Minyak Tanah dan Gas Elpiji Langka Lagi

SUDAH hampir dua bulan lamanya gas elpiji untuk kebutuhan rumah tangga masih juga langka di Kota Makassar. Lebih parah lagi minyak tanah. Hingga tulisan ini dibuat, sudah lebih tiga bulan warga kota ini dibuat pusing dengan kelangkaannya. Boleh dibilang kelangkaan dua jenis bahan bakar ini telah sangat mengganggu aktivitas warga kota, bahkan bisa dikata seluruh masyarakat Sulawesi Selatan.
Betapa tidak, dua jenis bahan bakar itulah yang selama ini menjadi bahan bakar utama yang digunakan warga untuk berbagai keperluan memasak. Kelangkaannya jelas cukup merisaukan. Warga pun harus berkorbang meluangkan waktu banyak hanya untuk mencari gas elpiji dan minyak tanah di beberapa sudut kota.
Saya termasuk salah satu warga yang merasakan dampak kelangkaan tersebut.Kalau pun beruntung mendapat gas elpiji isi12 kilogram di tingkat pengecer, harganya pun sudah mahal yakni di kisaran Rp 70 ribu hingga Rp 95 ribu per tabung isi 12 kilogram.
Bahkan, seperti diberitakan sejumlah media cetak terbitan lokal, di masa kelangkaan elpiji saat ini ada pengecer yang menjual elpiji isi 12 kilogram dengan harga hingga Rp 100 ribu-150 ribu seperti terjadi di Bone, Takalar, dan beberapa kabupaten lainnya. Padahal harga resminya berada di kisaran Rp 51 ribu hingga Rp 55 ribu per tabung untuk gas elpiji isi 12 kilogram.
Setali tiga uang dengan kondisi minyak tanah. Tak sedikit di antara warga kota ini pun terpaksa harus antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan beberapa liter minyak tanah di sejumlah pangkalan dan pengecer. Harganya pun melonjak drastis.

Di masa krisis minyak tanah saat ini, tak sedikit pengecer yang menjual minyak tanah di kisaran Rp 4.000 hingga Rp 5.000 seliter. Harga minyak tanah tersebut sudah lebih mahal dari harga resmi premium di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang dijual hanya Rp 4.500 per liter. Padahal harga eceran tertinggi (HET) minyak tanah di kota ini seharusnya hanya Rp 2.700 per liter.

Kendati harganya melonjak drastis, karena tak ada pilihan lain, warga pun tetap saja berbondong-bondong mencarinya. Bahkan rela antre berjam-jam untuk mendapatkannya.

“Mau apalagi. Mau masak pakai kayu bakar, justru jauh lebih mahal dan susahnya mendapatkan di kota ini,” ujar seorang teman, mengomentari kondisi antrean panjang ibu-ibu yang hendak membeli minyak tanah di sebuah pangkalan minyak tanah di Jl Gunung Bawakaraeng, Makassar, beberapa waktu lalu. Begitulah pemandangan di sejumlah sudut kota beberapa bulan terakhir di Kota Makassar.

Kurang Peduli
Kendati kelangkaan dua jenis bahan bakar itu telah meresahkan warga kota ini beberapa bulan terakhir, Pemerintah Kota Makassar, DPRD Makassar, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, dan DPRD Sulawesi Selatan, seakan tak terusik.
Para petinggi PT Pertamina UPms VII yang berkantor di Jl Garuda, Makassar, juga seakan tak peduli. Instansi yang bertanggungjawab mengenai distribusi BBM di wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua ini justru sempat membantah kalau minyak tanah dan gas elpiji langka di pasaran.

Humas PT Pertamina UPms VII Nadjmuddin Madjid, seperti diberitakan hampir seluruh media cetak local di Makassar, selalu mengatakan bahwa stok minyak tanah dan gas elpiji di Kota Makassar aman alias mencukupi kebutuhan masyarakat.

“Bahkan sebenarnya dalam rangka menyambut idul Adha, Natal, Tahun Baru, kuota untuk Makassar kita tambah sekitar 10 persen, baik minyak tanah maupun elpiji. Karena kita tahu penggunaan kedua bahan bakar ini meningkat di saat menjelang hari-hari raya,” jelasnya saat kuhubungi via telepon untuk bahan berita d I Tribun Timur, akhir Desember 2007 lalu.
Jika penjelasan itu benar, pertanyaannya kok gas elpiji dan minyak tanah di pasaran langka? Mungkinkah spekulan atau para penimbun yang hendak memainkan harga kembali berulah lagi?
Anehnya, walau kondisi kelangkaan itu telah menjadi pembicaraan masyarakat di hampir seluruh sudut kota ini maupun warga di kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan, lagi-lagi baik eksekutif maupun legislatif di kota ini maupun pemerintah provinsi seakan diam. Mereka baru berkomentar dan memanggil pihak pertamina saat kelangkaan minyak tanah dan gas elpiji itu ramai-ramai dijadikan berita headline utama pada sejumlah koran lokal.
Begitu pun jajaran petinggi PT Pertamina. Setelah ramai-ramai kondisi kelangkaan itu menjadi sorotan media harian dan telah mendapat kritikan dari lembaga legislatif daerah ini, barulah mereka melakukan operasi pasar untuk minyak tanah dan gas elpiji di sejumlah titik di kota ini.

