Rawan Longsor di Enrekang


Citizen Reporter

SETIAP memasuki musim hujan, saya selalu mengkhawatirkan bencana alam seperti longsor dan banjir. Sebab sudah banyak wilayah di Sulawesi Selatan (Sulsel) yang telah mengalami bencana tersebut saban musim hujan.

Akibat bencana itu, tak sedikit rumah warga rusak. Harta benda hilang. Bahkan, sudah banyak warga yang kehilangan nyawanya seperti pernah menimpa Kabupaten Sinjai, Gowa, Palopo, dan beberapa daerah lainnya di Sulsel.

Kekhawatiran bencana dan akibatnya itulah yang selalu mengganggu benak saya setiap kali pulang kampung di Kabupaten Enrekang. Pasalnya, beberapa kawasan di Enrekang saat ini kondisinya sangat rentan terjadi longsor. Pun banjir akibat eksploitasi alam yang terjadi di daerah kami.

Beberapa kawasan rawan longsor dimaksud di antaranya Dusun Cendana, Dusun Pudukku, Dusun Kabere, dan Dusun Karrang yang berada di Kecamatan Cendana. Sebagian besar kawasan ini merupakan pegunungan. Namun sebagian hutan di kawasan ini telah berubah menjadi areal pertanian jagung.

Padahal, keberadaan tanaman jagung tersebut dinilai tak kuat menahan pergerakan tanah sehingga berpotensi mengakibatkan longsor di kawasan konversi lahan tersebut, terutama pada musim hujan.

Sedangkan kawasan rawan banjir berada di kawasan ibu kota Enrekang. Potensi ini dikarenakan kawasan ini merupakan tempat pertemuan dua alur sungai yakni Sungai Saddang dan Sungai Mata Allo.

Itulah salah satu sebabnya ibu kota Enrekang setiap tahun tidak luput dari banjir. Walau sejauh ini belum membawa korban berarti, namun setiap banjir dipastikan mobilitas warga di ibu kota Enrekang terganggu.

Beberapa kali saya ke kawasan tersebut, saya tidak melihat adanya upaya antisipasi atau tindakan meminimalisasi terjadinya bencana tersebut. Untuk itulah ada baiknya hal ini selalu diingatkan kepada Pemda Enrekang sedapat mungkin mengantisipasi potensi bencana alam di kampung kami, yang menjadi tanggungjawabnya.

Mestinya pemda setempat, terkhusus satuan perangkat kerja daerah (SKPD) terkait, melakukan langkah kongkrit untuk mencegah atau meminimalisasi dampak jika terjadi longsor atau banjir di kawasan dimaksud.

Jangan sampai nanti terjadi bencana dan menimbulkan korban jiwa, baru pemerintah setempat bergerak menanganinya. Kan lebih baik mencegah daripada mengobati. Atau istilahnya, kalau bukan sekarang, besok terlambat-maki. (*)

Musmahendra
Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel dan aktivis Jaringan Masyarakat Penanggulangan Bencana (JMPB) Makassar

Catatan: laporan di atas terbit di Tribun Timur edisi 20 Januari 2010

Komentar