Selamat Jalan Sang Guru Egaliter



Innalillahi wa Inna Ilahi Rojiun. Pagi itu saya terkaget bercampur ragu kala mendengar presenter RCTI menyampaikan kabar bahwa KH Abdurrhaman Wahid alias Gus Dur telah meninggal.

Saya baru baru yakin setelah kabar duka itu diulang lagi oleh presenter RCTI usai menampilkan pandangan Prof Dr Syafie Maarif, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, tentang sosok almarhum Gus Dur. Usai itu segera kuganti chanel dari RCTI ke TV One. Rupanya kabar kematian Gus Dur diekspose dengan sangat baik oleh TV One.

Kabar duka ini sangat telat kutahu. Gus Dur, seperti disampaikan tim dokter Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang merawatnya, wafat pada Rabu, 30 Desember 2009, pukul 18.45 WIB. Sedangkan saya baru tahu pada Kamis, 31 Desember 2009, sekira pukul 05. 50 WITA atau sekira 10 jam setelah ia menghembuskan napas terakhirnya.

Saat itu saya baru beberapa menit usai salat subuh. Sesuai kebiasaan, usai salat subuh, saya menghidupkan (on) televisi untuk mengetahui kabar terbaru.

Sebagai jurnalis, kabar penting ini sangat telat kutahu. Mestinya sejak tadi malam, kabar ini kutahu. Tapi tak sempat. Sebab, kemarin usai salat magrib, ditemani istri, kami ke dokter praktek dr M Junus P, dokter ahli penyakit dalam dan paru, di Jl Tinumbu, Makassar, untuk berobat.

Sudah dua hari terakhir ini saya mengalami batuk berlendir yang kerap disertai sesak napas. Sepulang berobat, saya tak sempat lagi menonton berita di televisi maupun membaca berita atau email melalui internet di rumah. Usai menunaikan salat isya, saya memilih segera tidur. Makanya tak sempat dengar kabar duka tersebut.

Bagi saya dan kebanyakan orang yang mengenal sosoknya, penyematan gelar sebagai Guru Bangsa memang sangat pantas disandang Gus Dur yang lahir di Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940 silam ini. Dia adalah satu dari sedikit tokoh yang saya kagumi. Dia adalah pemimpin dan guru yang egaliter, pejuang kebhinekaan, dan pejuang demokrasi yang konsisten, serta sosok pemersatu bangsa.

Pembela Marginal
Dia juga adalah tokoh yang selalu membela kaum marginal, teraniaya, dan tertindas. Tak peduli latarbelakang mereka yang dibelanya. Ia juga adalah tokoh yang selalu menjadi tempat curahan hati bagi siapa saja, mulai rakyat jelata hingga tokoh berpengaruh sekaliber Prabowo Subianto, Presiden III RI Megawati Soekarno Puteri, dan banyak tokoh nasional dan internasional lainnya.

Sosok seperti artis serba bisa, Dorce Gamalama, adalah satu dari sekian banyak orang yang pernah dibelanya. Dorce seperti diutarakannya dalam program Apa Kabar Indonesia yang disiarkan secara langsung oleh TV One mengiringi detik-detik pemakaman Gus Dur, mengaku sangat kehilangan almarhum.

Dorce menceritakan bagaimana dirinya pernah menjadi orang yang banyak dikecam saat hendak berhaji. Banyak orang mencacimakinya karena hendak berhaji dengan status perempuan. Padahal ia lahir sebagai sosok berjenis kelamin laki-laki. Pada saat itulah Dorce menemui Gus Dur dan mengutarakan perasaannya.

Pandangan Gus Dur, berbeda dengan pandangan kebanyakan orang. Gus Dur, seperti tutur Dorce, bisa memahaminya yang hendak berhaji dengan status perempuan. Soal dosa itu urusan personal antara individu dan Tuhannya. Ucapan Gus Dur itu memberi Dorce spirit dan semangat yang kemudian tak bisa dilupakan Dorce sepanjang hidupnya. Belakangan Dorce makin akrab dengan Gus Dur yang kerap disambanginya hingga saat hendak dimakamkan.

Tak salah jika banyak orang kemudian menyematkan Gus Dur dengan gelar sebagai tokoh yang berani melawan “arus” ini. Mantan Ketua Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) ini sekaligus boleh dibilang sebagai tokoh unik, saking banyaknya gelar sosial yang disematkan orang kepadanya. Termasuk gelar tokoh yang suka guyon dengan joke-jokenya yang cerdas.

