Polisi Awasi Dakwah di Masjid

SETELAH 11 tahun usia Era Reformasi, rasanya penguasa negeri ini ingin mengembalikan Indonesia seperti masa Orde Baru lagi. Itulah yang kurasa tatkala membaca berita yang mengabarkan instruksi Mabes Polri kepada aparatnya di seluruh Tanah Air Indonesia untuk menggiatkan pengawasan terhadap ceramah keagamaan dan kegiatan dakwah di masjid-masjid, termasuk yang disampaikan saat di masa bulan suci Ramadhan.

Intruksi itu disampaikan Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Nanan Soekarna, saat jumpa pers di Markas Besar (Mabes) Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Jumat, 21 Agustus 2009 lalu. Katanya, jika dalam materi dakwah itu ditemukan ajakan yang bersifat provokasi dan melanggar hukum, aparat akan mengambil tindakan tegas kepada penceramah tersebut.

Nanan beralasan, pengawasan itu bukan bermaksud membatasi ceramah atau dakwah. Namun, upaya itu dipandang perlu untuk memantau dan merekam, apakah ada upaya provokasi dan pelanggaran hukum. Jika dalam materi dakwah itu ditemukan ajakan yang bersifat provokasi dan melanggar hukum, aparat akan mengambil tindakan tegas.

''Polisi tidak akan menghalangi dakwah dan tausiyah. Tapi, kita akan mencoba nempel di situ untuk lebih terbuka dan memantau,'' ujar Nanan dikutip detik.com.

Katanya, ini bagian dari meningkatkan upaya pencegahan tindak terorisme di Indonesia. Hal ini menyusul masih kerapnya terjadi aksi peledakan bom di sejumlah daerah di Indonesia. Insiden terbaru adalah peledakan di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton, Jakarta, 17 Juli 2009 lalu.

Membaca berita tentang intruksi Mabes Polri itu, nalar dan hati saya kompak menyatakan ketidaksetujuan. Instruksi tersebut bisa dibaca bahwa Polri telah over action. Sebab intruksi itu secara tidak langsung telah menuduh bahwa para teroris di Indonesia itu melakukan aksinya karena mendengarkan ceramah di masjid. Intruksi itu juga seakan menuduh peran ulama turut menyuburkan tindakan teroris di Indonesia.

Saya yakin ulama dan sebagian besar rakyat Indonesia tak setuju dengan aksi-aksi teroris. Baik aksi teroris yang dilakukan secara individu, maupun atas nama negara seperti yang dilakukan beberapa negara di dunia yang mengebom anak-anak, perempuan, dan manula di Palestina, Lebanon, Afganistan, dan negara-negara yang kini masih dilanda konflik.

Tapi intruksi untuk mengawasi ceramah keagamaan dan kegiatan dakwah di masjid-masjid itu justru meresahkan masyarakat, karena para pendakwah diposisikan sebagai orang yang dicurigai. Hal ini juga bakal menimbulkan suasana permusuhan antara pemerintah dan umat Islam. Jelas ini akan meresahkan umat Islam karena bagai memunculkan situasi adu domba.

Jelas intruksi tersebut merupakan langkah mundur bagi demokrasi. Indonesia seakan kembali ke arah otoritarian dan penegakan hukum yang represif sebagaimana banyak dipraktekkan pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto sebagai Presiden RI saat itu. Sungguh menyakitkan.

Saya khawatir, instruksi itu lahir dari perintah penguasa tertinggi negeri ini atau jangan-jangan ini merupakan pesanan pemerintah asing yang tak suka dengan gerakan dakwah yang dilakukan para ulama dan aktivis Islam di Indonesia. Kalau kekhawatiran itu benar, maka Polri telah terjebak dalam skenario yang ingin menjebak dengan mengaitkan aktivitas dakwah dengan aksi terorisme.

Saya juga khawatir, instruksi itu justru hanya akan mengekalkan antipati sebagian umat Islam berbuat radikal terhadap pemerintah. Bukankah lazimnya, jika pemerintah salah langkah, maka akan lebih banyak gerakan yang mendukung aksi radikalisme.

Saya setuju dengan komentar Ketua Majelis Pakar Dewan Pengurus Pusat Pusat Partai Keadilan Sejahtera (DPP-PKS) Soeripto dikutip INILAH.COM, Sabtu (22/08/09). Intruksi untuk mengawasi dan merekam ceramah Islam di masjid-masjid itu bisa dinilai telah melanggar kebebasan masyarakat beragama.

Mantan pejabat Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) ini menilai, upaya yang dilakukan polisi itu sangatlah tidak masuk akal. Sebab, pergerakan ataupun aktivitas teroris dalam mempengaruhi orang lain dalam rangka rekrutmen tidak akan dilakukan secara terbuka, melainkan selalu sembunyi-sembunyi.

"Kalau namanya organisasi teroris dalam menggalang, mencari calon teroris bukan dilakukan dalam bentuk ceramah terbuka. Tapi dengan cara mengincar calonnya dulu baru di indoktrinasi secara sembunyi. Jadi tidak mungkin mereka melakukan indoktrinasi itu dalam ceramah tarawih di masjid-masjid umum," kata Wakil Ketua Komisi III DPR ini.

Semoga saja instruksi itu segera dicabut. Semoga umat Islam tak selalu disalahkan jika muncul aksi-aksi terorisme. Sebab tidak sedikit aksi teror di dunia ini merupakan skenario jahat untuk memojokkan suatu kaum tertentu. Wallau A’lam Bissawab.

Makassar, 24 Agustus 2009

Komentar