PNS Kok Ikutan Demo Pilkada


SEJAK Mahkamah Agung RI memutuskan agar dilakukan pemilihan kepala daerah (pilkada) ulang di Kabupaten Gowa, Maros, Tana Toraja, dan Bone, terkait sengketa Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) 2007, 19 Desember 2007 lalu, aksi demonstrasi terkait putusan tersebut bermunculan di Kota Makassar dan beberapa daerah lain di Sulsel.

Ada yang pro dengan putusan tersebut. Tak sedikit yang justru bersikap menentang putusan tersebut. Mereka yang demo itu pun beragam. Ada mahasiswa, aktivis LSM, aktivis organisasi kepemudaan, aktivis organisasi kemasyarakatan, dan beragam latarbelakang lainnya.
Bagi saya, baik demo menentang putusan MA tersebut yang dilakukan massa pendukung kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang (Sayang), maupun demo mendukung yang dilakukan pendukung kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur Amin Syam-Mansyur Ramli (Asmara), sah-sah saja. Sangat wajar.

Bagi pendukung Sayang, dengan dilakukan pilkada ulang di empat kabupaten tersebut maka bisa saja hasil perolehan suara yang telah diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulsel yang memenangkan duet nomor urut tiga, Syahrul-Agus, itu kemudian berubah. Sayang bisa saja kalah. Kalau mau menang, duet ini dan massa pendukungnya harus bekerja keras lagi mencari dukungan suara dari calon pemilih di empat daerah tersebut.

Tentu di sisi lain kandidat harus mengeluarkan uang tak sedikit lagi untuk menggerakan tim. Karenanya menggelar unjuk rasa menolak putusan MA terkait pilkada ulang itu menjadi pilihan terbaik. Kandidat dan massa pendukungnya, tentu pula tak ingin kemenangan yang sudah ada di tangan itu lepas lagi. Terlalu beresiko baginya.

Sedangkan di kubu kandidat nomor urut satu, Asmara, dengan demo mendukung putusan MA tersebut diharapkan KPU Sulsel segera mempersiapkan dan melaksanakan pilkada ulang di empat kabupaten yang dinilai majelis hakim MA itu terdapat banyak kecurangan/penyimpangan pada pemilihan yang dilaksanakan serentak di Sulsel, 5 November 2007 lalu.
Dengan dilaksanakan pilkada ulang, itu berarti duet Amin-Prof Mansyur dan massa pendukungnya masih bisa berharap terjadi perubahan hasil pemilihan yang kemudian menempatkan Asmara keluar sebagai pemenang, mengalahkan Sayang. Apalagi peluang itu cukup terbuka lebar.

Pasalnya, hasil penghitungan final rekapitulasi KPU Sulsel yang dilaksanakan di Gedung Panakkukang Mas Country Club (PMCC) Makassar pada hari Rabu, 14 November 2007 lalu, mencatat selisih suara antara antara Asmara dengan Sayang hanya berpaut 27.662 suara atau 0,77 persen dengan keunggulan Sayang.
Rincinya, kandidat nomor urut satu (Asmara) memperoleh dukungan 1.404.910 suara atau 38,76 persen. Kandidat nomor urut dua (Azis Qhahar Mudzakkar-Mubyl Handaling) mengumpulkan 786.792 dukungan suara atau 21,71 persen. Sedangkan pasangan nomor urut tiga (Sayang) mendapat dukungan 1.432.572 suara atau 39,53 persen.
Putusan Kontroversi
Bagi saya, putusan MA itu memang kontroversi. Makanya, wajar ketika pascaputusan MA itu kemudian menyulut pro dan kontra di masyarakat. Termasuk para akademisi dan pakar hukum.