Misteri Tuhan
Semasa kepresidenannya, sempat muncul anekdot tentang misteri Tuhan. Bahwa ada tiga misteri Tuhan yang tidak bisa dipahami atau diketahui manusia sebelum hal itu terjadi yakni jodoh, kematian, dan Gus Dur. Hal ini karena pemikiran Gus Dur dan kebijakannya kadang sulit ditebak. Serta masih banyak anekdot lain tentang dirinya. Menulis tentang sosoknya, rasanya ribuan buku masih belum cukup.

Singkatnya, dalam banyak kesan, Gus Dur mungkin bisa digambarkan dengan kata-kata yang singkat saja: kompleks dan nyeleneh.

Betapa tidak, Gus Dur jugalah yang membuka karakter Istana Negara menjadi lebih cair. Masih teringat di benak jutaan rakyat Indonesia, ia pernah tampak terekam kamera tv yang mengenakan celana pendek di Istana Negara di saat jelang kelengserannya sebagai Presiden RI ke-4.

Penampilan seorang Presiden mengenakan celana pendek di Istana Negara adalah hal tak lazim. Begitu pula saat sejumlah ulama dari berbagai daerah yang tak sungkan mengenakan sandal dan sarung ke Istana Negara kala hendak bersua dengan cucu pendiri NU, Hasyim Asyhari, ini.

Dari cerita teman sesama jurnalis yang pernah bertugas di Istana Negara di masa kepemimpinan Gus Dur, katanya, untuk mewawancarai ulama kharismatik ini tak susah karena tak banyak aturan protokolernya. Apa saja yang diucapkan atau kelakuannya, bisa jadi berita hangat di media massa. Intinya tak susah cari berita tentang dia, kebijakan, dan pandangannya terhadap berbagai problematik bangsa Indonesia dan dunia.

Tentang sosoknya yang egaliter yang mudah berkomunikasi dengan siapa saja, saya pernah merasakannya langsung. Ketika itu saya masih sebagai jurnalis di Radio Delta FM Makassar, 2002 lalu. Seingat saya, ada dua kali kesempatan kami mewawancarai Gus Dur melalui telepon dalam siaran Delta Morning Show yang dipandu Canny F Watae.

Namun sebelum dialog itu disiarkan, saya bertugas mengontak Gus Dur melalui ponselnya. Awalnya diujung telepon, orang dekat Gus Dur yakni Al Zastrow, menerima panggilanku. Lalu setelah memperkenalkan diri dan menceritakan maksud kami menelepon, Al Sastrow kemudian menghubungkan kami dengan Gus Dur. Saat kami berbicara melalui ponsel, saya merasa tak ada jarak dan rasanya kami sudah lama berkenalan. Dialog pun sangat sangat cair. Padahal, kami tak pernah bertemu dan bersapa langsung sebelumnya.

Saya merasa begitu mudahnya untuk berkomunikasi dengannya. Padahal, ia adalah mantan Presiden RI dan masih sebagai tokoh yang sangat berpengaruh di Indonesia dan luar negeri. Berbeda dengan sejumlah pejabat atau tokoh ternama di Sulawesi Selatan yang begitu susah dihubungi nomor ponselnya. Jika nomor penelepon tak dikenalnya, kebanyakan ditolak.

Bersandal
Hingga suatu hari, masih di tahun 2002 lalu, Gus Dur pun berkenan datang di studio siar Radio Delta FM Makassar yang saat itu masih berada di lantai 10 Hotel Sahid Jaya Makassar. Saat itu ia ditemani murid setianya Al Zastrow dan seorang pendampingnya yang juga bertubuh gemuk. Tak kulihat lelaki berbadan tegap dan berambut cepak yang mendampinginya saat ke Studio Radio Delta FM Makassar saat itu.
Padahal ia adalah mantan Presiden RI.

Pagi menjelang siang itu, Gus Dur pun bersedia berbicara dalam Dialog Spesial Bersama Gus Dur yang disiarkan langsung Radio Delta FM Makassar. Penampilan tokoh fenomenal ini sangat sederhana. Saat itu ia mengenakan kemeja batik coklat, bersandal, dan kopiah.

