Polisi Rampas Kamera Wartawan

PERAN wartawan rupanya masih banyak belum dipahami. Tak terkecuali sejumlah aparat penegak hukum di negeri ini.

Tulisan ini dibuat sebagai wujud keprihatinan saya terhadap nasib wartawan yang masih kerap mendapat intimidasi dan sejumlah gangguan dalam menjalankan profesinya. Yang lebih menyedihkan karena lagi-lagi yang melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap insan jurnalis itu adalah aparat penegak hukum, yang sejatinya justru diharapkan menjadi pengayom bagi keberlangsungan kerja para juru warta.

Senin, 3 Desember 2007. Hari ini boleh diboleh dibilang hari kelabu bagi wartawan di Makassar. Setidaknya, karena pada hari itu rekan, Kiblat Said, mendapat perlakuan kasar dari sejumlah aparat polisi.

Saat itu, senior sekaligus rekan kami yang sehari-hari sebagai wartawan Suara Pembaruan itu sedang meliput aksi unjukrasa puluhan warga berpakaian khas adat Makassar di Lapangan Karebosi. Aksi ini menentang proyek pembangunan revitalisasi Lapangan Karebosi, salah satu landmark Kota Makassar.

Awalnya aksi itu berjalan damai. Namun tak lama kemudian, para pengunjukrasa itu kemudian terlihat “beringas” menghancurkan pagar pembatas proyek revitalisasi.

Sejurus kemudian, puluhan personel polisi dari Polresta Makassar Barat dan Polwiltabes Kota Makassar yang sejak awal memang telah siaga di lokasi proyek revitalisasi Lapangan Karebosi itu pun langsung menghalau aksi perusakan tersebut. Sebagian di antara pengunjukrasa itu pun ditangkap setelah di antara mereka tak sedikit kena pukul dan tendangan yang dilepaskan sejumlah anggota polisi.

Momen perusakan pagar proyek dan pemukulan yang dilakukan sejumlah polisi terhadap pengunjukrasa itu pun menjadi sasaran shot kamera para wartawan. Salah seorang di antara wartawan yang mengambil gambar dengan kameranya itu adalah Kiblat.

Boleh dibilang momen ricuh atau bentrok demikian memang menjadi incaran atau sasaran empuk bagi juru foto atau kameramen. Makanya, hampir seluruh wartawan, baik dari media radio, cetak, terlebih televisi yang ada di Makassar, bak berlomba mengabadikan insiden tersebut.

Namun anehnya, Kiblat yang justru kena getahnya. Kamera pocket miliknya sempat dicoba dirampas dan diancam oleh seorang polisi yang kemudian diketahui bernama Bripka Asri Wahyudi. Mungkin karena saat itu, rekan kami yang cukup senior ini memotret tepat saat polisi itu menghajar beberapa pengunjukrasa hingga babak belur.

Beberapa polisi yang merasa dipotret itu pun khawatir bakal mendapat sorotan publik bila fotonya sedang memukul dipajang di koran. Kiblat bersikeras menolak kameranya dirampas Asri. Terjadi saling tarik kamera disertai adu mulut. Beberapa polisi ada yang nyaris memukulnya.

Untungnya saat itu tak terjadi pemukulan terhadap rekan sekaligus senior kami. Jika itu terjadi, maka makin perihlah penderitaan yang dialami kawan kami satu ini.

Saya memang tak berada di lokasi kejadian. Saat itu saya sedang bertugas meliput prosesi penerimaan dan pemberangkatan jamaah haji di Asrama Haji Sudiang. Saya baru mengetahui telah terjadi insiden tersebut melalui sebuah pesan elektronik dari seorang teman yang masuk handphone-ku saat sore menjelang malam atau beberapa jam setelah peristiwa itu terjadi.

Pengirim pesan pendek itu adalah Nasrullah Nara, wartawan sekaligus Kepala Biro Kompas untuk wilayah Indonesia Timur dan Ketua Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulawesi Selata. Ia mengecam keras ulah polisi yang telah dapat dikategorikan sebagai upaya menghalang-halangi wartawan dalam menjalankan profesinya. Ini jelas sebuah pelanggaran hukum. Harus dilawan!

Demo Solidaritas
Hati saya sedikit terhibur setelah mendengar bahwa intimidasi yang dialami M Kiblat itu telah disikapi pula oleh sejumlah rekan kami sesama wartawan di Kota Makassar. Puluhan wartawan dari beberapa organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulawesi Selatan, dan Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulawesi Selatan berunjukrasa mengecam ulah polisi di Markas Polwiltabes (Mapolwiltabes) Makassar.

