Menyoal Promosi Sulsel di Singapura


PADA hari Jumat, 2 Juli 2010 lalu, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo meluncurkan gambar potensi Sulsel (Visit South Sulawesi) pada 100 unit Smart Taxi di halaman kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura.

Peluncuran gambar potensi Sulsel itu mencakup bidang perdagangan, pariwisata, dan investasi. Kegiatan promosi itu disaksikan antara lain Duta Besar RI untuk Singapura Wardhana, Ketua DPRD Sulsel Moh Roem, Director of Smart Taxi Johny Haryanto, dan sejumlah pejabat dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel dan KBRI di Singapura.

Sesuai kontrak kerja sama dengan pemilik Smart Taxi, di 100 bodi taksi tersebut dipajang gambar Syahrul beserta sejumlah obyek wisata utama di Sulsel seperti Benteng Pannyua (Fort Rotterdam), Tana Toraja, maupun Tanjung Bira. Masa kontrak ini berlaku selama enam bulan.

Tribun Timur
edisi 6 Juli 2010 memberitakan, untuk kontrak pencitraan di mobil taksi tersebut, Pemprov Sulsel membayar kurang lebih Rp 200 juta. Jumlah ini belum termasuk biaya perjalanan dinas sejumlah pejabat lingkup Pemprov Sulsel yang ikut hadir di Singapura saat itu.

Dengan promosi itu, Pemprov Sulsel menargetkan bisa menarik semakin banyak kunjungan wisatawan dari berbagai negara yang berkunjung ke Singapura. Kurang lebih 12 juta wisatawan datang ke negeri Singa tersebut setiap tahunnya.

Foto Syahrul
Tepatkah argumen dan langkah promosi pemprov tersebut? Bagi saya, hal itu kurang tepat sekaligus menimbulkan pertanyaan.

Mengapa untuk promosi potensi Sulsel itu juga memajang foto Syahrul dan agak menonjol? Mengapa bukan memajang foto Dara Sulsel atau perempuan cantik yang jauh lebih berdayatarik jika dipandang?

Kalau memang harus ada gambar manusianya, mengapa bukan foto masyarakat adat Tana Toraja atau suku terasing di Kajang yang lebih eksotik dibanding foto seorang gubernur?

Pada banyak brosur dan papan reklame yang memasarkan atau mempromosikan wisata di Indonesia maupun beberapa negara di dunia, saya jarang melihat ada foto kepala negaranya atau gubernurnya ikut serta dipajang.

Lantas apa motif di balik pemajangan foto Syahrul di taksi tersebut? Apakah karena para pejabat di lingkup Pemprov Sulsel, khususnya yang bertanggungjawab terkait program tersebut, hendak "mencari muka" ke Syahrul ya? Mudah-mudahan saja tidak.

Memprihatinkan
Toh sekali pun foto Syahrul yang juga Ketua DPD I Partai Golkar Sulsel itu tak dipajang di bodi mobil Smart Taxi, penilaian saya promosi keluar negeri itu tetap kurang tepat.

Untuk apa menghabiskan dana ratusan juta untuk promosi potensi wisata di luar negeri, sementara banyak potensi wisata di daerah ini kurang terurus selama ini. Pengelola obyek wisata itu pun kerap berdalih, minimnya dana perbaikan dan pemeliharaan turut menyebabkan tak terurusnya obyek wisata di Sulsel.

Contoh lokasi wisata yang tak terus di daerah ini di antaranya Benteng Sombaopu yang berada di sisi utara muara Sungai Jeneberang, Kecamatan Tamalate, Makassar. Jika pengunjung ke benteng ini, maka pengunjung bakal dengan mudah melihat tumpukan sampah dan bangunan liar berdiri.

Bukan hanya itu, rumah-rumah adat yang berdiri di kawasan itu tampak makin lusuh. Bahkan ada yang nyaris rubuh. Di sana-sini paving block bergelombang, bahkan sudah banyak paving block- nya hilang dan membentuk kubangan. Rumput liar juga seakan berlomba memamerkan diri di kawasan ini. Kondisi ini membuat pengunjung enggan berlama-lama di kawasan ini.

Padahal, saat kawasan Benteng Sombaopu itu direvitalisasi untuk dijadikan taman miniatur Sulsel, ratusan juta bahkan mungkin miliaran rupiah dana dari APBD Sulsel itu digelontorkan untuk membiayai program tersebut.

Disebut taman minatur Sulsel itu karena di kawasan ini dibangun rumah-rumah khas adat dari seluruh kota dan kabupaten se-Sulsel.

Selain Benteng Sombaopu, beberapa lokasi wisata bernilai sejarah di daerah ini juga nasibnya setali tiga uang. Lihatlah kini kondisi Gedung Kesenian Makassar atau Societeit de Harmonie di Jalan Riburane, Makassar.

Renovasi gedung peninggalan Belanda itu sejak beberapa bulan terakhir terkatung-katung akibat minimnya anggaran. Renovasi ini dilakukan karena banyaknya kerusakan pada gedung tersebut.

Kondisi tersebut membuat banyak seniman di Makassar mengeluh karena tak bisa menggunakan secara maksimal gedung milik Pemprov Sulsel itu untuk berkesenian. Pemprov Sulsel menaksir butuh dana kurang lebih Rp 6 miliar. Tapi, APBD Sulsel baru menganggarkan Rp 1 miliar.

Contoh lain yang juga butuh pembenahan dan perhatian serius dari Gubernur Sulsel adalah masih kurang memadainya infrastruktur jalan dan fasilitas yang ada di lokasi wisata di beberapa daerah di Sulsel. Seperti obyek wisata di Kecamatan Kajang dan Pantai Bira di Kabupaten Bulukumba, Tana Toraja, dan di beberapa lokasi wisata lainnya.

Mempromosikan potensi Sulsel memang adalah hal yang patut diberi apresiasi positif. Tapi perlu ada skala prioritas. Bagi saya, prioritas utama yang perlu dilakukan adalah membenahi, merawat, dan lebih memperindah dulu obyek-obyek wisata di daerah ini, barulah promosi keluar negeri.

Sebab dikhawatirkan, sejumlah turis mancanegara yang datang di Sulsel karena tergiur promosi daerah ini, namun mereka kecewa karena melihat dan merasakan obyek wisata di daerah ini tak terurus baik alias tak seindah dengan promosinya. (jumadi mappanganro)

Makassar, 19 Juli 2010


Foto: Penulis saat membaca koran The Wall Street Journal di The Coffee Bean, lantai dua gedung Singapura Expo, Singapura, Jumat, 18 Juni 2010 lalu.


Bahan bacaan: Tribun Timur edisi 6 Juli 2010, Fajar edisi 3 Juli 2010, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga terbitan Depdiknas dan Balai Pustaka, Tesaurus Bahasa Indonesia. Catatan: tulisan di atas juga dipublikasikan di www.kompasiana.com


Komentar