Kasihan Nasib Bahasa Indonesia di Makassar


Minggu pagi, 11 Juli 2010. Ratusan pesepeda dengan kostum yang didominasi warna merah berkumpul di Kampus II Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Jalan Urip Sumoharjo, Kota Makassar. Kehadiran para pesepeda itu rupanya dalam rangka memeriahkan acara yang diberi nama Telkomsel Campus Community Bike2Campus. Kegiatan ini digelar PT Telkomsel bekerja sama dengan UMI

Melihat dan membaca nama acaranya yang menggunakan bahasa Inggris, entah mengapa saya merasa kurang sreg. Walau tak mengikuti acara tersebut, bisa diprediksi bahwa kegiatan itu diharapkan bisa diketahui lebih banyak warga Indonesia, minimal warga Kota Makassar. Tapi kok penamaan acara itu menggunakan bahasa yang bukan bahasa Indonesia ya? Padahal, bukankah warga kota ini lebih banyak pengguna bahasa Indonesia dibanding bahasa Inggris?

Penggunaan bahasa asing pada hajatan dilakukan PT Telkomsel tersebut bukan kali pertama. Beberapa kegiatan atau program yang diluncurkan perusahaan operator telekomunikasi seluler terbesar di Indonesia itu sebelumnya juga telah kerap mengadopsi bahasa Inggris.

Penggunaan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, di Kota Makassar bukan hanya kerap dilakukan PT Telkomsel dalam mempromosikan produknya. Bisa dikata, penggunaan bahasa asing di Kota Makassar nyaris telah merata dilakukan banyak pihak, baik perusahaan milik pemerintah maupun swasta. Tak terkecuali lembaga pemerintahan daerah.

Makanya tak heran, jika kita berjalan menyusuri sudut Kota Makassar, maka dengan mudahnya mata kita melihat tulisan atau telinga kita mendengar istilah-istilah yang menggunakan bahasa asing.

Semisal nama Clarion Hotel and Convention, Makassar Golden Hotel, Aston Hotel and Convention, Celebes Convention Centre milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Karebosi Link, Makassar Town Square, Panakkukang Square, Ratulangi Medical Centre, dan Makassar Trade Centre, dan masih banyak nama tempat lainnya yang menggunakan bahasa Inggris.

Boleh dikata, mulai dari nama kafe, hotel, gedung pertemuan, perumahan, tulisan di papan- papan reklame, sekolah, bahkan berita-berita di media massa (cetak dan elektronik) di Kota Makassar kerap kita baca atau kita dengar istilah-istilah yang menggunakan bahasa Inggris. Padahal, pemiliknya umumnya adalah warga negara Indonesia. Anehnya, hal ini telah berlangsung lama, namun hingga tulisan ini dibuat, tak ada teguran dari pemerintah.

Padahal, pada Pasal 36 ayat tiga Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan tertulis bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.

Begitu pun pada Pasal 25 ayat tiga UU yang sama menegaskan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa.

Peran Pemerintah
Tapi, bagaimana pemerintah di daerah ini menegur perihal maraknya penggunaan bahasa Inggris yang tidak pada tempatnya itu, sementara pemerintah daerah ini juga melakukan hal serupa?

Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo misalnya. Syahrul adalah salah satu pejabat pemerintah di daerah ini yang tak jarang melontarkan istilah dalam bahasa Inggris, baik di depan forum-forum resmi maupun sekadar dialog dengan masyarakat biasa di daerah ini. Mungkin, ia lebih percaya diri menggunakan bahasa asing dibanding bahasa Indonesia sehingga menamakan program penghijauan yang dilakukannya dengan nama Sulsel Go Green.

Beberapa waktu lalu, Wali Kota Makassar Ilham Arif Sirajuddin juga meluncurkan program Makassar Bersih dengan motto Makassar Green & Clean (MGC). Sebelumnya juga, Ilham meluncurkan motto (tagline) Makassar, The Great Expectation.

Bahasa Indonesia yang telah berjasa besar menyatukan ribuan suku di Nusantara ini rupanya masih kerap dianggap kurang cocok digunakan sejumlah pihak, termasuk pemerintah kita, dalam berkomunikasi dengan warganya sendiri.

Mungkin para pengguna bahasa asing itu, termasuk para pejabat di daerah ini, merasa lebih bangga dan lebih pede jika menggunakan bahasa Inggris, meski berbicara dengan bangsanya sendiri. Aneh kan?

Bukankah bahasa Indonesia itu berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah?

Apakah para pejabat pemerintah itu lupa bahwa salah tugasnyanya adalah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra Indonesia agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sesuai dengan perkembangan zaman? Kalau tak percaya, lihatlah pada Pasal 41 UU Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan!

Semoga saja bahasa Indonesia tak menjadi asing di negerinya sendiri. Amin. (jumadi Mappanganro)

Makassar, 12 Juli 2010

Bahan bacaan: www.tribun-timur.com, UU Nomor 24 Tahun 2009, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga terbitan Depdiknas dan Balai Pustaka, Tesaurus Bahasa Indonesia. Tulisan di atas juga dipublikasikan di www.kompasiana.com

Komentar