurut pengelola taman ini yang juga kenalan lama, sudah sebulan terakhir, di taman ini juga tersedia hot spot yang bisa dinikmati secara gratis.

“Saya sengaja memasangnya, agar teman-teman yang mau internetan bisa ke sini. Itu kan juga untuk kepentingan masyarakat,” tutur Kak Uceng, begitu kerap saya sapa jurnalis Sun TV ini. Dulunya pria berambut geriting bertubuh mungil ini adalah wartawan Metro TV.

Menikmati sore sembari menyantap roti bakar dan Kopi Sanrego di taman ini, baru lagi kulakukan setelah lebih setahun tak pernah mampir di taman ini. Dulunya taman ini kerap disebut Kafe Gapensi. Pastinya mengapa taman ini kerap disebut Kafe Gapensi atau Taman Gapensi saya belum tahu jelas.

Ada sih yang bilang karena dulu di taman ini kerap menjadi tempat kumpul-kumpul para pengusaha yang tergabung dalam organisasi Gabungan Pengusaha Konstruksi (Gapensi).

Di kalangan aktivis mahasiswa dan LSM di Kota Makassar, taman ini memiliki sejarah. Bukan saja karena letak taman ini berada di halaman depan Fort Rotterdam, benteng yang dibangun oleh zaman penjajahan Belanda, tapi karena di tempat ini kalangan aktivis era Orde Baru banyak berdiskusi. Tema-tema diskusi kala itu, cerita teman yang dulu aktif diskusi di tempat ini, banyak membicarakan tentang kebobrokan dan kegagalan-kegagalan Presiden RI yang saat itu dijabat secara otoriter oleh Soeharto.

“Hal-hal yang dibicarakan termasuk sensitif dan berbahaya saat itu, karena bisa dianggap merongrong pemerintah Soeharto dan bisa-bisa kita ditangkap militer,” tutur Anwar suatu hari saat kami berkumpul di Sekretariat Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Universitas Hasanuddin (Unhas).

Anwar, yang dulunya adalah aktivis UKPM Unhas dan Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD) Makassar, kini berprofesi sebaga advokat dan masih tercatat sebagai pengurus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Makassar.

Saya pertama kali datang dan terlibat diskusi di taman ini, saat masih duduk di bangku kuliah semester tiga di Universitas Hasanuddin. Ketika itu tahun 1999. Kehadiran saya dalam kapasitas saya sebagai anggota UKPM Unhas dan kader baru AMPD Makassar.

Saat itu saya diajak Kak Hasbi L, saat itu menjabat Koordinator AMPD Makassar. Pada pertemuan itu, kami membicarakan rencana aksi menuntut pembubaran Partai Golkar dan mendesak pengurus Golkar meminta maaf kepada Rakyat Indonesia atas dosa-dosanya yang banyak menyengsarakan penduduk bangsa ini.

Karena tema dan jalannya diskusi menarik, kami baru bubaran diskusi saat malam telah larut. Karena masih terbilang baru aktif di gerakan, pada diskusi itu saya kebanyak mendengar jalannya diskusi. Tapi dalam hati, saya sangat sepakat dengan ide melakukan aksi menuntut pembubaran Golkar.

Waktu itu saya menganggap, jika Soeharto yang dilegalkan MPRS kemudian mengeluarkan keputusan untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) karena alasan beberapa dedengkot PKI terlibat kasus pembunuhan sejumlah jenderal TNI AD, maka giliran Golkar juga harus dibubarkan.

Alasan saya ketika itu sangat sederhana. Di zaman berkuasanya Golkar yang diatur dan dimotori Soeharto, betapa banyak aktivis mahasiswa dan rakyat yang kritis terhadap Soeharto dan Golkar dipenjara. Ada dugaan juga banyak yang dibunuh setelah dianaya sebelumnya. Artinya, kekejaman Soeharto dan para dedengkot Golkar, jauh lebih parah dari segelintir orang-orang PKI yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.

Pada pertemuan itu, seingatku, juga hadir Supriansyah, mantan aktivis Universitas Muslim Indonesia yang kemudian mendirikan Makassar Intelektual Law (MIL).

Jika pertama kali saya datang di taman ini untuk mendiskusikan rencana aksi menuntut pembubaran Golkar dari bumi Indonesia, maka pada sore ini, 8 Maret 2009, saya datang dengan maksud bersantai saja sembari berkumpul dengan teman-teman jurnalis lainnya.

Tapi sore ini, rupanya hanya saya saja yang datang. Teman-teman yang sudah menyepakati datang melalui keterangannya di jaringan facebook, tak seorang pun yang datang. Padahal melalui facebook, Abo yang bekerja sebagai jurnalis TV One, mengajak kumpul-kumpul.

Sejumlah teman yang tergabung di Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulawesi Selatan, sepakat dengan rencana itu. Saya termasuk setuju dan mengusulkan agar pertemuan di lakukan pada hari Minggu, 8 Maret 2009. Lalu Abo kemudian mengusulkan lagi agar pertemuan dilakukan sore hari dan tempatnya di Kafe Gapensi.

Beberapa teman yang membaca pesan itu di facebook mereka masing-masing kemudian menyatakan persetujuannya. Soalnya sudah lama kami tak pernah ngumpul-ngumpul santai, di luar lokasi liputan. Saya pun menyambut dengan senang hati rencana itu.

Setelah pamit ke istri, dengan mengendarai sepeda motor Honda Supra Fit 110 cc yang kubeli tahun 2005 lalu, saya pun meluncur ke Taman Rotterdam. Pikirku saat itu saya sudah agak telat dan teman-teman sudah banyak yang kumpul di sana. Sebab saat saya pamit ke istri, di rumah orangtua di Jalan Landak, Kecamatan Rappocini, Makassar, jam sudah menunjukkan pukul 4 sore lewat.

Tak sampai setengah jam, saya pun tiba di Taman Rotterdam. Dugaanku keliru. Rupanya teman-teman belum ada satu pun yang terlihat batang hidungnya. Tapi saya sempat ragu, jangan-jangan mereka ada yang datang, tapi sudah pulang.

“Dari tadi saya di sini, tidak ada teman-teman. Saya juga tidak diberi tahu teman-teman kalau mau datang ke sini,” ujar Kak Uceng, si pemilik Kafe Rotterdam, sembari mencuci motornya.

Untung ada Kak Uceng yang bisa ditemani ngobrol. Usai mencuci motornya, ia datang menemaniku bercerita tentang banyak hal. Salah satunya tentang rencananya mematenkan racikan Kopi Sanrego-nya. Jika ini berhasil katanya, inilah Kopi Sanrego pertama di Indonesia.

Kami baru mengakhiri cerita saat adzan Magrib baru saja usai berkumandang dari masjid. Perlahan, malam pun datang. Tak terasa, beberapa pasangan muda-mudi yang duduk di taman makin bertambah. Saya pun meninggalkan Taman Rotterdam.

Makassar, 8 Maret 2009

Komentar