Ideologi Pancasila dan Negera Federasi

Catatan dari Konsolidasi ANBTI di Makassar
INDONESIA saat ini dinilai dalam kondisi berbahaya. Hal itu dikarenakan salah satunya karena Pancasila yang mengakui kebhinnekaan tunggal ika terancam mulai ditinggalkan.

Hal itu membuat sebagian masyarakat Indonesia kini resah dan khawatir. Bahkan kini diperparah karena pemimpin Indonesia saat ini telah gagal membawa bangsa dan negara RI ke arah cita-cita founding father RI yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945 yakni kesejahteraan bagi semua daerah dan rakyat Indonesia.

Hal tersebut mengemuka pada seminar dengan tema Mempertahankan Pancasila dan Memperteguh Kebhinnekaan yang digelar di Asrama Haji Sudiang, Makassar, Kamis (19/2/2009). Seminar ini dilaksanakan di sela-sela Konsolidasi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) Regional Sulawesi dan Maluku.

Seminar tersebut dibuka Sekretaris Provinsi Sulawesi Selatan Andi Muallim. Seminar ini menghadirkan Guru Besar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Prof Dr Aminuddin Ilmar, Sosiolog Universitas Indonesia Prof Thamrin Amal Tomagola, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unhas Alwy Rahman, dan Ketua Presidium Majelis Adat Minahasa dr Bert Adriaan Supit sebagai pembicara.

Peserta seminar sekaligus peserta konsolidasi tersebut dihadiri sekira 150 orang dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Maluku. Para peserta ini terdiri elemen masyarakat seperti budayawan, akademisi, seniman, rohaniwan, aktivis, mahasiswa, dan masyarakat adat.

Bert Adriaan menilai pertarungan ideologis negara sekarang ini tidak etis dan bermoral karena kehilangan roh dan dasar-dasar kesepakatan bersama seperti dilakukan founding father RI. Hal ini ditandai adanya produk undang-undang yang bertendensi ke salah satu agama tertentu.

Pada tataran lokal, sejumlah daerah telah memberlakukan sekitar 200 peraturan daerah (perda) yang kontroversial karena tidak sejalan dengan semangat UUD 1945, Pancasila, dan pengakuan atas kebhinnekaan budaya di Indonesia.

Perda itu dinilai sarat dengan muatan penyeragaman paham tertentu yang menafikan nilai-nilai yang plural di dalam masyarakat. Belum lagi jika dicermati mengenai semakin maraknya fenomena kekerasan berlatar belakang agama atau etnis yang terjadi di sejumlah daerah

Kondisi di atas semakin diperparah dengan fenomena ketidakadilan di sejumlah bidang seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Inti permasalahannya adalah adanya eksploitasi kekayaan alam yang sama sekali tidak dibarengi dengan upaya pemerataan hasil-hasilnya.

Masyarakat (khususnya bagian Timur dan Tengah Indonesia) mengalami keterbelakangan dalam hampir semua aspek kehidupan. Mirisnya adalah, pemerintah pusat membiarkan ketidakadilan ini terus-menerus berlangsung. Sampai sekarang!

Dengan alasan itulah di antaranya konsolidasi tersebut digelar dengan mengangkat tema Mempertahankan Pancasila, Memperteguh Kebhinnekaan. Pertemuan ini juga merupakan respons atas situasi aktual di mana negara kerap membuat kebijakan inkonstitusional.

Kondisi di atas semakin diperparah dengan fenomena ketidakadilan di sejumlah bidang seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Inti permasalahannya adalah adanya eksploitasi kekayaan alam yang sama sekali tidak dibarengi dengan upaya pemerataan hasil-hasilnya.

Masyarakat (khususnya bagian Timur dan Tengah Indonesia) mengalami keterbelakangan dalam hampir semua aspek kehidupan. Mirisnya adalah, pemerintah pusat membiarkan ketidakadilan ini terus-menerus berlangsung. Sampai sekarang!

Negara Federal

Pada seminar itu juga mencuat bahwa selain kerapnya terjadi konflik berlatar belakang perbedaan agama dan etnis, masalah lain yang dihadapi bangsa Indonesia adalah adanya fenomena ketidakadilan di sejumlah bidang seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.

Masalah lainnya adalah adanya eksploitasi kekayaan alam yang sama sekali tidak dibarengi dengan upaya pemerataan hasil-hasilnya. Sulit dipungkiri ada kesan jurang pemisah antara barat, tengah, dan timur.

Masyarakat yang bermukim di bagian Timur dan Tengah Indonesia, umumnya mengalami keterbelakangan dalam hampir semua aspek kehidupan dibanding mereka yang hidup di Jawa.

Kampus-kampus dan sekolah berkualitas dengan fasilitas yang lengkap, jalanan, jembatan, dan fasilitas publik layanan pulik yang modern justru banyak tersedia di Sumatera dan Jawa. Sedangkan di Sulawesi, Maluku, dan Papua, masih sangat minim. Mirisnya adalah pemerintah pusat membiarkan ketidakadilan ini terus-menerus berlangsung.

Pembangunan ekonomi di Indonesia pun dinilai terlalu liberal dan sangat kapitalistis. Sumber daya alam yang melimpah di berbagai daerah banyak dikuras dengan cara pengkaplingan elit bisnis, penguasa politik, birokrat dan militer di pusat-pusat kekuasaan Jakarta dan sekitarnya.

Jika kondisi tersebut tak dikelola baik oleh penguasa hari ini, maka desakan mengubah bentuk negara ini dari bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi bentuk negara federal.

Sebab menurut Prof Dr Sri Soemantri seperti dipaparkan Bert Adriaan, konsep negara federal RI untuk saat ini cocok diterapkan demi meperjuangkan rasa keadilan daerah-daerah. Toh dengan negara federal, bukan berarti bangsa Indonesia ini pecah.

Dengan kondisi Indonesia yang berpenduduk lebih 200 juta dan tersebar di lebih 18 ribu pulau dan 400 suku bangsa ini, sulit dikelola secara bail dengan sistem negara kesatuan. Sisten NKRI yang sentralistik tidak memungkinkan rakyat dan daerah menjadi kuat selamanya. Jadi kayaknya
Indonesia lebih cocok dengan negara federal. (jumadi mappanganro)

Catatan: Tulisan di atas terbit di Tribun Timur dalam dua edisi, 20 dan 21 Februari 2009

Catatan Tambahan: Peserta yang Hadir
- Asal Sulsel: 35 orang
- Sultra: 14 orang
- Sulbar: 10 orang
- Sulteng: 24 orang
- Gorontalo: 6 orang
- Sulut: 22 orang
- Maluku: 10 orang
- Maluku Utara: 10 orang

Komentar