Polisi Tembak Petani di Jeneponto

PERISTIWA perampasan kamera wartawan Suara Pembaruan Kiblat Said yang sedang meliput aksi penolakan revitalisasi Lapangan Karebosi yang dilakukan personel Polwiltabes Makassar baru tiga hari berlalu. Masyarakat Sulawesi Selatan dikejutkan lagi dengan ulah tak profesional aparat polisi di daerah ini. Kali ini dipertontonkan sejumlah personel Polres Jeneponto saat mengawal proses eksekusi lahan di Dusun Bontolohe, Desa Rumbia, Kecamatan Rumbia, Kabupaten Jeneponto, Kamis 6 Desember 2007.
Pada hari itu, eksekusi yang dilaksanakan Pengadilan Negeri Jeneponto berlangsung ricuh. Sejumlah warga yang menempati lahan yang dieksekusi itu menolak proses eksekusi. Dengan bersenjatakan bambu, kayu, batu, dan badik, warga sipil ini mencoba bertahan.
Sangat disayangkan, melihat “perlawanan” warga sipil itu jajaran Polres Jeneponto dibantu beberapa personel Polsek Kelara, cepat naik pitam. Beberapa di antara polisi ini pun langsung bersikap kasar pula terhadap warga. Polisi pun menakuti warga dengan memperlihatkan senjata dan kemudian melepaskan peluru ke udara.
Dari info saksi yang menyaksikan prosesi eksekusi itu, saat itu warga bukannya takut. Malah mereka makin bertahan dan mengangkat “senjata tradisional” mencoba bertahan. Salah seorang warga sipil ini pun yakni Muhammadong nekad menikam polisi yang mendekatinya. Terjadilah kericuhan. Beberapa personel TNI AD dari Kodim 1425 mencoba melerai pertikaian itu. Namun tak berhasil.

Korban
Akibatnya, beberapa orang dari kedua pihak menjadi korban. Dari kepolisian, Briptu Dasrin (27 tahun) meninggal setelah kehabisan darah akibat terkena tikam. Seorang polisi lainnya bernama Briptu Amir Situru terluka di bagian pinggangnya. Juga karena terkena tikaman dan harus mendapat perawatan intensif di rumah sakit. Tiga lainnya juga mengalami luka ringan.

Sedangkan dari pihak warga, sedikitnya tujuh orang harus dirawat intensif di rumah sakit. Ketujuh orang itu adalah Muhammadong (35), Madong (20), Rahman Daeng Tompo (35), Bahri (23), Baso (30), dan Hana (53), serta Ahmad (43). Ketujuh korban ini juga langsung ditetapkan sebagai tersangka kasus ini.

Dari ketujuh korban itu, lima di antaranya mengalami luka serius karena terkena peluru tajam yang dimuntahkan polisi. Awalnya polisi hanya mengaku bahwa korban luka dari pihak warga pada insiden tersebut hanya enam orang. Semuanya dirawat di Rumah Sakit Umum (RSU) Lanto Daeng Pasewang, Jeneponto, hari itu juga.

Sehari setelah insiden itu, Polres Jeneponto melalui penyampaian Wakil Kepala Polres Jeneponto Komisaris Polisi Salewa pun kembali menegaskan bahwa korban luka dari pihak warga adalah enam orang. Mereka semua masih dirawat di RSU Lanto Daeng Pasewang. Keenam orang itu juga semua adalah tersangka yang turut bersama menyerang polisi saat proses eksekusi berlangsung.

Salewa mengutarakan hal itu kepada wartawan yang menemuinya di ruang kerjanya. Saya termasuk jurnalis yang menemuinya saat itu, Jumat (7/12) sekitar pukul 11.00 atau beberapa menit setelah jenazah Dasrin dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Karisa, Jeneponto.

Awalnya, Salewa enggan membeberkan kepada wartawan berapa sebenarnya korban luka dari pihak warga. Kendati beberapa kali kami desak. Untung saat itu Suparno, wartawan Trans TV, punya ide mengontak via telepon Kepala Bidang Humas Polda Komisaris Besar Polisi Dwi Hartono dan meminta bantuannya agar Salewa mau memberi keterangan kepada wartawan terkait perkembangan kasus ini.

