Ariel dan Etika Jurnalistik


Ariel dan Luna Maya saat tiba di Mabes Polri, Jumat (11/6/2010) (Foto: Heru Haryono/okezone)

NAZRIEL Irham alias Ariel menuai masalah baru. Mantan vokalis Band Peterpen itu  dilapor lagi ke Mabes Polri.

Kali ini pelapornya Zikrullah, kameramen Trans 7. Laporannya diterima polisi,  Jumat (11/6/2010) lalu. 

Ariel dilapor telah merusak kamera yang dibawa kameraman Zikrullah.

Perusakan itu terjadi saat Ariel bersama kekasihnya, Luna Maya, hendak meninggalkan Mabes Polri, Jumat (11/6/2010) sore. 

Saat itu, Ariel dan Luna baru saja selesai diperiksa terkait beredarnya video mesum yang diduga dibintangi dua artis yang telah menjadi pasangan kekasih itu.

Ketika Ariel hendak memasuki mobil yang menunggunya di halaman Mabes Polri, Jl Trunojoyo No 3, Jakarta, saat itu kamera Zikrullah berada persis di atas kepala Ariel. 

Merasa terganggu dengan kamera yang ada di atas kepalanya, tanpa melihat ke belakang, Ariel refleks dan menarik widelens (lensa lebar) kamera yang dipegang Zikrullah.

Akibatnya, ujung depan kamera Zikrullah patah. Selain perusakan, kameraman yang akrab dipanggil dengan nama Ziki itu juga berencana melaporkan pemukulan. 

Ia mengaku sikutan Ariel mengenai bibirnya. Nasib yang menimpa Ariel itu ibarat pepatah, sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Membaca berita di atas, saya merasa perlu menuliskan beberapa catatan terkait insiden tersebut. 

Benar bahwa jurnalis tugasnya mencari berita. Pun harus diakui kehadiran Ariel dan Luna di Mabes Polri itu adalah berita yang menarik. 

Apalagi  pasangan ini ada kaitannya dengan dugaan kasus seks yang sedang menjadi perhatian publik.

Maka hal wajar jika Ariel dan Luna Maya jadi sasaran liputan para juru warta. 

Apalagi, Ariel dan Luna juga adalah selebriti papan atas yang memiliki banyak penggemar di Tanah Air.

Pada posisi tersebut, saya bisa bisa memaklumi jika banyak wartawan berbondong-bondong berusaha meliput kehadiran Ariel dan Luna di Mabes Polri saat itu. 

Maklum, berita tentang Ariel sedang hangat. Dicari banyak pembaca media cetak maupun online serta pemirsa televisi.

Tapi, jika ada pendapat yang mengatakan bahwa berita tentang artis dan kisah perselingkuhannya tak menarik juga tak penting jadi berita di media massa, sah-sah saja. 

Tak ada yang melarang pendapat demikian. Tergantung selera pembaca maupun pemirsa.

Pun jika ada pendapat yang mengatakan bahwa liputan terkait kasus Ariel, Luna, dan Cut Tari tersebut telah melanggar hak privasi (keleluasaan pribadi) para artis tersebut, boleh-boleh saja. 

Namun pada kasus ini, saya condong sependapat dengan mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Asraatmadja. 

Menurut Atmakusumah bahwa makin terkenal orang tersebut atau makin tinggi jabatan sosialnya, maka makin longgar hak privacy-nya.

Psikis Terganggu
Lalu bagaimana dengan ulah Ariel yang dituduh merusak kamera dan menyikut bibir Zikrullah? 

Saya kira, siapa saja orangnya, psikis-nya bakal terganggu mana kala dipanggil polisi karena suatu masalah. 

Siapa saja yang psikis-nya sedang terganggu, bisa saja berulah di luar dugaan.

Saya percaya, psikis Ariel saat itu tak stabil karena sedang di bawah tekanan akibat masalah yang menimpanya. 

Maka saya bisa memahami ketika Ariel khilaf kemudian merusak kamera wartawan tersebut. 

Pun ketika Ariel memberontak dari kerumunan wartawan yang mencegatnya masuk dalam mobil dan saat itu boleh jadi ia tak sengaja, sikutnya mengenar bibir Zikrullah.

Lalu bagaimana pula dengan ulah jurnalis yang menodongkan kameranya atau tape recorder-nya hingga mengenai tubuh sumber berita seperti yang menimpa Ariel? 

Nah ini yang harus dikritik. Jurnalis dalam menjalankan tugas profesinya, ia harus tetap tunduk pada kode etik jurnalistik (KEJ). 

Isi KEJ itu salah satunya menganjurkan bahwa dalam memeroleh berita, jurnalis harus melakukannya dengan cara-cara yang etis, beradab, dan menghormati hak privasi sumber berita. 

Siapa pun dan apa pun kesalahan yang telah dilakukan narasumbernya.

Ketika seorang kameramen menodongkan kameranya hingga mengena fisik sumber berita, menurut saya hal itu kurang etis. 

Begitu pula jika memaksa sumber berita itu berbicara atau mengharuskan sumber berita itu menjawab pertanyaan wartawan. 

Jurnalis tak dibenarkan melakukan cara-cara demikian.

Nampaknya, sosialisasi tentang etika peliputan di kalangan pekerja pers perlu selalu dilakukan.

Tujuannya untuk melindungi profesionalitas jurnalis dan kepercayaan masyarakat terhadap pekerja media.

Yang utama dalam rangka melindungi masyarakat dari ulah sebagian oknum wartawan tak bertanggungjawab. Amin. (jumadi mappanganro)

Makassar, 13 Juni 2010

Komentar