Rawan Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkup Pemerintah

Catatan dari Konsultasi Publik Draft Naskah Akademik Perwali Tentang LPI PBJ

SAAT ini sangat mendesak adanya Lembaga Pemantau Independen (LPI) Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) di lingkup Pemerintah Kota Makassar. Tujuan dari lembaga ini diharapkan bisa memastikan penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa secara transparan, berkeadilan, dan parsipatif.

Selain itu, LPI PBJ juga diharapkan bisa menjami partisipasi aktif masyarakat dalam melakukan pengawasan proses pengadaan barang dan jasa serta menjamin mutu atau kualitas barang jasa.

Hal itu mengemuka pada Konsultasi Publik Draft Naskah Akademik Peraturan Wali Kota Makassar Tentang Lembaga Pemantau Independen (LPI) Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkup Pemkot Makassar di Hotel Singgasana, Makassar, Rabu (25/11/09). Dihadiri puluhan peserta perwakilan unsur birokrat, pengusaha, organisasi masyarakat sipil, jurnalis, stake holder lainnya.

Konsultasi publik ini digelar Transparency International Indonesia (TII) dan Pemerintah Kota Makassar yang didukung DANIDA. Menghadirkan pembicara Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Dr Aswanto SH MH, dosen Fakultas Ekonomi Unhas Hamid Paddu MA, Sekretaris YLK Sulawesi Selatan Yudi Raharjo.

Beberapa alasan desakan pembentukan LPI tersebut di antaranya berdasarkan landasan sosilogis/empiris yakni hasil penelitian yang dilakukan Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC), menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di antara 13 negara di Asia.

"Di mana salah satu lahan korupsi paling subur adalah di bidang pengadaan barang dan jasa (PBJ) di lingkup birokrasi pemerintah. Setiap tahunnya diperkirakan Indonesia mengalami kerugian negara sekitar Rp 35 triliun atau sekitar tiga persen dari nilai anggaran belanja negara," papar Yudi.

Kebocoran tersebut menyebar ke daerah-daerah. Karena sekitar 65 persen belanja negara dalam APBN ke daerah. Hasil kajian Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan World Bank dan Asia Development Bank yang disebut Country Procurement Assesment Report (CPAR) pada 2001- 2006 telah terjadi kebocoran uang negara dalam PBJ berkisar antara 10-40 persen.

"Karena itu memang mendesak adanya LPI PBJ ini," jelas Yudi yang juga sebagai tim penyusunan draft naskah akademik Perwali Kota Makassar tentang LPI PBJ di lingkup Pemkot Makassar.

Lembaga ini diharapkan bertugas antara lain melakukan pemantauan, investigasi, dan menerima informasi pengaduan, termasuk melakukan konfirmasi/klarifikasi pada pihak-pihak terkait dan memberikan rekomendasi atas laporan penyimpangan dan atau pelanggaran dalam proses PBJ.

Sementara menurut Hamid dan Aswanto, keduanya menyatakan setuju dan mendukung adanya LPI PBJ tersebut. Namun Aswanto yang juga Ketua Ombudsman Makassar menyarankan agar lebih kuat kedudukannya, aturannya diperdakan. Bukan Perwali. Sedangkan Hamid mengingatkan agar LPI nantinya tidak sekadar memantau, memberi penyuluhan, tapi bisa menjadi "polisi" bagi proses PBJ dan berani mempublikasikan ke publik jika menemukan penyimpangan dalam PBJ.

"LPI harus bisa memastikan bahwa pengguna barang jasa memperoleh barang dan jasa dengan harga yang bisa dipertanggungjawabkan, jumlah dan mutu sesuai serta tepat waktu," saran Hamid.

Pada dialog yang dipandu M Nawir dari Komite Perjuangan Rakyat Miskin (KPRM) Makassar, disepakati bahwa jika korupsi masih merajelela akan sangat mempersulit upaya-upaya antara lain pengurangan penduduk miskin, menurunkan angka pengangguran, meningkatkan penyediaan kebutuhan dasar yaitu pendidikan, pelayanan kesehatan, dan peningkatan akses publik terhadap air bersih dan sanitasi bagi penduduk. (jumadi mappanganro)

Catatan: Tulisan di atas terbit di Tribun Timur edisi Kamis, 26 November 2009

Komentar