Menyoal Heboh Obama Menunduk Salami Raja Saudi

PERTEMUAN para pemimpin negara-negara ekonomi maju yang tergabung dalam Kelompok 20 (Group of Twenty/G20) baru saja usai digelar di London, Inggris, awal April 2009 lalu. Namun pertemuan yang membahas di antaranya krisis global tersebut menyisakan momen yang menjadi bahan berita kontroversi sekaligus menarik di berbagai media massa.

Momen dimaksud bukanlah karena terjadi ketegangan antara beberapa pemimpin negara dengan pemimpin negara lain yang memiliki cara pandang dan pendekatannya sendiri dalam menghadapi krisis keuangan global yang dibahas di pertemuan itu.

Di mana, Amerika Serikat mendesak negara-negara di Eropa untuk menambah dana stimulus. Namun bagi Eropa, langkah itu ibarat jalan menuju neraka. Eropa beranggapan hal yang terpenting adalah pembahasan reformasi arsitektur keuangan global.

Juga bukan momen ketegangan antara AS dengan China dan Rusia. Di mana, China dan Rusia mendesak dibentuknya sistem mata uang baru dunia, untuk menggantikan dominasi dolar selama ini. Dua negara ini menganggap nilai tukar dolar yang tidak stabil telah mengacaukan perekonomian dunia. Sedangkan Presiden Barack Obama menganggap dunia tidak membutuhkan mata uang baru. Alasannya nilai tukar dolar adalah yang terkuat di dunia.

Bukan pula momen ketegangan antara pengunjukrasa penentang pertemuan G20 dengan aparat yang menjaga keamanan pertemuan penting tersebut. Kendati salah seorang di antaranya pengunjukrasa itu ada yang meninggal.

Momen saya maksudkan adalah peristiwa Obama bersalaman dengan Raja Arab Saudi Abdullah saat keduanya menghadiri pertemuan G20 tersebut. Sebuah video menayangkan gambar Presiden Obama sedang membungkuk saat bersalaman dengan raja dari Arab Saudi tersebut.

Momen Obama menunduk di hadapan Raja Abdullah itu kemudian menjadi sorotan media-media di dunia. Yang paling menyorot adalah media konservatif AS. Harian Washington Times, yang konservatif, edisi Sabtu 11 April 2009, menurunkan tulisan yang menyebut tayangan video itu sangat mengejutkan karena Obama menghormati Raja Abdullah bukan sebagai mitra sejajar.

Harian itu menyebutkan cara Presiden Obama bersalaman dengan Raja Abdullah sangat menyalahi aturan protokol. Harian itu kemudian mempersoalkan cara Obama bersalaman dengan Raja Abdullah. Berita di Washington Post itu kemudian dikutip banyak media di dunia, termasuk media-media Indonesia.

Koran Tribun Timur, tempat saya bekerja sebagai jurnalis sejak 2003 lalu, juga kemudian ikut memberitakan peristiwa yang menghebohkan masyarakat Amerika Serikat tersebut sehari setelah Washington Post memberitakannya. Tribun Timur edisi Minggu, 12 April 2009, menuliskannya dengan judul Heboh Obama Menunduk di Depan Raja Saudi.

Pada berita itu, Juru Bicara Gedung Putih Robert Gibbs, seperti dikutip VOA, membantah Obama melakukan penghormatan seperti itu. Presiden Obama ketika bersalaman memang agak menunduk karena eratnya jabat tangan Obama dengan Raja Abdullah. Laporan sebelumnya mengutip pernyataan salah seorang staf Gedung Putih yang mengatakan Obama terlihat menunduk ketika bersalaman dengan Raja Abdullah, karena Obama lebih tinggi daripada Raja Abdullah.

Pascapemberitaan media massa di Indonesia, masyarakat Indonesia pun ikut heboh. Setidaknya hal ini tergambar dari respon pembaca berita tersebut yang bisa dilihat melalui situs-situs berita di Indonesia. Di milis Forum Pembaca Kompas misalnya, tulisan yang memberi komentar usai membaca berita Heboh Obama Menunduk di Depan Raja Saudi ramai. Saya juga ikut memberi komentar di milis ini.

Bagi saya, sikap Obama yang menunduk saat menyalami Raja Abdullah, mudah-mudahan itu menunjukkan bahwa Obama orangnya memang memiliki sifat rendah hati. Memang, ulah Obama yang terekam melalui kamera itu bisa menjadi bahan kontroversi.

Saya bisa memaklumi hal tersebut. Karena mungkin itu menjadi cerminan bahwa kebanyakan kita tak bisa menghormati sesama. Sebagian kita menganggap menunduk pada orang yang disalami adalah merendahkan diri sendiri. Seakan-akan orang yang disalami itu jauh lebih terhormat daripada yang menyalami sambil menunduk.

Menurut saya, jika menyalami seseorang apalagi yang disalami lebih tua sembari menunduk, lalu dicap merendahkan diri dan martabat bangsa orang yang menunduk itu, maka cara pandang itu keliru dan bisa masuk kategori sikap egois yang berlebihan. Yang saya ketahui bahwa sikap Obama demikian menunjukkan bahwa dirinya telah bersikap ksatria dan berjiwa sebagai pemimpin dunia.

Sebab, walau ia adalah pemimpin Amerika Serikat yang super power, ia tak mau dikatakan angkuh. Justru ia mampu menunjukkan bagaimana bersikap menghormati pemimpin negara-negara lain.

Sikap Obama demikian, saya kira dilakukan spontan. Bukan sikap yang dibuat-buat. Bagi saya, sikap demikian tak salah dan bahkan patut ditiru oleh pemimpin dunia lain. Bahkan model penghormatan yang dilakukan masyarakat Jepang yang silih berganti menunduk saat bersua, jauh lebih baik.

Cara pandang saya ini, bukan berarti saya termasuk pendukung fanatik AS dibawah pemerintahan Obama. Sebab beberapa kebijakan pemerintahan Obama pun patut dipertanyakan dari sisi keadilannya bagi peradaban manusia.

Kebijakannya yang patut dipertanyakan dari sisi keadilannya bagi peradaban manusia itu di antaranya menyetujui anggaran sebesar 83,5 miliar dolar AS untuk operasi militer dalam rangka memerangi pendukung Al Qaeda, Taliban, baru-baru ini. Atau kebijakan Barack Obama yang terkesan meneruskan kebijakan pemerintahan George W Bush yang melarang Iran mengembangkan teknologi nuklirnya.

Tapi saya juga bukan orang yang membenci “buta” seorang Obama. Sebab bagi saya, beberapa kebijakan Obama lainnya, sangat baik untuk peradaban manusia di buka bumi dan dari sisi keadilan global.

Kebijakan yang saya maksud itu di antaranya adalah janji Obama yang akan mengurangi sikap ikut campur AS terhadap urusan dalam negeri negara lain maupun kebijakannya yang akan menarik tentang AS di Irak setelah melakukan pendudukan di negeri seribu satu malam itu. Alllahu A’lam Bissawab. (jumadi mappanganro)

Ditulis di Warkop Cappo, Jl Sultan Alauddin, Makassar, 13 April 2009.

Komentar