Menggelikan Studi Banding Legislator Jeneponto


GERAM. Menggelikan. Dua kata ini rasanya tepat menggambarkan perasaanku saat membaca berita di www.tribun-timur.com edisi 29 Juni 2010 tentang studi banding 16 anggota DPRD Kabupaten Jeneponto di Kota Manado yang salah alamat

Dikatakan salah alamat karena salah satu alasan studi banding para legislator asal Butta Turatea itu adalah karena hendak mengetahui lebih dalam tentang peraturan daerah (perda) pendidikan gratis di Manado. Padahal, di Ibu Kota Provinsi Sulawesi Utara itu belum memiliki perda dimaksud. Mereka berada di Manado selama tiga hari, 27-29 Juni 2010 lalu.

Sayangnya pada berita online tersebut tak ditulis siapa saja ke- 16 legislator tersebut. Tribun Timur edisi cetak yang terbit keesokan harinya, tepatnya Rabu 30 Juni 2010, pun tak lengkap menuliskan nama-nama para legislator dimaksud. Yang ditulis hanya salah seorang di antaranya yakni Syamsuddin Karlos, Wakil Ketua DPRD Jeneponto yang juga politisi Partai Amanat Nasional (PAN).

Padahal, menurut saya, ke-16 nama legislator itu sangat penting dan menarik dipublikasikan. Tujuannya, minimal agar publik mengetahui kelakuan ke-16 anggota dewan tersebut yang menurut saya dan mungkin banyak orang, itu memalukan.

Kok bisa-bisanya mereka studi banding ke Manado dengan alasan salah satunya adalah untuk mempelajari perda pendidikan gratis. Padahal di sana belum ada perda tersebut.

Apakah mereka tidak mencari tahu terlebih dahulu informasi tentang perda apa saja yang telah diterapkan di Manado yang sukses memberi banyak manfaat dan kesejahteraan bagi warga Manado sehingga pantas dipelajari dan diterapkan di Jeneponto?

Saya menduga para anggota dewan itu tak mau bersusah payah mencari tahu tentang hal tersebut. Yang penting baginya adalah bisa "pesiar" ke Manado dengan menggunakan dana dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Plus bisa belanja dan "cuci mata" di sana dari uang saku yang juga bersumber dari APBD.

Kedok
Sulit bagi saya untuk tidak menduga bahwa studi banding tersebut hanyalah kedok. Sebab jika mereka serius ingin mempelajari atau bertukar informasi perihal perda tentang pendidikan gratis, tak perlu jauh-jauh ke Manado.

Di Sulawesi Selatan (Sulsel) saja keinginan itu bisa dipenuhi. Sebab beberapa kabupaten/kota di Sulsel telah memiliki perda tersebut. Di antaranya di Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Kabupaten Sinjai, dan Kabupaten Pangkep.

Saya tak percaya jika ke-16 legislator tersebut tak mengetahui bahwa sudah ada beberapa kota/kabupaten di Sulsel yang telah menerapkan perda tentang pendidikan gratis. Lantas apa yang mendasari atau motif mereka tetap ke Manado?

Saya menduga, motifnya adalah untuk memperoleh uang jalan yang banyak sekaligus bisa pesiar tanpa menggunakan uang pribadi alias dibayarkan oleh APBD.

Lalu kenapa bukan di Sulsel? Saya curiga mungkin ada kesan di kalangan legislator bahwa studi banding yang dilakukan di wilayah Sulsel, rasanya bak tak melakukan studi banding. Bukan hanya itu, jika studi banding di Sulsel, uang saku yang bisa mereka peroleh tak seberapa dibanding jika para legislator itu studi banding ke luar Sulsel.

Bagi saya, kelalaian para legislator itu harus dikenakan "sanksi". Bisa sanksi sosial maupun sanksi materi. Pemublikasian nama- nama legislator yang "salah alamat" di media massa, secara tak langsung adalah bagian dari pemberian sanksi sosial.

Sedangkan sanksi materialnya bisa diwujudkan dalam bentuk mewajibkan para legislator itu mengembalikan seluruh biaya perjalanan dinas yang digunakan pergi pulang Jeneponto- Manado. Itu jika para anggota dewan tersebut punya rasa malu dan tanggungjawab. (jumadi mappanganro)

Makassar, 30 Juni 2010
Catatan tulisan di atas juga terbit di www.kompasiona.com. Sumber bacaan: www.tribun-timur.com, www.tribun- manado.co.id, dan tribun timur edisi cetak 30 Juni 2010

Komentar