PSM Tak Boleh Lagi Dibiayai APBD


PERSATUAN Sepakbola Makassar atau disingkat PSM Makassar boleh dibilang adalah klub olahraga yang mendapat perlakuan sangat istimewa dari Pemerintah Kota Makassar dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Setidaknya, karena PSM selama ini adalah satu-satunya klub olahraga di Sulawesi Selatan yang setiap tahunnya mendapat kucuran dana miliaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) dan APBD Kota Makassar.

Khusus di musim 2007 lalu saja, PSM telah mendapat alokasi dana sekitar Rp 10 miliar yang diambil dari pos dana hibah setiap satuan perangkat kerja daerah (SPKD) yang tercantum dalam APBD Kota Makassar dan sekitar Rp 6 miliar dari APBD Sulsel. Sangat banyak kan?

Itu belum termasuk sumbangan dari para sponsor yang juga mencapai miliaran rupiah. Kata teman saya di Tribun Timur yang selalu meliput kegiatan PSM, setiap tahunnya PSM menghabiskan dana paling sedikit Rp 25 miliar.

Setahu saya, di daerah ini begitu banyak klub dan cabang olahraga yang bernaung di bawah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Sulsel. Tapi tak ada cabang olahraga yang mendapat perlakuan sama dengan PSM. Setahu saya tak ada cabang olahraga yang bernaung di bawah KONI Sulsel itu mendapat kucuran dana pembinaan hingga Rp 1 miliar setahun ini.

Biasanya satu cabang olahraga, itu hanya didanai paling tinggi sekitar 100 juta setiap tahunnya. Itupun sudah termasuk biaya pembelian peralatan olahraganya. Padahal kalau mau dihitung dari jumlah atlet yang dibina di setiap cabang atau klub olahraga non PSM, bisa mencapai lebih 100 orang. Belum termasuk pengurusnya. Mereka yang terlibat pun dipastikan adalah orang lokal. Tak ada pemain yang dikontra khusus dari luar negeri.

Dana Melimpah

Bandingkan dengan PSM yang hanya membina tidak lebih 30 pemain plus pelatih dan asistennya. Sebagian lagi di antaranya adalah orang asing. Taruhlah dihitung dengan pengurusnya sekitar 30 orang, maka total mereka yang mengelola PSM itu sekitar 60 orang. Sungguh luar biasa. Dana sekitar Rp 8 dari APBD habis hanya untuk membiayai tidak lebih 100 orang selama tahun. Sebagian di antaranya dinikmati orang asing.

Bagi saya, pengalokasian dana APBD hingga miliaran rupiah tersebut hanya untuk kegiatan PSM setiap tahunnya itu sudah keterlaluan. Diskriminasi. Pemborosan. Andai saja Sulsel dan Makassar memang sangat kaya, di mana pendapatan asli daerah (PAD) Sulawesi Selatan dan Makassar itu masing-masing mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya, dana sekitar Rp 16 miliar itu terbilang sedikit.

Menurut saya, PSM sudah saatnya dikelola swasta seperti umumnya klub-klub sepakbola profesional di luar negeri. Pengelolaan PSM harus mandiri. Tak boleh lagi dibiayai sedikit pun dari dari APBD. Sebab dana APBD harus digunakan untuk kepentingan masyarakat. Bukan untuk membiayai segelintir orang saja.

Bukankah menyedihkan bila dana APBD kita itu jauh lebih banyak diberikan dan dihabiskan oleh orang asing dibanding besar dana yang dikucurkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin di daerah kita?

Saya bukan tak cinta dengan PSM. Saya dan pasti seluruh masyarakat Sulawesi Selatan bakal bangga dengan PSM bisa selalu berprestasi dan tetap menjadi salah satu klub sepakbola papan atas di kancah persepakbolaan nasional. Tapi tentu kita bakal lebih berbangga jika PSM bisa mengukir prestasi tanpa mesti dibiayai oleh APBD. Biarkanlah pengelola PSM memacu diri mencari sponsor ke swasta.

Dengan berprestasi yang baik, saya yakin tak sedikit sponsor pun bakal bergabung menjadi salah satu sponsor PSM. Sebaliknya bila kurang berprestasi, maka siap-siap bakal dijauhi sponsor. Ya itulah hukum alam. Siapa yang bisa beradaptasi dengan hukum alam itu, maka dialah yang eksis. Kalau PSM nantinya benar-benar tak lagi dibiayai oleh APBD, mungkin saja di awal-awal perjalanan prestasinya bakal merosot lagi. Karena dana yang minim, biasanya pengelola memang kurang leluasa bergerak dan tak leluasa membeli pemain berkualitas.

Diperlukan Kreasi
Tapi disitulah pengelola PSM dituntut berkreasi. Pengelola dituntut memaksimalkan pemain lokal yang memang tak dibayar semahal pemain asing. Membuka pusat pelatihan khusus untuk mencari bibit pemain PSM, bisa menjadi salah satu alternative solusi.

Pengelola juga dituntut lebih maksimal mencari sponsor. Kemudian memberi bukti kepada sponsor bahwa dana yang digelontorkan para sponsor itu dijawab dengan prestasi yang lebih baik lagi. Saya yakin dalam jangka panjang, PSM bakal lebih maju dan mandiri.

Tentu dengan syarat bahwa orang yang mengelolanya memang profesional. Toh beberapa tahun terakhir, prestasi PSM juga tak begitu gemilang. Padahal sudah mendapat suntikan dana hingga miliaran rupiah setiap tahunnya dari APBD.

Kegagalan
Dua hari sebelum saya membuat tulisan ini, sebagian masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya para suporter PSM sedang berduka. Menyusul PSM Makassar secara tragis gagal lolos ke babak Delapan Besar Liga Djarum Indonesia (LDI) XIII setelah takluk 1-3 dari lawannya kesebelasan Persiba pada partai terakhir dan paling menentukan di Stadion Persiba, Balikpapan, Kalimantan Timur, Minggu sore, 30 Desember 2007 lalu.

Inilah barangkali prestasi terburuk PSM dalam 13 tahun terakhir sejak Liga Indonesia digelar. PSM menutup kompetisi musim ini dengan bercokol di peringkat kelima klasemen akhir dengan peroleh 57 poin. Yang menyedihkan, tim yang berdiri sejak 1915 ini out hanya gara-gara kalah donasi gol.

Dengan berada di posisi lima klasemen, PSM yang sempat menyabet juara paruh musim lalu hanya lolos ke Liga Super yang mulai digelar musim depan. Liga Super adalah kompetisi yang dihasilkan PSSI, selain LDI dan Copa. Kompetisi ini diikuti oleh klub mulai peringkat ke sembilan masing-masing wilayah.

Sejak Ligina bergulir, inilah kali kedua klub berjuluk Tim Ayam Jantan dari Timur itu tersingkir dari dari babak delapan besar yakni pada Ligina I. Saat itu PSM hanya mampu finis di peringkat 10 klasemen sementara. ()

Ditulis di Makassar, 1 Januari 2008

Komentar