Dialog yang dipandu Canny F Watae itu pun sangat asyik. Karena Gus Dur masih sempat melontarkan guyon-guyonnya yang menyegarkan. Pada dialog ini, Gus Dur banyak memberikan pandangan-pandangannya tentang berbagai persoalan bangsa Indonesia dan dunia, seperti masalah Aceh hingga Irak, tentang detik-detik ia lengser sebagai presiden, soal syariat Islam, hingga soal kesukaannya membaca novel dan mendengarkan lagu-lagu klasik Eropa.

Yang membuatku kagum dan terkesan, diusianya yang sudah lebih 60 tahun dan telah kena stroke hingga tiga kali, ia masih ingat dengan beberapa judul novel yang pernah dibacanya saat kuliah di Kairo, Baghdad, hingga Prancis. Termasuk judul lagu-lagu klasik Eropa. Dialog yang menyegarkan dan mencerdaskan itu pun mengundang banyak penelepon yang masuk dan bertanya kepada Gus Dur.

Para penelepon saat itu tak hanya pendengar yang bermukim di Kota Makassar, tapi juga tak sedikit dari luar Kota Makassar. Dialog yang berlangsung sekitar dua jam siang itu pun rasanya sebentar saja.

Usai dialog, kami tak ingin melewatkan dengan berfoto-foto dan berbincang-bincang santai bersama Gus Dur di luar studio. Guru Bangsa ini pun mau saja. Pengalaman inilah yang sulit saya lupakan. Foto-foto bersama Gus Dur pun masih kukoleksi. Saking mengaguminya, foto yang memperlihatkan saya sedang bersalaman dengannya di Studio Siar Radio Delta FM Makassar kupajang di dinding ruang tamu rumahku di kampung, Pomalaa.

Beberapa kebijakannya semasa menjabat Presiden yang menurutku tepat adalah kala mengangkat Menteri Pertahanan dari orang sipil. Lalu membubarkan departemen penerangan dan departemen social serta memisahkan TNI dan Polri. Lalu menghapuskan Tap MPR yang melarang ajaran Marxisme dan Leninisme. Kemudian menjadikan Hari Raya Imlek, hari kebesaran masyarakat Tionghoa, sebagai hari libur nasional.

Di masa Orde Baru, hal di atas sulit terwujud. Tapi lewat Gus Dur, hal tabu di masa Soeharto sebagai Presiden RI, itu dilabraknya. Mungkin bagi sebagian orang, menilai kebijakan Gus Dur itu sebagai hal negatif bagi kelangsungan nasionalisme Indonesia. Tapi saya justru berpandangan sebaliknya.

Mungkin karena saya merasa tertarik dengan pemikirannya yang kontroversi beberapa buku yang menuliskan tentang profil dan pemikiran Gus Dur pun telah ada dalam koleksi bukuku. Buku tentangnya yang pertama kubeli adalah buku Biografi Gus Dur yang ditulis Greg Barton dan diterbitkan LKiS.

Wawasan dan pergaulan Gus Dur yang mengglobal, tak salah jika ayah empat putri ini telah menjadi tokoh dunia. Ia adalah tokoh asal Indonesia yang namanya tercatat sebagai pengurus sejumlah organisasi internasional. Jadi kepergiannya, bukan hanya duka bagi rakyat Indonesia. Tapi duka dunia.

Mengingat peran positifnya yang menghargai dan mencintai kemajemukan semasa hidupnya, saya tak heran tatkala tayangan di televisi mengabarkan banyaknya tokoh lintas agama yang datang di rumah duka di Ciganjur sesaat sebelum diterbangkan ke Jombang, Kamis (31/12/12) pagi.

Mereka yang datang di rumah duka pun tak hanya pejabat penting yang sedang berkuasa di negeri ini seperti Presiden SBY dan wakilnya Boediono, Ketua MPR RI Taufik Kiemas, mantan Wakil Presiden Hamzah Haz, mantan Wakil Presiden Tri Sutrisno, dan sejumlah menteri, arits, budayawan, tapi juga banyak rakyat jelata yang mungkin saja tak dikenal almarhum. Mereka yang datang pun tak hanya mereka yang Muslim, tapi juga banyak non muslim.

Di rumah duka, rakyat jelata itu leluasa melihat dari dekat almarhum Gus Dur. Saya tak melihat melalui layar kaca televisi hal serupa saat Presiden II RI Soeharto wafat, Ahad 27 Januari 2008 lalu. Saat penguasa Orde Baru itu wafat, hanya orang dekat Soeharto dan pejabat tinggi Negara saja yang boleh masuk di rumah duka dan melihat langsung almarhum dari dekat. Rakyat jelata itu kebanyakan hanya bisa melihat iring-iringan mobil yang mengantar Jenderal Bintang lima itu ke peristirahatan terakhirnya di Solo dari pinggir jalan.

