Metode Hermeneutika Ragukan Isi Quran

Catatan dari Workshop Hermeneutika dan Tafsir Quran

AKHIR-akhir ini gerakan "impor pemikiran" semakin gencar dilakukan di kalangan intelektual di Indonesia. Namun tidak sedikit "impor pemikiran" itu sesungguhnya bertentangan prinsip mainstreem yang dianut umat Islam. Salah satu contohnya adalah metode berpikir ala Hermeneutika yang telah dimasukkan dalam kurikulum di beberapa universitas Islam di negeri ini.

Hal itu mengemuka pada workshop bertema Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur'an yang digelar di Kampus Ma'had `Aly al-Wahdah, Jl Inspeksi PAM, Kecamatan Manggala Raya, Makassar, Senin 22 Juni 2009 lalu.

Workshop ini dilaksanakan Pusat Pengabdian Kepada Masyarakat (P2M) Ma'had `Aly al-Wahdah Makassar bekerja sama dengan Ikatan Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA) serta Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).

Workshop yang diikuti 50 peserta dari utusan lembaga pendidikan Islam Sulsel ini menghadirkan Ketua DDII Dr Adian Husaini MA yang juga dosen UI Jakarta dan Dr Syamsuddin Arif MA yang sehari-hari sebagai pengajar di International Islamic University Malaysia (IIUM).

Adian membawakan materi Dampak Ilmu Hermeneutika terhadap Quran dan Isu Gender. Sedangkan Syamsuddin membawakan materi, Apa Itu Hermeneutika dan Kritik Reinterpretasi dan Liberalisasi Penafsiran.

Menurut Syamsuddin, Hermeneutics yang berasal dari bahasa Yunani yang artinya perkara-perkara yang berkenaan dengan pemahaman atau penerjemahan suatu pesan. Hermeutika otomatis menghendaki penolakan terhadap status Quran sebagai kalamullah (firman Allah), mempertanyakan otentitasnya.

"Hermeneutika menghendaki penganut untuk menganut relativisme epistemonologis, tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Sehingga dengan paham ini bisa melahirkan mufassir-mufassir gadungan dan pemikir-pemikir liar yang sesat lagi menyesatkan," jelas Syamsuddin yang menguasai empat bahasa asing yakni Arab, Perancis, Jerman, dan Yunani.

Senada dengan Syamsuddin, Dr Adian Husaini MA memaparkan beberapa contoh hasil tafsir Al Quran dengan metode Hemeneutika yang dinilai menyesatkan.

Di antaranya adalah tidak wajibnya jilbab bagi wanita. Perkawinan homoseksual atau lesbian jadi halal. Khamar jadi halal dan wanita boleh menikah dengan laki-laki non muslim.

"Semua perubahan itu bisa dilakukan dengan mengatasnamakan tafsir kontekstual yang dianggap sejalan dengan perkembangan zaman," tutur Adian pada workshop tersebut.

Dengan menggunakan teori Hermeneutika tauhid, katanya, Prof Amina Wadud, seorang wanita, telah memimpin salat Jumat di sebuah katedral di Amerika Serikat dengan barisan makmun laki-laki dan wanita tidak menggunakan jilbab saat melaksanakan salat.

Karena itulah Wakil Ketua Komisi Hubungan Antaragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ini menegaskan bahwa penggunaan metode berpikir Hermeneutika sebagai satu metode tafsir Quran bisa sangat berbahaya. Karena berpotensi besar membubarkan ajaran-ajaran Islam yang sudah final.

Paham relativisme tafsir akan menghancurkan bangunan ilmu pengetahuan Islam yang sudah teruji selama ratusan tahun. Sedangkan dengan metode Hermeneutika, tafsir Al Quran hingga kini masih bisa dianggap merupakan upaya coba-coba beberapa ilmuwan kontemporer yang belum membuahkan pemikiran Islam yang utuh dan komprehensif.

Akibatnya, para pendukung Hermeneutika tidak akan mampu membuat satu tafsir Al Quran yang utuh. Cara seperti ini jelas tidak bisa diterapkan dalam penafsiran Al Quran. Sebab Al Quran adalah wahyu yang lafaz dan maknanya dari Allah, bukan ditulis oleh manusia.

Karena itu, ketika ayat-ayat Al Quran berbicara tentang pernikahan, khamr atau minuman beralkohol, aurat wanita, dan sebagainya, Al Quran tidak berbicara untuk orang Arab. Teks Al Quran tidak berubah sepanjang masa dan maknanya tetap terjaga sejak diturunkan sampai sekarang dan nanti.

Jadi , meskipun ayat tentang khamr diturunkan di Arab dan dalam bahasa Arab, ayat itu berbicara kepada semua manusia, bukan hanya ditujukan kepada orang Arab yang hidup di daerah panas dan sudah kecanduan khamr. Maka, Khamr haram bagi semua manusia, sedikit atau banyak, baik untuk orang Arab atau bukan. (jumadi mappanganro)

Tulisan di atas dimuat bersambung di harian Tribun Timur edisi tanggal 26 dan 27 Juli 2009.

Komentar