Rapat APBD Kok di Restoran Mewah

UNTUK kali kesekian anggota DPRD Sulawesi Selatan yang terpilih pada Pemilu 2004 lalu kembali menyakitkan hati masyarakat daerah ini. Kali ini sorotan kita terhadap ulah anggota dewan yang tergabung di panitia anggaran.

Betapa tidak, ada 18 anggota legislatif yang katanya terhormat itu menggelar rapat dengan Tim Anggaran Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan di Restoran Imperial Star, Jl Datu Museng, Makassar, Jumat siang, 6 Juni 2008 lalu.

Para panitia anggaran DPRD yang hadir itu di antaranya Surya Darma (PKS), Syamsari (PKS), Chairul Tallu Ibrahim (Golkar), Mapparessa Tutu (Golkar), Iskandar Zulkarnaen Latief (Golkar), Hoist Bachtiar (Golkar), Adil Patu (PDK), Hery Suhari Attas (PDK), Buhari Kahar Mudzakkar (PAN), Yusran Paris (PAN), Akmal Pasluddin (PKS), Syahrir Langko (PPP), Yunus Baso (PDIP), Asrullah (BDDM), Zulkifli (BDDM), Ajeip Padindang (Golkar), dan Dahlan Maulana (Golkar).
Dari Tim Anggaran Pemrov Sulsel hadir di antaranya Yushar Huduri (Kepala Biro Keuangan), Yaksan Hamzah (Kepala Dinas Pendapatan Daerah), Darwin Tike (Waka Bappeda), Tau Toto Tanaranggina (Kepala Biro Perlengkapan), dan delapan staf pemrov lainnya.

Untuk kepentingan rapat yang membahas rencana panitia anggaran menghadapi Rancangan APBD Perubahan 2008, mereka membooking dua ruangan VIP di lantai tiga restoran elit tersebut. Sebelum rapat, beberapa legislator itu menunggu menu makanan dengan berkaraoke di ruangan VIP rumah makan yang tak jauh dari Pantai Losari tersebut.

Ulah para legislator dan pejabat pemrov itu diketahui publik setelah surat kabar Tribun Timur Edisi Sabtu, 7 Juni 2008, memberitakannya pada halaman satu sebagai headline utama. Untuk berita ini secara pribadi saya salut pada Mansyur, wartawan yang memergoki dan menuliskan berita tersebut. Ia adalah alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) ALauddin Makassar. Oleh redaksi Tribun, ia diposkan meliput di DPRD Sulawesi Selatan.

Ketua harian panitia anggaran DPRD, Syamsari, menyebut rapat di restoran elit itu atas undangan Biro Keuangan Pemrov Sulsel yang dipimpin Yushar Huduri. Yushar mengakui mem-booking ruangan VIP di restoran tersebut. Namun hal itu dilakukan atas permintaan panitia anggaran DPRD legislatif yang meminta rapat di luar kantor.

Rapat di restoran memang hal biasa. Masalahnya, para anggota dewan bersama pejabat pemerintah itu menggelar rapat di restoran tersebut bukan dengan menggunakan biaya pribadi, melainkan menggunakan uang negara yang diambil dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Sebagai bahan perbandingan, seperti dikutip dari Tribun Timur, tarif harga di restoran tersebut adalah paling murah Rp 600 ribu per meja. Paling mahal Rp 800 ribu per meja. Jumlah peserta rapat saat itu adalah sekitar 30 orang. Per meja terdiri empat sampai lima orang. Itu berarti, untuk rapat tersebut sedikitnya ada enam meja yang digunakan.
Maka bisa dihitung, jumlah pengeluaran untuk sekadar makan di restoran itu minimal Rp 4 juta. Belum termasuk sewa dua ruangan VIP masing-masing Rp 1,5 juta. Juga belum termasuk jumlah pengeluaran jika masing-masing anggota dewan itu diberi lagi “uang rapat”.

Bagi saya pribadi, ulah para anggota dewan dan pejabat pemerintah tersebut tak etis, bahkan boleh dibilang sudah keterlaluan. Apalagi hal itu dilakukan di saat rakyat Indonesia, termasuk masyarakat Sulawesi Selatan, umumnya sedang kesulitan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang menimbulkan efek domino dengan naiknya harga kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya.