Kebetulan jarak markas polwiltabes dengan Lapangan Karebosi sekitar 50 meter. Usai meliput aksi perusakan pagar proyek revitalisasi Lapangan Karebosi yang diwarnai kericuhan itu, para wartawan langsung menuju ke mapolwiltabes. Para juru warta ini menggantungkan id card masing-masing di pintu aula mapolwiltabes.

Bagi saya, intimidasi yang dilakukan polisi terhadap wartawan tak bisa didiamkan. Tapi harus dilawan. Sebab jika perlakuan seperti yang dialami Kiblat itu dibiarkan begitu saja, saya khawatir bakal banyak lagi wartawan yang akan mendapat perlakuan sama bahkan mungkin lebih parah lagi.a

Saya bersyukur solidaritas wartawan di kota ini cukup tinggi. Bukan saja dalam kasus intimidasi yang dialami rekan kami di Makassar, beberapa kasus kekerasan yang dialami sejumlah jurnalis di kota lain di Indonesia bahkan di luar negeri, kami kerap menggelar aksi solidaritas yang sama. Kendati jurnalis yang menjadi korban kekerasan itu tak kami kenal. Namun kami melihatnya dari segi profesinya.

Tak Ada Permintaan Maaf

Sungguh keterlaluan jajaran pemimpin kepolisian, khususnya di Makassar. Kendati telah didemo oleh puluhan wartawan di Markas Polwiltabes Makassar, hingga sehari setelah insiden tersebut, jangankan menegaskan bahwa pihaknya akan menindak ulah Bripka Asri Wahyudi, para petinggi kepolisian di Makassar tak ada satu pun yang mengumumkan bahwa institusinya memohon maaf atas ulah anggotanya itu.

Kapolda Sulawesi Selatan Irjen Polisi Aryanto Boediharjo dan Kapolwiltabes Makassar Kombes Polisi Genot Hariyanto yang mestinya tampil meminta maaf sebagai pimpinan kepolisian yang bertanggungjawab atas ulah anak buahnya tersebut, tak kedengaran suaranya.

Padahal, bila keduanya memang seorang pemimpin yang bertanggungjawab dan punya apresiasi terhadap profesi wartawan, mestinya Kapolda Sulsel atau Kapolwiltabes Makassar mengirimkan permohonan maaf secara tertulis kepada masing-masing redaksi media di Makassar dan redaksi Suara Pembaruan di Jakarta bahwa intitusi yang dipimpinnya memohon maaf atas ulah anggotanya yang telah berlaku tak pantas pada rekan kami, M Kiblat. Sekaligus akan menindak sesuai mekanisme sanksi kepolisian terhadap Bripka Asri Wahyudi.

Jika itu dilakukan, saya kira keduanya bakal mendapat simpatik dari publik. Tapi sayang, momen itu tak dimanfaatkan secara baik oleh keduanya. Wartawan pun pun makin tak simpatik padanya.

Gaya Orde Baru

Menurut saya tingkah laku polisi yang masih kerap menghalang-halangi kerja wartawan, apalagi sampai melakukan kekerasan, tak ubahnya sebuah tindak pidana yang bisa dimejahijaukan.

Semua kalangan harus paham bahwa profesi wartawan dalam menjalankan profesinya, dilindungi Undang-Undang (UU) RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. UU ini mengakui profesi dan fungsi wartawan sebagai penyebar informasi dalam bentuk tulisan maupun gambar.

Pengambilan gambar aparat yang menindas demonstran tersebut harus dimaknai sebagai upaya wartawan menyuguhkan info seakurat mungkin. Hal itu juga harus dimaknai sebagai upaya kontrol terhadap kesewenang-wenangan aparat keamanan terhadap warga negara.

Dalam hal ini, perlindungan negara terhadap kerja wartawan, mestinya diwujudkan oleh polisi dalam bentuk memberi rasa aman bagi jurnalis dalam menjalankan tuntutan profesinya. Bukan justru menimbulkan ketegangan, intimidasi, apalagi sampai menganiaya wartawan.

Sungguh, cara-cara kerja kepolisian yang represif seperti kasus yang menimpa rekan kami, Kiblat, adalah salah satu manifestasi reinkarnasi Orde Baru. Sudah bukan zamannya. Terhadap cara-cara Orde Baru demikian, hanya ada satu kata: Lawan! ()

Makassar, 4 Desember 2007

Komentar