Jusuf Kalla dan Usulan Tanggalkan Jas

PERNYATAAN Jusuf Kalla saat memberikan arahan pada acara Pendidikan Singkat Angkat (PSA) XV Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) di Gedung Utama I Istana Wakil Presiden, Jakarta, pada hari Selasa tanggal 10 Juli 2007 lalu, cukup menghentak. Juga rasional.

Betapa tidak, Wakil Presiden RI sekaligus Ketua Umum Partai Golkar periode 2005-2010 itu menyindir kebiasaan pejabat di negara ini yang ke mana-mana suka mengenakan jas. Menurutnya jas tak cocok dikenakan di Indonesia. Alasannya iklim di negeri ini tergolong tropis.

Saya menilai pernyataan yang aku baca di halaman pertama melalui koran Tribun Timur edisi Rabu, 11 Juli 2007, itu menghentak. Karena setahu saya soal jas selama ini jarang dijadikan bahan pembicaraan khusus. Apalagi sampai disindir. Mungkin karena sudah sering dilihat dan dikenakan banyak orang di dunia.

Tidak hanya pejabat, pengusaha, atau pegawai kantoran, bahkan jas tidak jarang terlihat dikenakan para petani di pelosok desa sekali pun kala menghadiri pesta pernikahan atau hajatan yang dihadiri banyak orang.

Tak heran bila kemudian ada orang mengenakan jas di suatu tempat terbuka yang gerah sekali pun, umumnya kita tak persoalkan. Karena dianggap sudah hal biasa. Sekali lagi ini barangkali karena sudah seringnya banyak orang terlihat mengenakan jas, tanpa pandang mereka berada di lokasi mana.

Singkatnya, jas tak hanya akrab di kalangan para pejabat atau orang kantoran di Ibu Kota Negara RI, Jakarta. Tapi boleh dibilang telah membudaya di hampir seluruh Nusantara. Tidak terkecuali para pejabat pemerintah, pengusaha, dan orang kantoran di Sulawesi Selatan.

Bahkan di Sulawesi Selatan tak jarang dijumpai orang mengenakan jas dengan memadukan sarung alias perpaduan modern dan tradisional. Ini bisa dijumpai kala ada acara pernikahan atau pesta adat di beberapa daerah di Sulsel. Lagi-lagi, tak pandang apakah si pemakai jas itu adalah pejabat atau bukan.

Pun kadang tak memperhatikan apakah ruang yang digunakannya dilengkapi
pendingin udara atau tidak, tak sedikit masyarakat kita mengenakan jas dilengkapi dasi lagi.

Salah satu contohnya adalah di Pengadilan Negeri Makassar. Hampir selalu dipastikan bila mana pada sidang itu menghadirkan saksi ahli, maka si-saksi ahli bakal kita lihat mengenakan jas. Lengkapi dengan dasinya.

Padahal ruang siding di PN Makassar tak satu pun dilengkapi pendingin udara. Sehingga berada agak lama dalam ruang siding, bagi saya sangat gerah. Tidak jarang badan saya mengucurkan keringat bila berada berlama-lama dalam ruang sidang. Terlebih bila pengunjung ruang sidang dipenuhi pengunjung.

Anehnya, si pengguna jas tersebut bak tak juga kapok. Saban datang di PN Makassar ia pun selalu mengenakan jas. Mungkin baginya, mengenakan jas bisa menunjukkan bahwa si pemakai hendak memberi citra sebagai ahli yang punya ilmu pengetahuan dalam, berduit atau orang berada alias telah mapan

Boros Listrik
Entah dari mana awalnya dan kapan masyarakat kita pertama kali mengenakan jas. Yang pasti, busana masyarakat Barat, yang memiliki empat musim di negerinya, itu kini juga sudah populer di Indonesia. Kendati sebagian masyarakat Indonesia tak jarang mengenakan jas yang tak dilengkapi dengan dasi.

Kembali ke laptop. Maksud saya kembali pada pernyataan Jusuf Kalla terkait jas. Pria yang akrab disapa JK atau Kak Ucu di kalangan komunitas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu tak sekadar mengeritik. Tapi ia membuktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kendati mengikuti acara-acara formal atau kenegaraan sekali pun, putra dari pasangan Hadji Kalla dan Hajjah Athirah itu sangat jarang mengenakan jas.

Bahkan saat berada di luar negeri yang suhunya cukup dingin, ia biasanya hanya mengenakan baju kemeja biasa tanpa dasi. Padahal orang-orang di sekitarnya, umumnya mengenakan jas. Tapi JK terlihat santai dengan gaya khasnya itu.

JK dalam beberapa kesempatan mengaku hanya mengenakan jas bila ia akan bertemu dengan Presiden, Perdana Menteri, Raja, atau selevelnya. Selain mereka, penerus usaha Hadji Kalla Group itu selalu tampil dengan gaya khasnya kala menerima tamunya atau menghadiri undangan pertemuan.

Bagi saya, untuk gaya khas JK dan sikapnya yang mengeritik banyak pejabat yang kerap terlihat bangga mengenakan jas sehari-hari, layak untuk diacungi jempol. Patut ditiru.

"Bukankah kita juga harus menghemat pemakaian listrik. Di departemen-departemen itu kan boros sekali pemakaian AC-nya. Itu karena budaya pemakaian jas di kantor-kantor. Padahal kita ini kan negara tropis," ujar Jusuf Kalla pada pertemuan yang digelar Lemhanas itu.

Pernyataan JK itu mengingatkan saya pada sejumlah pejabat yang dalam beberapa kesempatan tak jarang mengingatkan agar Rakyat Indonesia harus hemat listrik. Namun saat melontarkan seruan itu, ia terlihat gagah dengan stelan jas yang dikenakannya. Lengkap lagi dengan dasinya.

Pikiran saya, pastilah pejabat itu senang berada di ruangan yang berpendingin
udara. Tentu ruang kerjanya dilengkapi AC yang menyedot arus listrik sangat besar. Sehingga seruan pejabat itu, rasanya hambar saja.

Busana Lokal
Karenanya kritik pedas yang dilontarkan JK itu perlu disambut dan disebarluaskan kepada masyarakat Indonesia. Yuk tinggalkan jas! Seruan ini sekaligus bagian dari kampanye hemat listrik. Pakai saja kemeja biasa. Bila perlu kemeja batik atau kemeja dengan corak khas budaya lokal daerah masing-masing.

Bukankah masyarakat Nusantara ini kaya dengan produk khasnya masing-masing? Kita mesti kembali membangkitkan semangat nasionalisme dengan mencintai produk budaya kita sendiri.

Kapan lagi kalau bukan sekarang? Siapa lagi yang akan bangga dengan produk budaya Indonesia, kalau bukan kita sendiri? ()

Makassar, 12 Juli 2007

Komentar