Pejabat Pemkot Ramai-Ramai ke Rumania



PEJABAT pemerintah ke luar negeri dalam rangka kegiatan dinas memang tak salah. 

Apalagi bila keberangkatan tersebut sungguh untuk memberi kesejahteraan rakyatnya atau memenuhi undangan dan dibiayai oleh negara tujuan.

Tapi kalau perjalanan ke luar negeri tersebut atas biaya anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dengan tujuan sekadar menghadiri acara seremonial, tentu kepergian itu disesalkan. 

Apalagi keberangkatan itu sampai diikuti rombongan pejabat dan keluarganya, tak peduli apakah pejabat itu berkaitan dengan maksud kepergian dengan institusi atau bidang kerjanya. 

Sekali lagi tentu hal itu kita sesalkan.

Perjalanan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin dan wakilnya Andi Herry Iskandar serta sejumlah pejabat di lingkup Pemerintah Kota Makassar ke Rumania, Dubai, dan Turki, Juli 2007 lalu, bisa menjadi salah satu contoh kegiatan yang menurut saya, tak efisien.

Sebab sebagian besar perjalanan itu di antaranya hanyalah menghambur-hamburkan uang rakyat. Sungguh pemborosan dana. 

Pada saat banyak warga kota ini mengeluhkan mahal dan banyaknya pungutan sekolah pada penerimaan siswa baru, eh Wali Kota Makassar dan sejumlah pejabat bawahannya serta anggota legislatif Kota Makassar justru jalan-jalan ke luar negeri. 

Tepatnya ke Rumania pada hari Kamis, 26 Juli 2007 lalu.

Para pejabat yang berangkat itu di antaranya Kepala Dinas (Kadis) Pekerjaan Umum (PU) Kusaiyyeng, Kepala Bappeda Anis Kama, Kadis Pariwisata Eddy Kosasih, Kadis Perindsutrian dan Perdagangan Riefad Suaib, Kadis Kesehatan Naisyah T Azikin, dan beberapa kepala bagian dan staf.

Sedangkan dari anggota legislatif yang ikut adalah Adnan Mahmud dan Haris Yasin Limpo, masing-masing sebagai ketua dan anggota DPRD Kota Makassar. 

 Kedua legislator ini juga kader dan pengurus DPD II Partai Golkar Kota Makassar, di mana Ilham Arief Sirajuddin duduk sebagai ketua partai tersebut. Golkar niye!

Sebagian besar di antara pejabat itu juga mengikutkan istrinya. Tapi soal keberangkatan para istri itu, kata Ilham, tidak menggunakan APBD. Weleh...weleh....

Mau tahu berapa biayanya? Kata Ilham dalam keterangan persnya di ruang kerjanya sehari sebelum mereka berangkat, biaya ke Rumania itu totalnya Rp 300 juta. 

Dana itu diambilkan dari unit kerja masing-masing. Setiap orang mendapat biaya sebesar Rp 25 juta. (Tribun Timur edisi Selasa, 24 Juli 2007).

Biaya tersebut hanyalah biaya transportasi dan akomodasi selama perjalanan. Belum termasuk biaya hotel, makan, dan belanja di Rumania dan negara yang disinggahi seperti Dubai (Uni Emirat Arab) dan Istambul (Turki). 

Bila ditotalkan, diperkirakan biaya yang dihabiskan selama perjalanan rombongan tersebut mencapai tidak kurang Rp 500 juta.

Berkelit
Walau biaya yang dikeluarkan tersebut sungguh sangat besar, toh para pejabat itu berkelit dan berlindung dengan alasan bahwa dana yang dikeluarkan itu tergolong kecil dibanding dengan tujuan yang akan dicapai pada perjalanan tersebut. 

Katanya, perjalanan Eropa timur itu dalam rangka menjalin kerjasama di bidang kebudayaan, pariwisata, perdagangan, industri, ilmu pengetahuan, teknologi, infrastruktur, lingkungan, kesehatan, olahraga, dan informasi.

Di sana orang nomor satu di jajaran pemerintahan Kota Makassar itu menandatangani memorandum of understanding (MoU) bersama Wali Kota Costanta, Radu Stevan Mazare. 

Kepergian Ilham dan rombongan ke Costanta itu sekaligus merupakan kunjungan balasan. Mazare pernah ke Makassar, April 2007 lalu.