Saya berkeyakinan para anggota dewan dan pejabat pemerintah itu mengetahui bahwa umumnya masyarakat di daerah ini sedang “menjerit” akibat himpitan ekonomi saat ini. Tapi sayangnya, mereka tak peduli. Mereka mungkin sudah tak memiliki lagi sense of crisis.

Saya yakin ulah mereka yang menggelar rapat dengan biaya negara yang dilakukan di luar gedung tower itu bukan kali ini saja. Melainkan sudah menjadi kebiasaan mereka. Sayangnya, biasanya rapat demikian digelar diam-diam alias tak diberitahukan kepada wartawan dengan harapan ulahnya yang keterlaluan itu tidak diberitakan.

Kasus mereka yang menggelar rapat di Restoran Imperial Star itu juga salah satu kebiasaan para anggota dewan dan pejabat pemerintah kita yang dilakukan secara diam-diam. Terkesan tertutup karena rencana rapat itu tak diberitahukan kepada wartawan.

Pasalnya jadwal yang dirilis bagian Humas DPRD Sulsel, rapat panitia anggaran itu sedianya digelar di lantai dua Tower DPRD. Pertanyaan saya dan mungkin banyak orang, mengapa mereka harus rapat di restoran mewah.

Bukankah sudah ada gedung tower DPRD Sulsel berlantai sembilan yang jauh lebih megah dari pada Restoran Imperial Star itu? Bukankah gedung tower DPRD Sulsel yang dibangun dengan dana sekitar Rp 9,2 miliar dari APBD itu tersebut dimaksudkan agar para anggota dewan dan pejabat pemerintah yang menggelar rapat bisa kerasan. Serta dengan harapan tak perlu lagi mencari tempat lain di luar gedung tower hanya untuk rapat anggota dewan.

Bukankah di tower ini, panitia anggaran memiliki ruangan khusus yang bisa menampung 150 orang. Ruangan ini juga dilengkapi fasilitas rapat yang terbilang lengkap seperti mikropon dan sound system lainnya. Belum lagi ruangan yang memiliki pendingin udara yang sejuk plus kursi yang empuk.

Sehingga menurut saya tak ada alasan yang membenarkan rapat itu dilaksanakan di restoran mewah. Apalagi diketahui agenda rapat itu dilakukan pada jam kantor dan membahas kepentingan publik. Padahal pembahasan kepentingan publik, apalagi menggunakan uang negara, tidak boleh dilakukan secara tertutup.

Belum lagi kita tahu bahwa setiap tahun DPRD menganggarkan dana pemeliharaan gedung, pemeliharaan AC, penghisap karpet, dan lainnya untuk gedung DPRD dengan anggaran hingga miliaran rupiah. Belum lagi anggaran untuk konsumsi rapat dan honor peserta rapat serta tunjangan lainnya bagi anggota dewan.

Saya menduga, kecurigaan banyak orang bahwa rapat pembahasan anggaran anggota dewan dengan pejabat eksekutif di luar gedung DPRD adalah strategi kedua pihak memuluskan usulan anggaran APBD yang sedang dibahas, itu benar.
Jika ada niat memuluskan usulan anggaran APBD, biasanya aroma suap sangat kuat. Apakah ulah panitia anggaran DPRD Sulawesi Selatan dengan pejabat eksekutif Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang menggelar rapat di restoran mewah Imperial itu juga diwarnai suap? Saya tidak bisa memastikan. Tapi saya menaruh curiga.

Mengetahui pola kerja para anggota dewan yang kerap foya-foya dengan menggunakan uang negara tersebut, tak salah jika banyak orang berpendapat bahwa menjadi anggota dewan di Indonesia, termasuk di daerah ini, memang menggiurkan.

Saya sengaja menulis ulah mereka sekaligus mencatat ulang nama-nama mereka yang hadir pada rapat anggaran di restoran mewah itu dalam catatan harian ini dengan maksud agar bisa dikenang banyak orang, khususnya saya pribadi. Juga dengan harapan hal ini menjadi salah satu bahan pertimbangan saya sebelum memilih pada pemilu legislative mendatang. Catatan harian ini juga sebagai salah satu bentuk protes saya terhadap ulah mereka yang sudah keterlaluan.

Makassar, 8 Juni 2008

Komentar