Upaya Suparno berhasil. Salewa pun memberi keterangan kepada wartawan setelah berbicara langsung dan memohon izin kepada Dwi Hartono. Hanya saja, info yang diberikan Salewa lagi-lagi masih sangat terbatas. Ia hanya menjelaskan jumlah tersangka dan pasal yang disangkakan.
Sedangkan nama para tersangka dan kondisi korban dari warga sipil, ia enggan memberitahukan.
Saya baru mengetahui nama-nama tersangka itu dari Kepala Satuan Reserse dan Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Jeneponto Ajun Komisari Polisi (AKP) Syarifuddin yang kuketemui di ruang kerjanya. Kebetulan kami sudah lama akrab. Kami berkenalan dan akrab saat saya masih ditugaskan sebagai Biro Tribun Timur di Bulukumba (2005-2006). Sedangkan Syarifuddin masih menjabat Kasat Reskrim Polres Bulukumba.

Bohongi Wartawan
Kebohongan Salewa yang memiliki postur tubuh pendek dan tambun itu baru kuketahui pada malam harinya saat saya sudah tiba di kantor redaksi. Rupanya korban dari warga sipil pada insiden berdarah itu bukan hanya enam orang. Tapi tujuh orang.

Adalah Ahmad, salah seorang penduduk Dusun Bontolohe, juga ikut menjadi korban penembakan yang dilakukan anggota Polres Jeneponto. Ia dikabarkan menjadi korban salah sasaran tembak. Ia dilarikan ke Rumah Sakit Ibnu Sina di Jl Urip Sumoharjo, Makassar, sesaat setelah tertembak di bagian perutnya.

Keberadaan Ahmad dalam kondisi kritis yang diletakkan di ruang ICU itu diketahui secara tak sengaja oleh Firmansyah alias Lafiri, asisten redaktur desk ekonomi Tribun Timur. Saat itu Firmansyah sedang menemani ayahnya yang juga dirawat di ICU RS Ibnu Sina (ayahnya kemudian meninggal pada Sabtu pagi, 9 Desember 2007. Keberadaan Ahmad ini pun dilaporkan Kak Lafiri ke redaksi.

Saat saya mendengarkan info itu, hati saya makin jengkel dengan polisi, terkhusus Waka Polres Jeneponto Kompol Salewa. Teganya ia mengelabui wartawan yang menemuinya jauh-jauh dari Makassar.

Tidak Profesional
Sungguh insiden berdarah itu memiriskan hati. Saya merasa, inilah buah dari belum profesionalnya polisi dalam menangani sebuah sengketa yang melibatkan masyarakat sipil. Peristiwa kelam yang terjadi di pagi hari itu sekaligus membuktikan bahwa rupanya polisi lebih mengedepankan pendekatan refresif dari pada pendekatan persuasif dalam penanganan konflik sosial.
Info dari saksi yang kutemui di Jeneponto, saat itu warga sudah menyerah dan menjauh dari polisi. Namun beberapa polisi tetap saja menembaki warga dengan peluru tajam. Kejam. Sadis. Sekaligus brutal. Buktinya, Ahmad yang sama sekali tak melakukan perlawanan terhadap polisi ikut terkena peluru yang dilepaskan polisi.
Di sisi lain insiden itu juga menggambarkan bahwa kinerja intelijen kepolisian masih lemah. Mestinya sebelum dilakukan eksekusi itu, intelijen kepolisian lebih awal diturunkan ke lokasi eksekusi. Tugasnya segera membaca kondisi apakah potensi kericuhan besar atau tidak bila eksekusi itu dilaksanakan pada hari itu.
Andai pembacaan potensi itu dideteksi sejak awal, polisi bisa menyarankan institusi pengadilan untuk menunda pelaksanaan eksekusi sementara waktu menanti kondisi yang tepat. Andai saja deteksi dini, pendekatan persuasif, dan sikap profesional yang dikedepankan polisi, mungkin saja insiden berdarah itu tak terjadi. Warga sipil dan polisi tak ada yang luka. Brigadir Dasrin pun masih bisa berkumpul bersama istri dan dua putrinya yang masih di bawah usia lima tahun itu.

Kasus serupa juga pernah terjadi daerah berjulu Turatea ini. Tepatnya di Kecamatan Tamalate, sekitar pertengahan tahun 2005 lalu. Saat itu saya masih bertugas di Biro Bulukumba.

Saat itu juga dilakukan proses eksekusi sebidang tanah di kecamatan tersebut. Warga sipil yang menempati lahan itu mencoba bertahan. Seorang di antaranya ada yang nekad mencabut keris dan mencoba menyerang polisi dari Polres Jeneponto. Seorang anggota polisi terkena irisan keris tersebut. Untungnya lukanya ringan. Si-penikam itu pun dilumpuhkan dengan timah panas oleh polisi.