Alasan Promosi Wisata
Apa pun alasannya, membawa rombongan yang gemuk ke luar negeri itu sungguh tak efisien. Kehadiran wali kota dan dua kadis saja sebenarnya cukup. 

Tak perlu sampai lebih 10 orang. Wali kota cukup memaparkan kepada dinas terkait untuk mengimplementasikan apa yang diharapkan dari pertemuan tersebut sepulang dari kunjungannya ke luar negeri.

Selain tak efisien, sebenarnya penggunaan APBD untuk perjalanan dinas ke luar negeri itu patut disayangkan. 

Pasalnya, dalam APBD tak ada tercantum alokasi dana untuk perjalanan dinas ke luar negeri. Padahal, aturannya dalam penggunaan anggaran publik harus berbasis kinerja.

Pemahaman saya, pengeluaran dana ratusan juta, kecuali untuk penanggulan bencana alam darurat, tak bisa digunakan tanpa pencantuman rencana tersebut dalam APBD yang mendapat pengesahan DPRD sebagai lembaga refresentatif perwakilan rakyat. 

Tidak cukup sekadar menyampaikan rencana ke luar negeri secara tertulis ke lembaga legislatif atau ke publik melalui media massa beberapa hari sebelum berangkat.

Bagi saya, perjalanan dinas pejabat Pemkot Makassar itu tak boleh didiamkan. Apalagi perjalanan ke luar negeri para pejabat di lingkup Pemkot Makassar itu bukan kali ini saja.

Maret 2006 lalu, Wakil Wali Kota Makassar Andi Herry Iskandar dan sejumlah rombongan pejabat beserta istrinya serta Ketua DPRD Makassar Ince Adnan Mahmud juga pernah ke Jerman dan beberapa negara di Eropa untuk promosi wisata. 

Ratusan juta juga dihabiskan dalam perjalanan ini. Sayangnya anggota rombongan itu umumnya tak fasih berbahasa Inggris. 

Tak pelak, istri-istri pejabat itu katanya hanya membagi-bagi selebaran tentang Kota Makassar. Tanpa dialog. Itukah dikatakan promosi?

Belum genap dua bulan sepulang dari Jerman, giliran wali kota dan rombongan berangkat lagi ke Cina. 

Tujuannya sama, promosi wisata. Tapi yang berangkat umumnya tak fasih berbahasa Inggris, apalagi bahasa mandarin. Lalu bisakah itu dikatakan efektif dan mencapai sasaran?

Toh hingga tulisan ini dibuat, output dari perjalanan promosi wisata itu seakan tak terasa. 

Jumlah wisatawan dari luar negeri yang mampir ke Makassar, tak banyak perubahan. 

Malah, ujar sejumlah pengelola hotel jumlah wisatawan mancanegara justru berkurang datang di Makassar.

Untungnya pengelola hotel masih bisa tersenyum karena tingkat hunian hotel masih menggembirakan. 

Bukan karena wisman yang datang. Melainkan banyaknya event-event berskala nasional yang digelar di Makassar, seperti kegiatan partai politik, organisasi kemasyarakatan, dan pagelaran musik yang mendatangkan banyak orang asal Jakarta dan provinsi lainnya ke Makassar dan menginap di kota ini.

Alasan Studi Banding

Selain dengan alasan promosi wisata, sejumlah perjalanan dinas ke luar negeri dengan alasan studi banding tak berhenti dilakukan. 

Tercatat Agustus 2006, wali kota dan rombongan ke Brasil untuk studi tata kota.

Kemudian Oktober 2006, wali kota dan rombongan ke Jerman untuk studi sistem kependudukan. Mei 2007, wakil wali kota ke Polandia untuk mengikuti seminar internasional Harm Reduction. 

Lalu awal Juli 2007, sepekan sebelum ke Rumania, wali kota dan rombongan ke Korea Selatan untuk kerjasama sistercity.

Belum lagi perjalanan Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Kadispenda) Kota Makassar Arifuddin Hamarung dan puluhan lurah ke Jakarta, Bandung, Batam, dan Singapura selama tahun 2006 hingga 2007.

Para lurah yang diberangkatkan ini adalah mereka yang setoran pajak bumi dan bangunan (PBB) di wilayahnya mencapai 100 persen. 

