Candoleng-doleng yang Tak Punah

AKSI candoleng-doleng atau goyang erotis yang dipertontonkan para biduan elekton pada persta pernikahan di sejumlah daerah di Sulawesi Selatan rupanya masih kerap terjadi. Setidaknya hingga catatan harian ini ditulis.

Contohnya adalah aksi candoleng-doleng di Dusun Panaikang, Kelurahan Leang-Leang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Minggu malam, 22 Juni 2008 lalu. 

Aksi yang sempat membuat sebagian penonton risih itu berlangsung dalam hajatan pengantin warga setempat.

Hal ini ironis. Sebab Kabupaten Maros setahu saya adalah salah satu daerah yang gencar mengampanyekan penerapan peraturan daerah bernuansa syariat Islam.

Aksi itu terbongkar di media massa setelah rekaman adegan yang mengundang birahi lelaki itu diperlihatkan aktivis Forum Pemerhati Pendidikan Maros (FPPM) ke wartawan. 

Aksi candoleng-doleng itu direkam dengan menggunakan ponsel tipe Palm Treo. Rekaman ini memperlihatkan aksi goyang erotis yang dipertontonkan lima wanita yang menjadi biduan Electon Pelangi asal Kabupaten Barru.

Katanya, untuk mendatangkan para biduan yang berani melakukan 'aksi panas' itu, pemilik hajatan menggelontorkan dana Rp 2,5 juta. 

Aksi ini tidak hanya ditonton kalangan dewasa, tapi juga tak sedikit anak-anak. (Tribun Timur edisi 24 Juni 2008).

Seingat saya, sejak 2006 lalu, Kepala Kepolisian Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat telah memerintahkan seluruh jajarannya agar menangkap para biduan dan manajernya yang masih menggelar candoleng-doleng. 

Pemilik hajatan yang mengundang dan memberi ruang tergelarnya “aksi panas” itu juga diperintahkan digelandang ke kantor polisi untuk diproses.

Perintah agar kepolisian memburu dan menangkap para pemain candoleng-candoleng itu dikeluarkan menyusul banyaknya kecaman dari masyarakat yang mempersoalkan maraknya aksi goyang erotis nan sensual tersebut di daerah ini. 

Aksi yang mengundang birahi lelaki normal itu dianggap sangat berbahaya karena bisa merusak mental dan akhlak banyak orang.

Betapa tidak, pada aksi candoleng-doleng itu, penyanyi wanita tanpa malu-malu kerap memamerkan bagian tubuhnya yang sensitif, seperti mempertontonkan payudaranya. 

Kadang hingga bagian aurat paling utama si-biduan. Untuk 'memanaskan' suasana, si biduan kadang dengan genit memasukkan micropone ke dalam celananya. 

Lalu micropone ditarik. Kemudian dimasukkan lagi. Begitu berulang kali dilakukan sembari si biduan sengaja mengeluarkan suara desahan.

Bahkan tak jarang, si biduan sengaja menarik penonton dari kaum adam untuk memegang langsung buah dadanya sembari bergoyang bersama di atas panggung. 

Tidak hanya lelaki dewasa. Tapi kadang anak-anak yang dilibatkan. 

Ada yang gratis. Tapi umumnya penonton yang ingin menyentuh langsung bagian sensitif si-biduan itu harus merogoh koceknya dulu. 

Cara bayarnya penonton memasukkan uang (saweran) ke dalam bra si-biduan.

Parahnya, aksi candoleng-doleng yang kerap digelar di pelosok-pelosok desa hingga kota itu semuanya dilakukan secara terbuka dan disaat tamu undangan hajatan masih ramai. 

Tentu saja tamu yang hadir tidak hanya orang dewasa. Tapi juga dihadiri banyak anak-anak, laki-laki maupun perempuan. 

Tak jarang aksi candoleng-doleng itu dilakukan pada siang hari.

Di sebagian pelosok daerah ini masih banyak pemukiman penduduk yang belum diterangi listrik PLN. 

Sehingga warga yang memiliki hajatan pernikahan umumnya melakukannya pada siang hari. 

Agar music elektone bisa bunyi, biasanya pemilik elektone menyediakan mesin generator.

