Jadilah Pejuang, Anakku!




NAMANYA Imam Fadhlurrahman Mappanganro. Lahir di Rumah Sakit (RS) Pertiwi, Jl Jenderal Sudirman, Makassar, pada Minggu tengah malam, 21 Desember 2008. Ia adalah putra pertama kami.

Ia lahir dengan berat tak normal yakni hanya 2,3 kilogram. Sehingga usai dilahirkan, selama dua hari anak kami berada di tabung kaca dan mendapat penanganan khusus dari tim medis RS.

Namanya tak langsung kami berikan saat ia lahir. Kami baru sepakat memberinya nama Imam Fadhlurrahman Mappanganro setelah hampir sepekan pascakelahirannya. Imam adalah kata yang kuusulkan.

"Imam artinya adalah pemimpin," kataku memberi alasan kepada istri saat diskusi di rumah mertua di Jl Landak, Makassar, pada hari kelima kelahiran putra kami.

Sementara kata fadhlurrahman adalah usulan istriku. Artinya adalah anugerah dari Sang Maha Penyayang.

Saya kemudian mengusulkan lagi agar namanya ditambahi kata Mappanganro pada akhir namanya. Mappanganro adalah nama kakekku dari garis ayah. Tujuan saya menyematkan nama kakekku ini agar namanya bisa tetap lestari sekaligus saya ingin ada kesan kedaerahan, khususnya suku Bugis-Makassar, pada namanya. Sebab nama Imam Fahdlurrahman adalah kata-kata dari bahasa Arab.

Insya Allah, jika masih diberi lagi keturunan, saya mau diakhir setiap nama keturunanku tercantum nama Mappanganro. Hal ini kuharap juga bisa menjadi penanda hubungan kekerabatan keluarga dari keturunan Mappanganro. Kakekku ini telah lama meninggal di kampungnya di sebuah desa di Kabupaten Bone.

Alhamdulillah, saya dan istri sama-sama setuju dengan nama tersebut. Maka, jadilah nama anak kami, Imam Fadhlurrahman Mappanganro. Artinya kurang lebih adalah pemimpin yang mendapat anugerah sekaligus yang disayangi Allah SWT.

Sebelum nama itu kami sepakati, awalnya saya sempat mengusulkan agar putra kami diberi nama Imam Samudera Mappanganro. Alasan saya, nama ini sangat bagus. Artinya, kurang lebihnya adalah pemimpin yang berwawasan luas.

Tapi istriku menolak dengan alasan nama itu identik dengan almarhum Imam Samudera yang meninggal karena ditembak mati karena tuduhan sebagai teroris. "Ganti saja nama belakangnya,Kak," usul istriku saat itu.

Walau alasan istriku itu kurang tepat dan bisa diperdebatkan, saya memilih mengalah dan mengikuti saja sarannya.

Sempat terlintas di benak, siapa tahu saja nantinya putra kami itu mendapat kesempatan mengenyam pendidikan ke luar negeri, namun dicegat atau tak mendapatkan izin atau dipersulit memperoleh visa hanya karena namanya sama dengan Imam Samudera yang dimaksud istriku.

Imam Samudera yang dimaksud adalah orang yang sebenarnya bernama Abdul Azis, terpidana mati karena tuduhan terlibat dalam aksi pengeboman di beberapa tempat di Indonesia, salah satunya Bom Bali 2002. Ia meninggal setelah ditembak regu penembak di Nusa Kambangan, 9 November 2008, pada umur 38 tahun.

Sejak penghancuran gedung kembar World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat (AS), 11 September 2001 lalu, saat itulah Pemerintah AS dan pendukungnya terkesan paranoid.

Pemerintah AS pun makin mengetatkan masuknya orang ke negerinya. Terutama bagi masyarakat Muslim. Nama-nama yang berbau Arab, diperiksa ketat. Pasalnya, pelaku peristiwa peledakan yang ditaksir mengakibatkan 3.000 orang tewas dalam serangan tersebut dikaitkan dengan orang Arab dan Muslim.


Beberapa warga Kota Makassar pernah mengalami hal serupa. Ia dipersulit mendapatkan visa dari Kedubes AS hanya karena namanya berbau Arab semisal ada kata Muhamamd dan Abdul.

Belajar Jalan
Saat aku memosting fotonya di blog ini, ia masih belajar berjalan. Giginya sudah banyak tumbuh. Air liurnya masih kerap menetes membasahi bajunya. Kata dokter di Ratulangi Medical Centre yang memeriksanya, Sabtu (13/3/2010) malam lalu, beratnya 9,5 kilogram.

Beberapa kali kami membawanya ke dokter karena mengalami diare. Pernah pula mengalami inpeksi pada saluran pernapasannya. Rumah Sakit Grestelina dan Ratulangi Medical Centre di Jl Dr Sam Ratulangi adalah tempat yang kerap kami datangi di Kota Makassar, jika Imam didera sakit.

Alhamdulillah adalah kata yang paling pantas kami haturkan kepada-NYA. Sebab kendati sakit, ia belum pernah diopname. Jika sakit, selama ini hanya menjalani perawatan jalan.

"Ya Allah berikanlah selalu kesehatan, rahmat, rezeki-Mu kepada keluarga kami. Jadikan kami hamba yang selalu berada di jalan yang Engkau Ridhoi. Amin."

Jika boleh berharap pada anak, saya berharap ia tumbuh menjadi anak yang sehat, cerdas, idealis, dan setia berjuang untuk kemaslahatan rakyat banyak. Kami berusaha tak memaksakan kehendak kepadanya kelak, terkait pilihan profesi yang dicita-citakannya. Asalkan profesi itu dijalankan secara profesional dan diperuntukkan sebesar-besarnya untuk memperbaiki peradaban.

"Jadilah pejuang, Anakku!" Amin.

Makassar, Senin, 15 Maret 2010

Komentar