Katanya, selain sebagai bonus bagi mereka, perjalanan ke Jakarta, Bandung, Batam, dan Singapura itu sekaligus dimaksudkan sebagai studi banding. Ya lagi-lagi dibungkus dengan istilah studi banding.

Padahal, kalau kita mau jujur, perjalanan itu memang sekadar mencari alasan untuk mengeluarkan dana. Mungkin dari situlah ada celah untuk mengambil keuntungan pribadi. Entah siapa? 

Tapi naluri kita biasanya menuduh orang hendak mengambil keuntungan dari perjalanan itu adalah yang memiliki kekuasaan, tentu saja masih di lingkup Pemerintah Kota Makassar.

Kalau hendak dikatakan bahwa perjalanan itu dimaksudkan untuk menambah wawasan para lurah, khususnya pada job-nya, saya rasa alasan itu tak kuat. 

Saya bisa merasakan hal itu, karena saya pernah diikutkan dalam rombongan para lurah ke Jakarta dan Bandung pada Juli 2006 lalu.

Saat itu saya diikutkan dalam kapasitas saya sebagai wartawan Tribun Timur

Selain saya, ada juga Rahmawati, wartawan Pedoman Rakyat, yang diikutkan dalam perjalanan yang dikomandoi Kadis Pendapatan Daerah Kota Makassar Arifuddin Hamarung.

Perjalanan itu menghabiskan waktu empat hari. Kota pertama yang kami datangi sesaat setelah kami tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng adalah Kota Bandung. 

Tujuan perjalanan ke kota kembang ini adalah untuk mengetahui potensi PBB yang diterapkan Pemerintah Kota Bandung.

Di ibu kota Jawa Barat itu, rombongan para lurah asal Kota Makassar diterima berdialog dengan jajaran Pemkot Bandung. 

Dialog sekitar potensi pajak di kota tersebut. Dialog ini berlangsung sekitar dua jam saja.

Setelah itu, rombongan kami hanya keluyuran ke sana kemari selama dua malam di Bandung. 

Rombongan kami menginap di Hotel Santika Bandung. 

Selama di kota ini kami banyak menghabiskan waktu bepergian dari satu rumah makan ke rumah makan lain dan dari satu pusat perbelanjaan ke pusat perbelanjaan lain yang ada di Kota Bandung. 

Kami juga sempat ke pusat belanja sandal dan sepatu di Cibaduyut.

Setelah itu kami kemudian menuju DKI Jakarta. Di ibu kota Negara Kesatuan Republic Indonesia ini kami menginap di Hotel Red Top, Jakarta Utara. 

Hotel ini berjarak sekitar satu kilometer dari Monumen Nasional (Monas) dan Masjid Istiqlal.

Di Jakarta kami juga menginap selama dua malam. Di kota ini, rombongan lurah hanya berkesempatan berkunjung ke Kantor PBB di Jakarta Utara. 

Di kantor ini, para lurah menerima paparan terkait pendapatan pajak yang dikelola kantor tersebut. Acara ini berlangsung sekitar dua jam.

Praktis di ibu kota RI, kegiatan para lurah yang berkaitan dengan job-nya hanya sekitar dua jam. Itu pun menurut saya, paparan itu tak terlalu penting bagi seorang lurah. 

Selebihnya, sama seperti di Bandung, rombongan para lurah asal Makassar itu hanya menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan dari satu pusat belanja ke pusat belanja lainnya.

Ada pula sebagian lurah memanfaatkan perjalanan tersebut ke tempat-tempat hiburan malam yang ada di Jakarta. 

Sebagian lainnya memanfaatkan bersua ke rumah keluarganya yang ada di Jakarta.

Saat kami pulang ke Makassar melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta, duh bagasi pesawat penuh dengan barang belanjaan rombongan kami.

“Mumpung bagasi dan tiket pesawat kita ditanggung semua,” ujar seorang lurah yang duduk di sampingku sesaat sebelum pesawat terbang meninggalkan Bandara Soekarno-Hatta.

Jika ditotalkan biaya yang digunakan untuk perjalanan dinas para pejabat Pemkot Makassar ke luar negeri saja, diperkirakan mencapai miliaran rupiah. 

Duh tingkah pejabat kita. Mentang-mentang dana yang digunakan bukan uang pribadinya, tak tanggung-tanggung keseringan bepergian ke luar negeri. (*)

Awal Agustus 2007.

Komentar