Menanti Ketegasan Kapolda Sulawesi Selatan

- Kasus Salah Tangkap dan Penganiayaan Mahasiswa Unismuh Makassar (2-Habis)


KAPOLDA Sulawesi Selatan Irjen Polisi Adang Rochjana kali ini dinanti ketegasan dan sikap profesionalnya terkait kasus salah tangkap dan penyiksaan terhadap Aswin yang dilakukan oknum aparat Polresta Gowa dan Polwiltabes Makassar.

Jika Adang mampu memberi sanksi berupa penetapan tersangka dan menyeret ke proses hukum melalui pengadilan negeri terhadap anak buahnya yang telah menyiksa Aswin, jenderal bintang dua ini pantas disebut orang yang tegas dan profesional.

"Tapi jika hal itu tidak dilakukannya, maka Adang pun bisa disebut telah melanggar kode etik Polri karena melindungi anak buahnya yang bersalah," ujar Direktur LBH Kota Makassar Abdul Muttalib, kuasa hukum Aswin, Jumat (16/10/09).

Aswin adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar yang ditangkap, lalu disiksa karena dituduh terlibat kasus pencurian laptop. Penyiksaan tersebut terjadi di kantor Polresta Gowa, 29 September lalu.

Penyiksaan yang dialami korban kemudian berlanjut saat Aswin cs dibawa ke Polwiltabes Makassar, 30 September. Namun belakangan
korban dilepaskan setelah polisi tak cukup bukti keterlibatannya dalam kasus pencurian laptop tersebut.

Terkait kasus tersebut, polisi dinilai telah melabrak asas praduga tidak bersalah dengan melakukan penganiayaan terhadap orang yang dicurigai. Perlakuan polisi itu lagi-lagi menambah deretan kesalahan polisi yang kerap gegabah dan terlalu dini memvonis seseorang.

Kekerasan itu juga dianggap jelas-jelas pelanggaran hak sipil politik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 dan pelanggaran KUHAP.

Bukan hanya itu, perilaku penyidik yang menyiksa korban tersebut telah melanggar Pasal 13 ayat pertama Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

"Di mana pada Peraturan Kapolri itu ditegaskan bahwa dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan, setiap petugas Polril dilarang antara lain, melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan," jelas mantan aktivis mahasiswa UMI ini.

Berdasarkan aturan di atas, tak ada alasan kapolda melindungi anak buahnya yang bersalah. Kapolda melalui propam dan reskrim didesak untuk memproses laporan korban tanpa diskriminasi.

Kalau terbukti oknum polisi itu telah menganiaya, maka tak ada alasan untuk tidak memberi hukuman berat berdasarkan aturan hukum KUHP (penganiayaan) dan aturan disipilin polri.

"Kami juga akan menempuh upaya hukum termasuk mengajukan gugatan ganti kerugian terhadap harkat dan martabat korban yang telah teraniaya secara fisik dan nama baiknya," tambah Muttalib. (jumadi mappanganro)

(tulisan di atas terbit di Tribun Timur edisi Sabtu, 17 Oktober 2009)

Komentar