Yah… begitulah tabiat kebanyakan pejabat di daerah ini. Mereka baru merasa terpanggil bila telah menjadi sorotan media. Kasihan benar rakyat ini yang baru diperhatikan nasibnya bila telah ribut dan demo ke pemerintah dan legislative atau menjelang pemilihan anggota dewan atau kepala daerah.

Alternatif Solusi

Kelangkaan minyak tanah dan gas elpiji yang dirasakan warga dua bulan terakhir ini, bukanlah kali ini saja terjadi. Bahkan boleh dibilang hampir terjadi pada setiap penghujung tahun. Anehnya, saban kelangkaan itu terjadi, yang selalu dilakukan sebagai solusi adalah dengan melakukan operasi pasar. Padahal, setiap kali dilakukan operasi pasar, kelangkaan itu tetap saja terjadi. Harga di pasaran pun tak juga segera turun.
Padahal, sebenarnya sangat banyak alternatf solusi yang bisa ditempuh agar kelangkaan bahan bakar itu tak kerap terjadi dan tak ada yang bisa “memainkan” atau menerapkan harga bahan bakar itu seenaknya saja penjual.
Alternatif solusi itu di antaranya adalah ke depan, pemerintah pusat harus mengeluarkan kebijakan bahwa pendistribusian minyak tanah dan gas elpiji itu melibatkan struktur pemerintahan mulai tingkat provinsi-kota/kabupaten, camat, lurah/kepala desa. Bahkan bila perlu hingga paling rendah yakni RW dan RT.
Pendistribusian minyak tanah dan gas elpiji itu tidak perlu lagi menggunakan jasa pengusaha swasta (hiswana migas) yang justru kerap memainkan harga di pasaran.
Sistemnya, Pertamina-lah yang membagi jatah/kuota per daerah berdasarkan jumlah penduduk dan kebutuhan industri di daerah tersebut. Pada setiap kota/kabupaten, harus ada pangkalan Pertamina. Sedangkan pada tingkat kelurahan/desa harus ada lagi tangki-tangki yang menampung bahan bakar tersebut yang dipasok dari pangkalan pertamina yang ada pada setiap kabupaten.
Selanjutnya masyarakatlah yang nantinya membeli bahan bakar itu di tangki-tangki yang ada di tingkat desa/kelurahan. Dengan catatan, bahan bakar di tangki-tangki yang ada di setiap kelurahan/desa hanya bisa dibeli oleh warga setempat.
Bila kelurahan atau itu cukup luas wilayahnya atau penduduknya sangat banyak, maka pendistribusian itu bisa dipecah lagi hingga ke tingkat RW atau RT. Di tingkat RW/RT juga perlu disediakan tangki untuk menampung bahan bakar yang dipasok dari tangki-tangki yang ada di tingkat kelurahan/desa. Hal ini agar bahan bakar itu makin mudah dijangkau oleh masyarakat.
Dengan metode tersebut, saya kira pendistribusian bahan bakar itu bisa terkontrol baik. Bukankah minyak tanah dan gas elpiji itu adalah salah satu produk yang menguasai hajat hidup orang banyak? Makanya harus dikelola dan disalurkan semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia.
Selain melibatkan struktur pemerintah, yang harus diperhatikan adalah soal harga bahan bakar tersebut. Menurut saya, harga bahan bakar itu pun hingga sampai di tangan masyarakat harus sama di semua daerah di Indonesia. Tidak boleh ada masyarakat di daerah A misalnya lebih murah atau lebih mahal bila membeli minyak tanah atau gas elpiji di banding oleh warga di daerah B.
Dengan adanya ketentuan bahwa harga bahan bakar itu sama di seluruh daerah di Indonesia, menurut saya hal itu bisa meminimalkan orang atau pihak-pihak tertentu yang berniat mengirimkan bahan bakar dari daerah A ke daerah B karena hendak mendapat keuntungan berlipat seperti yang terjadi selama ini.

Pemerintah Tegas

Dengan system pendistribusian demikian, mungkin saja akan dilawan oleh para pengusaha yang selama ini menjadi agen dan pengecer BBM. Karena dengan model itu bakal mengibiri perannya. Padahal selama ini, dengan sistem pendistribusian saat ini, para pengusaha tersebut telah mereguk keuntungan sangat luar biasa. Tak peduli kendati konsumen tidak jarang menjerit.
Namun menurut saya, pemerintah harus tegas dan bisa menentukan sikap terhadap pilihan: mengorbankan peran para pengusaha tersebut yang jumlah segelintir atau membiarkan rakyat yang jumlahnya jauh lebih banyak itu dilanda keresahan akibat kerapnya BBM langka dan harganya yang sering melonjak drastis di atas harga kewajaran?
Model pendistribusian di atas saya kira memang tidak cukup. Pemerintah juga harus selalu mengawasi dan memberi hukuman berat bagi mereka yang melakukan penyelundupan BBM dari Indonesia ke luar negeri. Salah satu sebab banyak yang menyelundupkan BBM ke luar negeri dari Indonesia tentu saja karena hendak meraup keuntungan financial yang besar dari bisnis tersebut.
Maklum, harga BBM yang dibeli di Indonesia harganya relatif sangat murah dibanding harga beli di luar negeri. Selisih harga yang sangat jauh itulah yang menguntungkan para pelaku penyelundup BBM. BBM yang harusnya jatah masyarakat Indonesia, justru diselundupkan ke luar negeri.
Problem di atas tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Harus ada perubahan dan solusi segera terhadap masalah hajat hidup orang banyak tersebut. (*)

Makassar, 13 Januari 2008

Komentar