Namun terlepas dari pro dan kontra terhadap putusan MA itu, mestinya tidak membuat jajaran pegawai negeri sipil (PNS) juga kasak-kusuk hingga terlibat dalam mobilisasi massa untuk berunjukrasa menentang putusan MA tersebut. Biarkanlah itu dilakukan oleh masyarakat non PNS.
Secara pribadi sah-sah saja menentang putusan tersebut. Tapi kalau terlibat dalam mobilisasi massa dalam demo terang-terangan menolak putusan MA dan mengancam akan mogok kerja bila Syahrul-Agus tidak dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel periode 2008-2012 pada 19 Januari 2008 mendatang, sungguh sebuah “kecelakaan”. Sungguh telah terjadi pelanggaran etika Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) yang menegaskan PNS harus netral, apalagi terkait pilkada.

Makanya, saat mengetahui ratusan PNS yang sehari-hari dinas di Kantor Gubernur Sulsel berunjukrasa menentang putusan MA di gedung DPRD Sulsel, Kamis siang, 27 Desember 2007 lalu, itu saya merasa sedih. Kecewa bercampur mengecam mereka yang demo. Terlebih pada orang yang menggerakkannya.

Apalagi demo para PNS itu kemudian berlanjut lagi pada hari Senin, 7 Januari 2008. Kali ini, ratusan PNS itu demo di halaman kantor mereka sendiri, Kantor Gubernur Sulsel di Jl Urip Sumoharjo, Makassar.
Tuntutannya pun bertambah. Tidak hanya menolak pilkada ulang sebagaimana putusan MA, tapi para PNS yang menamakan gerakannya sebagai Solidaritas PN Pembela Kebenaran dan Keadilan tersebut juga menyatakan menolak caretaker Gubernur Sulsel bila pasangan Syahrul-Agus tak jadi dilantik, 19 Januari mendatang.
Pejabat Eselon
Dari koran Tribun Timur edisi Selasa, 8 Januari 2008 yang kubaca, barulah saya tahu bahwa demo para pegawai yang mengenakan pakaian linmas warna hijau itu dipimpin Agus Sumantri, seorang pejabat eselon III di lingkup Pemrov Sulsel.

Dari selebaran yang dibagikan ke wartawan yang meliput unjukrasa mereka, Solidaritas PNS Pembela Kebenaran dan Keadilan itu beranggotakan sejumlah peabat penting eselon II dan III di lingkup Pemrov Sulsel.
Di antaranya, di jajaran pengarah/pembina tertulis nama Kepala Badan Promosi dan Penanaman Modal Murni Amien Situru, Kepala Bapedalda Tan Malaka Guntur, Kadis Kebudayaan dan Pariwisata Syahlan Solthan, Kadis Kehutanan Idris Syukur, Kepala Balitbangda Sulham Hasan, Wakil Kepala Bawasda Theofluis Allorerung, Wakil Kadis Kehutanan Andi Ilham Gazaling, dan Karo Dekon Jufri Rahman.

Nama-nama tersebut dikabarkan adalah orang dekat dan masuk barisan pendukung Sayang. Tidak berhenti dengan aksi tersebut. Keesokan harinya atau Selasa, 8 Januari 2008, puluhan dokter dan perawat di Makassar yang mengenakan seragam putih-putih itu bak tak ingin ketinggalan berunjukrasa di DPRD Sulsel.
Lalu, esok siang lagi atau Rabu, 9 Januari 2008, ratusan guru dan kepala cabang dinas pendidikan se-Gowa juga demo di gedung DPRD Sulsel di Makassar. Aspirasinya tetap sama, menolak putusan MA dan mendesak Syahrul-Agus tetap dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel periode 2008-2012 pada 19 Januari 2008 nanti.

Sungguh luar biasa. Memalukan dan tidak bisa dibenarkan. Katanya hendak menegakkan kebenaran dan keadilan, kok lantas ikut-ikutan demo menentang putusan MA, menolak caretaker, dan mengancam akan mogok kerja bila paket Syahrul-Agus tidak dilantik pada 19 Januari 2008 nanti?

Bukankah para PNS itu adalah abdi negara yang tugas utamanya melaksanakan pelayanan kepada masyarakat? Bukankah dengan demo, itu berarti mereka telah meninggalkan tugasnya melayani masyarakat? Bukankah dengan mengeyampingkan pelayanan masyarakat itu sebuah pengkhianatan terhadap sumpah PNS?