Lima hari kemudian, si penikam yakni Muhammadong (35) akhirnya menghembuskan nafas terakhinya di Rumah Sakit Bayangkara, Senin pagi 10 Desember 2007. Di rumah sakit ini ia dirawat selama dua malam. Sebelumnya ia dirawat di RS Lanto Daeng Pasewang.

Keluarga korban menduga Muhammadong meninggal karena usai dilumpuhkan dengan timah panas, ia masih dianiaya oleh sejumlah rekan Briptu Dasrin (27 tahun). Saat masih di rumah sakit, ia pun tak mendapat perawatan yang layak.

Senin malam itu juga almarhum dimakamkan di dekat rumah orangtuanya, di Desa Bontomanai, Kecamatan Rumbia yang merupakan kecamatan pemekaran dari Kecamatan Kelara, Kabupaten Jeneponto. Kampung ini berada sekitar 30 kilometer arah utara dari Bontosunggu, ibu kota Kabupaten Jeneponto.

Selasa sore, 12 Desember 2007. Saya baru tahu bahwa ada juga korban menyusul meninggal akibat insiden tersebut yakni Sumiati, bayi yang baru berusia sekitar tiga bulan.

Ia adalah putri Sudirman dan Nanna, tuan rumah yang tanahnya dieksekusi. Diduga bayi ini sakit akibat terjatuh dari gendongan ibunya yang kaget dan lari saat mendengar letusan senjata dan pekikan keluarganya yang ditembak. Bayi ini meninggal di rumah pamannya di Panaikang, Kabupaten Bantaeng.

Saya mengetahui informasi ini setelah saya berkunjung ke rumah Haji Manna, kakek dari ayah almarhumah Sumiati, di Desa Bontomanai tak jauh dari makam Muhammadong. Saya beruntung juga bisa berkenalan dengan kakek satu ini.

Sebab di jazirah Jeneponto, nama pria ini tak lagi asing. Ia adalah Ketua Forum Massa Bonto Tellua. Forum yang dibentuk pada September 1999 ini memiliki misi memberantas berbagai macam penyakit social seperti pencuri, pezinah, penjudi, peminum alkohol, dan beberapa penyakit masyarakat lainnya di Jeneponto.

Belum Terbuka
Walau era Orde Baru telah berlalu sembilan tahun lalu, institusi kepolisian rupanya masih terbelenggu dengan sikap tertutup dari media massa.

Jumat siang itu kami bermaksud bertemu langsung dengan para tersangka, baik yang telah dijebloskan ke bilik penjara di Markas Polres Jeneponto maupun yang sedang dirawat di RSU Lanto Daeng Pasewang. Namun polisi tak berkenan.

Tidak kurang 20 personel Brimob Polda Sulawesi Selatan tampak berjaga-jaga di sekitar Lontara 3 RSU Jeneponto, tempat enam warga sipil yang menjadi korban dirawat. Saya dan Imam Wahyudi, rekanku di Tribun Timur yang bertugas di Biro Bulukumba, mencoba izin membesuk korban. Tapi gagal. Kami tak jua dizinkan.

Kami pun bermaksud menanyakan kondisi pasien pada suster dan dokter yang ditemui di RSU Jeneponto. Setali tiga uang dengan polisi. Para suster dan dokter itu pun tak ada yang bersedia memberikan keterangannya. Katanya itu permintaan polisi.

Saya, Imam, dan agen Tribun di Jeneponto, Karaeng Sikki, yang menemani kami pun curiga. Jangan-jangan kondisi pasien makin kritis. Polisi pun mencoba menutupi dari pantauan wartawan. Mungkin mereka khawatir jika kondisi pasien yang ditembakinya itu terpublikasi, institusi kepolisian bakal mendapat sorotan tajam dari sejumlah pihak.

Jelas, sikap polisi itu ibarat pepatah usai melempar sembunyi tangan. Kendati kericuhan itu nyata-nyata terpublikasi melalui tayangan sejumlah stasiun televisi nasional, Polres Jeneponto masih mencoba menutup-nutupi kondisi terkini para korban.

Yang lebih menyakitkan hati ini, hingga sehari pasca insiden berdarah itu terjadi, tak ada pernyataan permohonan maaf dari institusi kepolisian, baik dari jajaran petinggi Polres Jeneponto maupun Polda Sulsel. Yang ada hanya pernyataan dari Kepala Bidang Humas Polda Sulsel bahwa penembakan itu terjadi karena warga telah beringas dengan menyerang polisi.
Duh….!

