Jurnalis di Sulsel Masih Rawan Alami Kekerasan

-Catatan dari Diskusi Memperingati Hari Hak Jawab

PEKERJA
pers di Sulawesi Selatan masih rawan mengalami kekerasan. Terutama jurnalis yang bekerja di daerah yang jauh dari pusat kota.

Di sisi lain, masih banyak pihak yang belum memprioritaskan menggunakan hak jawab manakala merasa dirugikan oleh pemberitaan media massa. Sebagian di antara mereka yang terpojok dengan pemberitaan media massa, justru memilih melakukan tindak kekerasan terhadap jurnalis.

Hal tersebut antara lain mengemuka pada diskusi dalam rangka peringatan dua tahun terbentuknya Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers Makassar yang digelar di Kafe Merasa, Jl Hertasning, Makassar, Senin (31/5/210) sore.

Diskusi ini diprakarsai Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers (KJTKP) Makassar bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar dan Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulawesi Selatan.

Diskusi yang dipandu Koordinator Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Pers Upi Asmaradana itu menghadirkan Ketua PJI Sulsel Nasrullah Nara, Ketua AJI Kota Makassar Mardiana Rusli, Direktur LBH Makassar Abdul Muttalib, dan anggota Dewan Etik AJI Makassar M Nawir sebagai pembicara.

Diskusi ini dihadiri sejumlah jurnalis dari berbagai media cetak dan elektronik, pengacara, aktivis organisasi masyarakat sipil (OMS), mahasiswa, dan beberapa pegawai pemerintah.

Menurut Mardiana, perlakuan kasar dan ancaman akan "dihabisi" yang menimpa wartawan Fajar bernama Amrullah Basri pada 25 Mei 2010 lalu di Kabupaten Takalar adalah salah satu contoh masih rawannya jurnalis di daerah ini mendapat perlakuan kasar.

Perlakuan kasar yang menimpa Amrullah itu dilakukan salah seorang anggota Satpol PP Takalar bernama Tawang. Saat itu Tawang menarik kerah baju Amrullah sembari memaksa korban keluar ruangan di gedung DPRD Takalar hingga terjatuh.

Sehari-hari, Tawang merangkap sebagai sopir M Natsir Ibrahim Rewa, Ketua Fraksi Partai Golkar di DPRD Takalar sekaligus Ketua DPD Partai Golkar Takalar. Natsir adalah putra Bupati Takalar Ibrahim Rewa.

Perlakuan kasar terhadap Amrullah yang bertugas di Takalar sejak awal 2010 itu diduga karena korban beberapa kali menulis berita terkait dugaan korupsi dan kendaraan mewah milik Ibrahim Rewa.

Beberapa waktu lalu, dua jurnalis Sindo yakni Bahar dan Yusuf, juga pernah menjadi korban kekerasan saat bertugas di Kabupaten Bulukumba. Salah seorang pelakunya menjabat lurah. Seorang lagi diketahui orang dekat pejabat pemerintah daerah setempat.

Setali tiga uang dengan kejadian yang menimpa Amrullah, kekerasan yang menimpa jurnalis di Bulukumba saat itu juga karena adanya pemberitaan di media massa yang memberitakan dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan pejabat pemerintah setempat,.

Cenderung Antikritik
Baik Nawir maupun Abdul Muttalib sependapat menilai bahwa hingga saat ini masih kuat kecenderungan penguasa di daerah-daerah menganggap berita di media massa yang mengeritiknya adalah hal yang bisa memalukannya.

Sehingga jurnalis yang melakukan kontrol sosial tersebut, memang rawan menjadi korban tindak kekerasan dari penguasa yang antikritik.

"Watak penyelenggara kekuasaan di daerah itu cenderung oligarki. Sehingga wataknya cenderung korup dan tak ingin dikritik," papar Nawir yang juga Koordinator Komite Perjuangan Rakyat Miskin (KPRM) Kota Makassar ini.

Padahal, seperti dikatakan Nasrullah yang juga wartawan Kompas, salah satu fungsi jurnalis adalah mengontrol para penyelenggara kekuasaan demi kepentingan publik. Fungsi pers lainnya adalah ikut serta berpartisipasi mencerdaskan bangsa dan menghibur.

"Sehingga karena bekerja untuk publik dan turut mencerdaskan bangsa serta mencegah penyalahgunaan kekuasaan, sudah semestinya negara berterima kasih kepada para jurnalis dengan cara melindunginya dari berbagai tindak kekerasan maupun ancaman," ujar Nasrullah.

Pembenahan internal
Salah seorang peserta diskusi yang juga Sekretaris AJI Kota Makassar, Furqon Majid, menilai banyaknya tindak kekerasan yang dialami jurnalis di Sulawesi Selatan hendaknya menjadi momen untuk evaluasi bersama semua pihak, termasuk jurnalis dan perusahaan medianya.

Menurutnya, salah satu cara untuk mengurangi jumlah kekerasan terhadap jurnalis adalah penguatan kompetensi si-jurnalis dengan memahami dan bisa mengindahkan kode etik jurnalis saat membuat berita.

"Sebab bisa dipastikan, jika jurnalis itu bekerja tanpa berpedoman dengan kode etik jurnalis, pasti bakal banyak wartawan yang mengalami kekerasan. Namun bukan otomatis bahwa ketika jurnalis sudah berkompeten atau berpedoman dengan kode etik, tak ada lagi kekerasan menimpa jurnalis," papar Furqon yang juga jurnalis Tribun Timur.

Pada kesempatan itu juga penulis sumbang ide dengan menyarankan agar organisasi jurnalis dan perusahaan media proaktif melakukan peningkatan kompetensi para jurnalis dan menyosialisasikan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Sosialisasi tersebut tak hanya bagi jurnalis, tapi juga untuk masyarakat umum, termasuk para penyelenggara kekuasaan. Makanya, ide Dewan Pers yang akan melakukan sertifikasi bagi pekerja pers. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap jurnalis dan produknya.

Di sisi lain, jika jurnalis bekerja profesional, selain melindungi para pekerja pers, secara tak langsung melindungi publik dari konsumsi berita bohong atau menyesatkan. Sanksi bagi pelanggar UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers dan KEJ juga harus bisa diterapkan.

Hal di atas tentu tak cukup. Menurut Abdul Muttalib, karena negara berkewajiban melindungi rakyatnya, maka siapa pun yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis harus diproses sesuai hukum yang berlaku.

Polisi harus segera memeriksa pelaku kekerasan. Jika kuat dugaan telah terjadi tindak pidana, maka pelaku harus dikenakan sanksi dan diproses hingga ke meja hijau. Hukum positif harus ditegakkan.

Tak hanya soal kekerasannya saja, mestinya aparat penegak hukum juga menindaklanjuti isi berita yang diberitakan oleh media massa terkait dugaan korupsi seorang pejabat dan konco-konconya yang menjadi motif terjadinya kekerasan terhadap jurnalis tersebut.

Polisi atau jaksa idealnya segera menyelidiki dugaan korupsi sebagaimana diberitakan media massa tersebut. Jika pejabat dimaksud terindikasi kasus korupsi, maka kewenang kepolisian dan jaksa menindaklajuti dengan memprosesnya sesuai jalur hukum pula. Tapi maukah polisi dan jaksa?
(jumadi mappanganro)

Komentar