Pasal Pencemaran Nama Baik Saatnya Dihapus dalam KUHP


Keterangan foto: Peserta Lokakarya Kode Etik Jurnalistik berfoto bersama dengan para pengelola dan pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) di Hotel Makassar Golden, Jalan Pasar Ikan, Makassar, Rabu (17/2/2010).

Catatan dari Lokakarya Kode Etik Jurnalistik (2)
Beberapa isi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang digunakan di Indonesia saat ini dinilai masih antidemokrasi, berideologi kolonial, otoritarian, feodal, dan fasisme.

Alasannya karena beberapa pasal dalam KUHP di Indonesia masih menyatakan pencemaran nama baik dan penghinaan terhadap penguasa sebagai pidana seperti termaktub dalam Pasal 311, 315, dan 207 KUHP. Pasal-pasal ini dinilai bisa membunuh kritik dan sosial kontrol yang biasa dilakukan mahasiswa, masyarakat, maupun jurnalis.

Hal itu mengemuka pada hari kedua Lokakarya Kode Etik Jurnalistik yang digelar di Hotel Makassar Golden, Jalan Pasar Ikan, Makassar, Rabu (17/2/2010). Pada lokakarya ini menampilkan mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Asraatmadja dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Hendrayana.

Lokakarya yang berlangsung hingga Kamis (18/2) hari ini dilaksanakan Lembaga Pers Dr Soetomo bekerja sama dengan Kedutaan Besar (Kedubes) Norwegia untuk Indonesia. Diikuti kurang lebih 30-an jurnalis dari beberapa media di Indonesia timur.

"Pasal tentang pencemaran terhadap presiden saja sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kok pasal tentang penghinaan terhadap penguasa, dalam hal ini tentu saja di bawah presiden, masih saja dipertahankan," kata Hendrayana.

Sementara menurut Atmakusumah, mengutip pendapat Hakim Agung Artidjo Alkostar yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, salah satu ciri pemerintahan otoriter adalah mempergunakan hukum pidana dan penegakan hukum untuk membungkam kelompok kritis.

"Padahal yang diperlukan adalah hukum yang berwatak kemerdekaan, egalitarian, dan demokrasi kerakyatan," kata Atmakusumah yang juga mantan wartawan ini.

Atmakusumah menambahkan, penegakan hukum di Indonesia ada baiknya mencontoh apa yang telah dilakukan beberapa negara lainnya yang sudah menghapus pasal pencemaran nama baik atau penghinaan terhadap penguasa sebagai tindak pidana.

"Di Inggris misalnya, pada 12 November 2009 lalu, hukum Inggris menetapkan dekriminalisasi terhadap defamation, termasuk di dalamnya pencemaran nama baik, fitnah, dan pencemaran untuk menghasut dan pencemaran asusila," katanya.

Baik Indrayana maupun Atmkusumah sepakat mengusulkan agar pasal pencemaran nama baik dan penghinaan terhadap penguasa serta pasal-pasal antikritik dalam KUHP, saatnya dihapus. Minimal jika dipertahankan, pelanggarnya tidak dikenakan sanksi pidana, melainkn sanksi perdata berupa denda yang proporsional. (jumadi mappanganro)

Catatan: Terbit di Tribun Timur edisi 18 Februari 2010

Komentar