Dilindas atau Terlindas


SELASA malam, 8 Juni 2010. Saat itu, saya sedang rehat. Tiba-tiba saya mendapat telepon dari Nasrullah Nara, jurnalis sekaligus Kepala Biro Kompas Wilayah Timur Indonesia.

Nasrullah yang lebih akrap saya sapa dengan Kak Nara itu mengkritik penulisan berita dengan judul Polisi Dilindas Truk Angkut Es dan Ditabrak Truk, Anak dan Ayah Tewas. Kedua berita ini kebetulan terbit pada hari yang sama di Tribun Timur edisi Selasa, 8 Juni 2010.

Berita dengan judul Polisi Dilindas Truk Angkut Es tersebut ditulis reporter Tribun Timur Akhwan Ali. Kebetulan pula saya yang mengeditnya.

Awalnya saya menganggap judul berita ini sudah tepat. Makanya saya kaget ketika Kak Nara menyampaikan bahwa pemilihan diksi "dilindas" pada judul maupun isi berita tersebut terdapat kekeliruan.

Menurut Kak Nara, mestinya pada judul dan berita dimaksud, diksi yang digunakan adalah "terlindas" bukan "dilindas." Pasalnya, terdapat perbedaan makna diksi "dilindas" dan "terlindas."

Kata "dilindas" bermakna bahwa perbuatan itu sengaja dilakukan. Sedangkan diksi "terlindas" bermakna, perbuatan yang tak sengaja dilakukan atau perbuatan yang tiba-tiba. Umumnya, katanya, kecelakaan lalulintas itu terjadi tanpa disengaja. Begitu pun pada kejadian sopir truk pengangkut es balok yang diberitakan melindas korban, pasti tanpa disengaja.

"Karena itu, menurut saya, judul yang tepat digunakan pada kejadian tersebut adalah Polisi Terlindas Truk Angkut Es, bukan Polisi Dilindas Truk Angkut Es. Hal yang sama dengan judul Ditabrak Truk, Anak Ayah Tewas seharusnya Tertabrak Truk, Anak Ayah Tewas," jelas Nara.

Menurut Nara yang juga Ketua Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulawesi Selatan, penggunaan awalan "di" kerap keliru digunakan. Tidak hanya dalam percapakan sehari-hari, tapi juga di banyak media massa. Misalnya kata "ditabrak" pada kalimat polisi tewas ditabrak truk.

"Seperti kata dilindas, kata ditabrak juga bisa dimaknakan perbuatan yang sengaja dilakukan. Padahal, bukankah kebanyakan kecelakaan lalulintas itu tak sengaja dilakukan. Jadi kata yang cocok adalah tertabrak karena tak sengaja dilakukan," terang Kak Nara.

Pengaruh Budaya
Masih menurut Kak Nara, kekeliruan penempatan awalan "di" tersebut banyak dipengaruhi budaya tutur masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) yang memang sudah lazim menggunakan awalan "di". Sedangkan awalan "ter", sangat langka digunakan dalam percakapan lisan di masyarakat Sulsel.

Lain pula di Jawa. Masyarakat Jawa umumnya justru lebih kerap menggunakan awalan "ke" untuk menggantikan posisi awalan "ter". Makanya di Jawa kerap kita didengar orang mengucapkan kata "ketabrak" dari pada kata "tertabrak" atau "ditabrak."

"Maaf Adinda, saya harus memberi penjelasan perihal penggunaan awalan "di" dan "ter" ini agar kita tidak terus membuat hal yang keliru. Saya juga jelaskan kepada Adinda, karena saya tahu Adinda orangnya bisa menerima kritik," kurang lebih begitulah kata Kak Nara kepada saya.

Menerima masukan dari Kak Nara itu, saya justru sangat berterima kasih kepadanya. Saya merasa penjelasannya tentang makna awalan "di" dan "ter" itu sangat bermanfaat. Apalagi bagi jurnalis yang sehari-hari bekerja menyusun kata-kata untuk dipublikasikan.

Masalah diksi, bagi saya, adalah hal yang sangat urgen untuk diketahui. Sebab jika keliru menggunakan kata maupun penembatan imbuhan (afiks), bisa fatal. Bisa saja apa yang dimaksudkan penulis berita, dipahami berbeda-beda oleh pembacanya atau pendengarnya.

Pesan TD Asmadi
Saat itu juga saya tiba-tiba teringat dengan pesan TD Asmadi, mantan jurnalis Kompas yang kini fokus menjadi pengajar bahasa jurnalistik di Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS).

Dalam beberapa kesempatan mengikuti pelatihan jurnalistik yang pernah diadakan LPDS di Makassar, TD Asmadi kerap menekankan bahwa setiap jurnalis harus kaya perbendaharaan kata.

Menurutnya, jurnalis adalah profesi yang paling tinggi keterlibatannya dengan penggunaan kata-kata, khususnya kata-kata dalam bahasa Indonesia. Setiap hari para wartawan bergulat dengan bahasa, memilih dan menyusun kata, sehingga menjadi informasi yang menarik bagi khalayak.

"Wartawan sudah semestinya kaya dengan perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia. Bukan hanya itu, wartawan juga harus mampu menggunakan kata-kata yang tepat dalam menyajikan informasi. Hal ini penting agar karya jurnalistik yang dihasilkan lebih kreatif dan bermutu tinggi," papar Asmadi saat memberi materi tentang bahasa Jurnalistik pada Workshop Kode Etik Jurnalistik untuk Redaktur di Hotel Makassar Golden, Jl Pasar Ikan, Makassar, Februari 2010 lalu. Selain dikenal sebagai pengajar LPDS, Asmadi juga adalah Ketua Umum Forum Bahasa Media Massa (FBMM).

Didorong rasa penasaran untuk mengetahui lebih banyak tentang penggunaan awalan "ter" dan "di", saya kemudian membuka beberapa buku literatur yang membahas tentang kedua awalan tersebut, termasuk mencarinya melalui media online.

Dari hasil penelurusan itu, saya mendapati keterangan yang menguatkan argumentasi Kak Nara. Bagi saya, hal ini adalah pelajaran penting. Selayaknyalah saya berterima kasih banyak kepada Kak Nara atas kritik dan sarannya yang sangat berguna.(jumadi mappaganro)

Makassar, 9 Juni 2010

Catatan: Tulisan di atas juga saya posting (lebih awal) di www.kompasiana.com

Komentar