Menikahlah, Maka Nasibmu Seperti Ini


SUNGGUH mulia dan strategisnya peran pembantu rumah tangga (PRT). Peran mereka akan amat terasa, terutama bagi pasangan suami istri yang masing-masing berkarier di luar rumah dan memiliki anak kecil.

Setidaknya itulah yang kurasa. Hal ini juga dirasakan sejumlah temanku. Salah seorang di antaranya adalah Firmansyah yang akrab disapa Lafiri. Ia adalah seorang jurnalis di Makassar. Istrinya berprofesi sebagai seorang dokter di Kabupaten Pangkep.

Saat tulisan ini dibuat, mantan aktivis pers mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) ini telah memiliki dua putri yang masih kecil. Saat pembantunya masih ada, rutinitas Lafiri tak terganggu. Ia enjoy saja dengan seabrek aktivitasnya. Namun, beban mengurus dua putri itu terasa amat kala pembantunya telah berhenti kerja.

Setiap pagi hingga menjelang sore, tak jarang ia berperan bagai seorang ibu bagi dua putrinya. Peran itu adalah menyusui, memandikan, memakankan, mengganti pakaian, serta membersihkan tubuh putrinya kala buang hajat.

Maklum, istrinya sudah harus ke tempat kerjanya saban pagi dan baru pulang saat sore. Untunglah jam kantor Lafiri, sore hingga malam. Tugasnya mengurus dua putrinya banyak terbantu kala mertuanya ada di rumahnya.

Momen mengurus dua putrinya itu pun diabadikan dalam sebuah foto. Foto ini kemudian dipajang di akun facebooknya dengan judul yang menggoda, sama dengan judul tulisan ini, Menikahlah, Maka Nasibmu Seperti Ini.

Maksudnya seperti Lafiri dengan sosoknya yang mengenakan baju dalaman putih dan celana pendek yang sedang memangku dua purinya yang masih kecil. Satu tangan Lafiri terlihat membantu meminumkan susu untuk putri bungsunya di ruang tamu rumahnya.

Pada foto itu, wajah Lafiri terlihat memelas. Entah ini memelas serius atau hanya dibuat-buatnya. Hanya Lafiri yang tahu. Namun yang pasti, foto Lafiri itu kemudian mendapat banyak respon dari para facebooker yang mengenalnya.

Saya sampai beberapa kali tertawa jika melihat ekspresi wajah Lafiri saat mengurus dua putrinya yang dipajang di facebook. Respon yang sama juga ditunjukkan ratusan facebooker terhadap foto dimaksud.

Krisis PRT

Menurut Lafiri, ia sudah beberapa kali berusaha mencari seorang PRT atau minimal penjaga khusus untuk dua putrinya. Beberapa tempat penyalur tenaga kerja yang didatanginya di Makassar, mengaku juga kehabisan stok.

Ia juga sudah berusaha mencari PRT atau penjaga bayi di kampung halamannya di NTB. Namun, lagi-lagi tak berbuah hasil. Krisis PRT ini sudah terasa sejak beberapa tahun terakhir.

Di sisi lain, makin banyak rumah tangga di Makassar yang sangat membutuhkan kehadiran seorang PRT atau penjaga bayi. Hal ini seiring makin banyaknya pasangan rumah tangga di kota ini yang masing-masing memiliki pekerjaan di luar rumah.

“Setiap tahun, boleh dikata jumlah mereka yang tergolong kelas menengah di kota ini (Makassar) terus menunjukkan peningkatan. Mereka ini umumnya sangat membutuhkan PRT. Sementara jumlah PRT tak sebanding, bahkan cenderung menurun,” papar Lafiri kepada penulis, Juli lalu.

Tambah Lafiri, krisis PRT itu turut dipengaruhi antara lain karena adanya pandangan bahwa sosok PRT atau penjaga bayi itu kelasnya rendah, bahkan jika dibanding dengan pekerjaan sebagai penjaga toko.

Makanya, daripada menganggur, banyak remaja putus sekolah atau tak lanjut ke perguruan tinggi setamat SMA, itu kini justru lebih senang bekerja sebagai pelayan di mal atau penjaga toko di Makassar, ketimbang bekerja sebagai PRT atau penjaga bayi. Kendati, upah yang diperoleh sebagai PRT, kadang lebih tinggi dibanding upah yang diperoleh para penjaga toko.

“Makanya, kalau saya nantinya sudah berhenti sebagai jurnalis, saya mau buka usaha penyedia jasa khusus untuk pembantu rumah tangga,” tutur Lafiri suatu ketika.

Peran Mertua

Apa yang dirasakan Lafiri, setidaknya nyaris serupa yang kurasakan sejak memiliki anak, satu setengah tahun terakhir. Karena tak mempunyai PRT, saya dan istri serta si bayi terpaksa menumpang di rumah orangtua. Cukup lama, hampir setahun.

Maklum, setiap pagi hingga pukul lima sore, istri harus berada di kantornya. Ia bekerja lima hari sepekan, Senin hingga Jumat. Sedangkan saya, setiap menjelang pukul tiga sore, sudah harus ke kantor.

Kadang kala pula masih pagi, saya harus meninggalkan rumah dan pulang saat malam telah larut. Praktis, urusan memberi makanan, memandikan, memberi susu, menidurkan, hingga membersihkan bayi kami kala buang air, kebanyakan diperankan neneknya. Istri mengambil peran mengurus bayi saat malam atau saat hari libur.

Untunglah, setelah hampir setahun menumpang di rumah orangtua, seorang keluarga bersedia mengambil peran mengurus bayi kami. Dia seorang perempuan. Saat tulisan ini dibuat, umurnya baru 18 tahun. Entah karena apa, sejak tamat SMP, ia tak lagi melanjutkan pendidikannya ke SMA. Padahal, ia bercita-cita menjadi seorang guru.

Saat itulah, saya dan istri serta putra kami dan penjaganya memilih kembali ke rumah sendiri di Bumi Tamalanrea Permai, Makassar. Sebuah rumah tipe 36 yang kami beli dengan cara kredit.

Keberadaan keluarga yang berperan menjaga si kecil, sungguh sangat membantu kami. Apalagi, ia tak sekadar menjaga si kecil, tapi juga berperan mengurus rumah. Kami bersyukur karena si kecil dan sepupu yang menjaganya bisa akrab.

Tapi, kira-kira sebulan lagi, ia akan mudik ke kampung halamannya di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Jauh hari sebelumnya, ia sudah meminta izin pulang kampung untuk merayakan Idul Fitri bersama ibu, saudara, kemenakan, ipar, dan rekan-rekannya.

Walau bisa diterka bakal membuat kami repot selama ia mudik, saya dan istri sudah sepakat memberinya kemerdekaan mengikuti nuraninya. Tentu saja dalam hal positif. (jumadi mappanganro)

Makassar, 8 Agustus 2010
Catatan: Tulisan di atas lebih dulu diposting di www.kompasiana.com. Sumber foto: http://www.facebook.com/inha.arun#!/photo.php?pid=1489897&id=1170422853&ref=fbx_album&fbid=15280

Komentar