Saya khawatir, para PNS yang terlibat dalam demo itu, apalagi yang menggerakkannya, punya niat “mencari muka” kepada Syahrul-Agus. Dengan harapan, kelak jika Syahrul-Agus resmi menakhodai Sulsel, mungkin mereka berharap “jasa-jasanya” saat demo dibalas dengan jabatan yang lebih baik. Jika itu benar, sungguh picik mereka, terutama orang yang menggerakkan mereka.
Bukan Pendukung
Saya bukan pendukung Asmara. Sebab Amin Syam sebagai gubernur incumbent, jauh sebelum masa kampanye hingga masa kampanye, toh juga tidak jarang melibatkan PNS untuk membantu dirinya agar bisa terpilih untuk periode kedua. Ia dan tim suksesnya pun tak malu menggunakan fasilitas negara untuk memuluskan dirinya terpilih lagi.

Saya juga curiga beberapa kali mutasi pejabat yang dilakukan Amin Syam saat sebelum pilgub, juga karena motivasi Pilkada Sulsel 2007 lalu. Saya curiga ia menempatkan orang-orang yang pro dengannya ke pos/jabatan yang banyak diincar. Sebaliknya menyingkirkan pejabat yang tidak pro ke dirinya.
Saya khawatir, jangan sampai miliaran dana yang digunakan untuk mendulang simpati masyarakat, sejak sebelum masa kampanye hingga saat kampanye itu, tak sedikit yang dirogoh dari kas dinas, badan, biro, dan pos-pos jabatan bawahannya.

Saya juga bukan termasuk orang yang setuju dengan putusan MA yang meminta dilakukan pilkada ulang di Kabupaten Gowa, Bone, Bantaeng, dan Tana Toraja. Sebab bagi saya, pilkada ulang itu jauh lebih banyak mudharat-nya daripada manfaatnya.
Dengan pilkada ulang, itu berarti sama saja menilai bahwa penyelenggaraan pemilihan di seluruh tempat pemungutan suara (TPS) di empat daerah tersebut bermasalah semua. Saya kira tuduhan itu terlalu berlebihan.

Boleh saja bahwa bukti-bukti yang diajukan pengugat yakni Asmara pada sidang kasus itu ke MA di Jakarta, sebagian terbukti telah terjadi sejumlah kecurangan yang telah menguntungkan perolehan suara duet Syahrul-Agus di depan persidangan. Saya kira itu memang sangat berpotensi terjadi. Tapi setahu saya, tidak semua TPS di daerah itu terjadi kecurangan. Tentu tidak sedikit pula TPS yang bersih dari kecurangan mark-up suara.

Mestinya bila ada bukti kecurangan, maka yang perlu diputuskan oleh majelis hakim MA adalah memerintahkan penghitungan ulang di TPS yang bermasalah. Jadi bukan memerintahkan pilkada ulang. Toh bila pilkada ulang itu dilaksanakan, tak ada jaminan bakal zero kecurangan lagi. Asmara dan Sayang pun sama-sama berpotensi melakukan kecurangan. Sebab, keduanya juga adalah pejabat pemerintah.

Bukan hanya itu, dengan pilkada ulang, itu berarti puluhan miliar rupiah uang pemerintah kita akan dikuras lagi untuk membiayai pilkada ulang di empat kabupaten tersebut. Aktivitas pegawai dan masyarakat pun, baik di tingkat provinsi maupun di empat daerah tersebut bakal terganggu lagi.

Sekali lagi, saya bukanlah pendukung Asmara maupun Sayang. Tapi saya termasuk orang sangat mengecam bila ada kelompok PNS yang ramai-ramai ikutan demo menentang maupun mendukung putusan MA itu.
Pemerintah mestinya tegas, bila ada PNS yang melalaikan pelayanan masyarakat hanya karena pergi demo terkait pilkada, mestinya harus diberi sanksi. Hal ini untuk menegakkan hukum dan disiplin PNS dan agar kasus yang tak terulang. ()

Ditulis di Makassar, 10 Januari 2008

Komentar