Suasana di rumah duka Gus Dur di Ciganjur, seperti ditayangkan secara langsung TV One, tak jauh berbeda di Ciganjur. Terlihat di halaman dan sekitar Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur, tempat Gus Dur akan dimakamkan tepat disamping kakeknya, Hasyim Asyhari, berkumpul ribuan orang. Terlihat tempat pemakamaannya pun, seperti kuburan ayah dan kakeknya, sangat sederhana.

Lintas AgamaMereka yang hadir tak hanya para petinggi negara yang masih berkuasa, para alim ulama, dan orang dekat Gus Dur, tapi juga banyak rakyat jelata yang mungkin tak dikenal almarhum.

Pun saya tak heran, kala menyaksikan mulai rakyat jelata, hingga tokoh nasional, maupun internasional mengaku belasungkawa dan merasa kehilangan atas wafatnya Gus Dur. Sampai-sampai sejumlah kepala negara, termasuk Presiden Amerika Serikat Barack Obama, juga mengucapkan belasungkawa atas wafatnya Gus Dur. Tak sedikit mereka yang mengenal Gus Dur pun terlihat menangis saat mengetahui Sang Guru Bangsa itu wafat.

Lalu beberapa jam setelah Presiden RI ke-4 itu dimasukkan di lihat lahat, tampak sejumlah organisasi agama Islam, Kristiani, Katholik, Tionghoa, Hindu, Buddha, beberapa aliran kepercayaan di berbagai daerah, seperti ditayangkan sejumlah televisi swasta di Indonesia, beramai-ramai membuat acara doa bersama untuk keselamatan Gus Dur.

Tak terkecuali para aktivis mahasiswa, seniman, artis, budayawan, militer, hingga narapidana juga melakukan hal serupa. Mereka mendoakan keselamatan Gus Dur yang diakuinya pula sebagai guru dan pemimpin mereka. Bahkan artis dan pencipta lagu serta pendiri Dewa Band, Ahmad Dani, seperti disampaikan melalui televisi, mengaku siap menjadi penyambung lidah Gus Dur.

Hal tersebut mencerminkan bahwa almarhum memang adalah tokoh egaliter. Tokoh yang dekat dengan siapa saja. Walau sulit mendapatkan tokoh sekaliber Gus Dur, saya dan seperti kebanyakan orang yang mengenal sosok almarhum tentu akan terus berharap ada tokoh yang bisa melanjutkan perjuangannya. Bagi saya, penyematan gelar Bapak Demokrasi Indonesia, Bapak Pluralisme Indonesia, bahkan Pahlawan Nasional Indonesia layak disematkan kepada sosok Gus Dur.

Gus, maafkan saya dan orang-orang yang mungkin telah berbuat salah kepadamu. Selamat jalan Pahlawanku. Bangsa ini akan selalu merindukan sosokmu yang bagai Wong Ndeso, tapi memiliki pemikiran yang jauh melewati orang megapolitan. Damailah Sang Guru Egaliter. Pemikiran, guyon, sikap dan kebijakanmu semasa hidup, akan selalu kami kenang. Bangsa dan dunia ini merasa kehilangan dirimu. Kami ikhlas. Sebab Allah SWT lebih mencintaimu. Terima kasih Gus, atas segala dedikasimu untuk bangsa ini.

Innalillahi wa Inna Ilahir Rojiun. Sesungguhnya semua makhluk berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Gus Dur adalah manusia biasa. Tak luput dari kekurangan dosa-dosa Beliau sebagai manusia biasa. Karena itu Ya Allah, sudilah Engkau berkenan menerima amal-amal Beliau dan memaafkan semua kekurangan serta dosanya.

Ya Allah, izinkan pula kami bisa meneruskan perjuangannya menghargai multikultur, menghormati hak asasi manusia, dan menjadi khalifah lil alamin. Terimalah kiriman al fatihah kami untuk Beliau. Amin ya Rabbal Alamin. (*)

Makassar, 31 Desember 2009

Sumber Foto:anakbangsa69.wordpress.com/.../guyonan-gusdur/

Komentar