Sejarah
Hingga catatan ini kutulis, saya belum mengetahui jelas dari mana asal mula atau sejarah candoleng-doleng itu hingga menjadi marak mewarnai hajatan pernikahan di Sulawesi Selatan. 

Yang saya tahu, aksi candoleng-doleng itu awalnya dari Kabupaten Barru. 

Pasalnya sejak awal tahun 2000-an, seiring menjamurnya grup elektone menggantikan orkes, tak sedikit hajatan pernikahan di daerah ini diwarnai aksi candoleng-doleng.

Beberapa grup elektone yang menyediakan biduan yang berani melakukan aksi candoleng-doleng pun bermunculan di Kabupaten Barru. 

Konon, grup-grup elektone itulah kemudian kerap diundang manggung di sejumlah daerah di Sulawesi Selatan.

Namun dari cerita Saharuddin Ridwan, seorang teman jurnalis Indosiar yang pernah melakukan reportase tentang candoleng-doleng di Kabupaten Barru sekitar akhir tahun 2005 lalu, para biduan itu rupanya kebanyakan bukan warga asli Kabupaten Barru. 

Melainkan sejumlah pendatang dari beberapa daerah di sekitar Barru seperti Parepare, Pinrang, dan beberapa daerah lainnya. Juga beberapa di antaranya adalah pendatang dari Jawa.

Para biduan itu direkrut pemilik elektone bukan karena memiliki suara yang merdu. Melainkan sibiduan bersedia tampil “panas” di atas panggung. 

Makanya, saat bernyanyi suara para biduan itu kadang cempreng. Kadang tak sesuai dengan notasi lagunya. 

Tapi pemilik elektone tak peduli. Umumnya penonton aksi mereka pun setali tiga uang.

“Sebab tujuan para biduan itu adalah membuat para penonton terhibur dengan aksi goyang candoleng-candoleng mereka,” tutur Saharuddin suatu hari pada penghujung tahun 2005 lalu di Warung Kopi Phoenam, Jl Boulevard, Panakkukang, Makassar.

Masih cerita dari Saharuddin, sebelum mereka naik panggung, biasanya para biduan itu menenggak minuman beralkohol.

Itulah mengapa para biduan candoleng-doleng itu katanya kadang bagai tak sadar jika sudah di atas panggung, menyanyi sembari memperlihatkan bagian tubuhnya yang sensual.

Getirnya Kehidupan
Di balik aksi sensualnya, ada yang getir dari sepenggal kisah para biduan “panas” itu. Honor yang diperoleh para biduan itu pun tak seberapa. 

Sekali manggung, mereka kadang diberi honor Rp 100 ribu. Paling banyak Rp 200 ribu per orang. Padahal untuk sekali manggung, para biduan itu bisa sehari semalam di lokasi hajatan.

Dalam sebulan, mereka kadang menerima order manggung empat kali. Paling banyak dua kali sepekan atau delapan kali sebulan. 

Tapi tak jarang mereka hanya menerima order manggung dua kali sebulan. Bisa dihitung jumlah penghasilan mereka dari order manggung tersebut.

Padahal, sejumlah biduan “panas” itu adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki beberapa anak dan tinggal di rumah kontrakan. 

Sementara sebagian lagi di antara mereka harus berjuang mencari nafkah seorang diri karena ditinggal pergi sang suami alias menjanda.

Makanya, untuk bertahan hidup dan membiayai kontrakan rumah, sebagian para biduan itu menerima order mencucikan pakaian milik tetangganya di saat tak ada order manggung. 

Ada yang kadang “terpaksa” menjajakan kemolekan tubuhnya pada lelaki hidung belang.

Kata Saharuddin, beberapa biduan tersebut mengaku enjoy saja dengan gaya hidupnya itu. Tapi ada juga sang biduan yang mengaku sedih dan selalu dihantui rasa bersalah usai manggung. 

Di balik aksi “liar” para biduan itu di atas panggung, hati kecilnya ada yang menjerit. Merintih. Berniat menjauh dari gaya hidupnya yang demikian. Hidup memang misteri. (Jumadi Mappanganro)

Makassar, akhir Juni 2008

Komentar

Posting Komentar