Penugasan Kantor
Kebetulan liputan kasus tersebut, Redaktur Pelaksana Tribun Timur Syarief Amir menugaskanku ke Jeneponto sehari setelah insiden itu. Dengan lapang dada kuterima penugasan ini.

Jumat pagi sekitar pukul 07.10 wita, dengan mengendarai sepeda motor Honda Supra Fit, saya pun meninggalkan rumah menuju Kabupaten Jeneponto yang berjarak sekitar 90 kilometer dari Kota Makassar. Saya tiba di ibu kota kabupaten ini sekitar pukul 09.30 wita.

Sejenak saya beristirahat sembari buang air kecil dan membasuh wajah di Masjid Agung Jeneponto. Inilah masjid terbesar dan termegah di daerah yang kerap disebut Butta Turatea. Hanya sekitar 10 menit saya berada di masjid yang didominasi warnah hijau dan putih ini.

Setelah itu saya baru menuju Kantor Bupati Jeneponto. Jarak masjid dengan kantor bupati hanya sekitar 1 kilometer. Saya bermaksud mewawancarainya Bupati Jeneponto Radjamilo. Namun saat saya tiba di kantor yang rupanya sedang direnovasi itu, orang nomor satu di Butta Turatea ini tak berada di tempat.

Kata Kepala Seksi Pemberitaan Pemerintah Kabupaten Jeneponto, Abdul Makmur, bosnya itu sedang melayat di rumah duka almarhum Brigadir Dasrin di Markas Polsek Kelara, sekitar 30 kilometer arah utara dari ibu kota daerah ini.

“Kalau mau bicara sama bapak, kita langsung saja ke Taman Makam Pahlawan (TMP), samping gedung DPRD Jeneponto. Kebetulan jenazah almarhum akan dimakamkan di sana. Sekarang lagi persiapan menuju ke pemakamannya,” jelas Abdul Makmur via telepon.

Tak pikir panjang, saya pun langsung menuju di TMP Karisa dimaksud. TMP ini kebetulan tak jauh dari kantor bupati yakni hanya berjarak sekitar satu kilometer.

Saat tiba di TMP, puluhan rekan dan kerabat almarhum terlihat siaga di sana. Sejumlah warga setempat juga berdatangan ingin menyaksikan prosesi pemakaman secara militer. Motorku kuparkir di hamalam depan gedung DPRD Jeneponto. Tak lama kemudian, iring-iringan jenazah almarhum Dasrin pun tiba di lokasi pemakaman. Cukup ramai.

Saya merasa masih “beruntung”. Sebab saya bisa tiba lebih cepat. Artinya saya masih ada kesempatan memotret prosesi pemakaman Brigadir Dasrin di TMP Karisa. Pikirku momen pemakaman ini bisa ditampilkan di Koran Tribun Timur.

Benar, keesokan harinya, Sabtu 9 Desember 2007, foto prosesi pemakaman yang kujepret itu ditampilkan sebagai foto utama mendampingi headline utama Tribun Timur: Korban Jeneponto Kritis di Ibnu Sina. Foto ini memperlihatkan istri almarhum yang sedih di depan makam suaminya, sesaat kuburan almarhum Dasrin telah tertutup dengan tanah.

Kesedihan saya bertambah setelah mengetahui istri almarhum Dasrin, Nursanti, itu rupanya sedang mengandung tiga bulan. Saya tak kuasa membayangkan ibu dua anak itu kemudian melahirkan tanpa didampingi suaminya untuk selamanya. Belum lagi membayangkan ia membesarkan anak-anaknya itu.

Ketika ibu itu kulihat meronta dan nyaris beberapa kali terjatuh tak sadarkan diri di lokasi pemakaman suaminya, saya bisa memakluminya. Tak sedih bila ditinggal orang yang dicintainya?
Ya Allah berilah kekuatan, kesabaran, dan kemudahan mengarungi samudera kehidupan ini kepada Nursanti yang terpaksa harus berstatus janda lebih dini.

Begitu pula kepada istri alhamarhum Muhammadong, Juniati, Sudirman dan Nanna yang terpaksa harus kehilangan bayinya yang baru berusia tiga bulan. Mereka adalah para korban dari belum profesionalnya pimpinan kepolisian di Jeneponto. Semoga kasus ini menjadi pelajaran semua pihak agar lebih berhati-hati mengambil sebuah kebijakan dan bertindak. ()

Ditulis di Makassar, 12 Desember 2007


Komentar