Banyak Kasus Korupsi Mandek, Rapor Kejati Sulsel Merah

Catatan Kinerja Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (3-Habis)

JIKA diibaratkan nilai rapor, maka kinerja Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan bisa digolongkan merah. Hal ini dikarenakan masih banyaknya kasus korupsi yang ditangani kejati di bawah nahkoda Adjat Sudrajat mandek.

Penilaian itu dikemukakan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Makassar Abdul Muttalib kepada Tribun di Makassar, Kamis (1/4/2010).

Beberapa kasus mandek itu, sebut Muttalib, di antaranya adalah kasus dugaan korupsi pengadaan meteran PDAM Kota Makassar tahun 2007, kasus korupsi APBD Tana Toraja tahun anggaran 2005-2006, dan kasus korupsi pembebasan lahan Celebes Conventio Centre (CCC).

Pada kasus PDAM, kejati telah menetapkan Dirut PDAM Makassar Tadjuddin Noor sebagai tersangka sejak tahun selebih. BPKP menaksir kerugian negara lebih Rp 1,2 miliar pada kasus ini. Walau lebih setahun, kasus ini belum juga dilimpahkan kejaksaan ke pengadilan.

Pada kasus APBD Tana Toraja yang ditaksir merugikan negara senilai Rp 3,7 miliar, kejati juga telah menetapkan tiga tersangka yakni Bupati Tana Toraja J Amping Situru, mantan mantan Wakil Bupati Toraja CL Palimbong, serta mantan Sekda Toraja A Palino Popang.

Mereka ditetapkan sebagai tersangka saat Kejati Sulsel masih dipimpin Abdul Hakim Ritonga pada tahun 2005 lalu. Namun hingga kini, dari tiga tersangka, baru Palino Popang yang sudah dijatuhi vonis oleh Pengadilan Negeri Makassar.

Sedangkan tersangka lainnya yakni Amping dan Palimbong, kejati belum melimpahkan lagi berkas dan tersangkanya ke PN Makassar setelah sempat ditolak dengan alasan berkas yang dibuat kejati belum lengkap.

Begitu pula kasus CCC dengan tersangka Siddiq Salam yang kini menjabat Asisten III Pemprov Sulsel. Kendati sudah berstatus tersangka sejak lebih dua tahun lalu, kasusnya belum juga dilimpahkan kejaksaan ke pengadilan.

"Dengan mandeknya kasus ini, sebenarnya kejati bisa dikatakan telah melanggar hak sipil politik masyarakat. Orang yang menyandang status tersangka terlalu lama, itu bisa tersiksa secara mental. Ini juga bisa disebut tidak adanya kepastian hukum yang merupakan hak asasi manusia," ujar Muttalib.

Yang lebih parah dari mandeknya kasus itu di kejati, mereka yang menyandang status tersangka dikhawatirkan bisa menjadi sapi perahan atau anjungan tunai mandiri (ATM) berjalan bagi oknum tertentu.

"Jika hal itu terjadi maka kejaksaan bisa disebut telah melakukan detournament of de povouir yaitu menggunakan kewenangannya untuk tujuan yang tidak benar. Jika ini terjadi maka pelakunya juga harus diproses," tegas mantan Ketua HMI Komisariat Fakultas Hukum UMI ini. (jumadi mappanganro)

Catatan: Tulisan di atas di Tribun Timur edisi Jumat, 2 April 2010

Komentar