Menikmati Putu Cangkir Khas Gowa

MATAHARI tak lama lagi menyembunyikan dirinya di ufuk barat, saat saya dan istri mampir di sebuah kios yang menjajakan kue putu cangkir, Senin, 2 Agustus 2010 lalu. Di papan nama kios itu tertera tulisan Kios Hamriani.

Kios ini terletak di Jalan Poros Limbung, Kecamatan Bajeng, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Kira-kira dari Lapangan Karebosi, titik nolnya Kota Makassar, ke lokasi ini sekitar 20 kilometer ke arah selatan.

Sore itu, kami baru saja pulang dari Kecamatan Binamu, Kabupaten Jeneponto, sekitar 70 kilometer dari Bajeng. Sore itu jalanan masih saja ramai dilintasi kendaraan bermotor.

Di kios ini, kami beristirahat sembari menikmati kue Putu Cangkir. Kue ini adalah salah satu kue tradisional masyarakat Bugis-Makassar, kue kesukaan saya sejak kecil. Bahan utama kue ini terdiri atas tepung beras ketan, gula merah, dan kelapa yang sudah diparut.

Kue ini dimasak dengan uap dari air yang dipanaskan. Umumnya, kue ini menggunakan daun pisang sebagai alas. Ada juga yang menggunakan plastik sebagai alasnya. Sedangkan yang kami makan di Kios Hamriani, putu cangkirnya beralaskan daun pandan. Jadi lebih beraroma.

Di kios ini, satu potong kue putu cangkir dijual dengan harga Rp 700. Saat itu, hanya dalam waktu tak sampai 10 menit, saya dan istri melahap habis satu piring yang berisi 10 putu cangkir yang masih hangat.

Maklum, putu cangkir yang disajikan kepada kami, baru saja selesai dikukus. Sembari menikmati kelezatan dan kehangatan putu cangkir, kami bisa leluasa menyaksikan si pemilik kios itu dengan cekatan membuat putu cangkir.

Sampai saya menulis catatan ini, saya belum tahu persis mengapa kue ini diberi nama kue putu cangkir. Mungkinkah karena model dan ukuran kue ini umumnya mirip cangkir ya? Entahlah.

Sejak 20 Tahun
Didasari keinginan mengetahui lebih jauh tentang usahanya, saya pun banyak mengajukan pertanyaan kepada pemilik kios tersebut. Alhamdulillah, gayung pun bersambut. Si pemilik kios, seorang perempuan yang mengenakan penutup kepala yang biasanya menandakan pemakainya telah menunaikan ibadah haji, rupanya tak pelit menjawab.

Katanya, dalam sehari, putu cangkir yang dibuatnya bisa laku hingga ratusan biji. Setiap hari, ia mulai berjualan pukul delapan pagi. Ia baru menutup kiosnya saat jam telah menunjukkan pukul 10 malam.

"Kalau kios lain yang ada di sini, itu buka satu kali 24 jam," tutur Hamriani sembari tangannya tetap membuat putu cangkir. Hanya sesekali ia mengarahkan wajahnya ke saya.

Selain Kios Hamriani, ada lebih 30 kios lainnya juga beroperasi di sekitarnya. Dari cerita si pemilik Kios Hamriani, katanya kios-kios tersebut telah lama beroperasi. "Kayaknya sudah ada 20-an tahun-mi jualan," tuturnya.

Tapi, katanya, awalnya kios-kios tersebut berjualan aneka buah. Nanti sekitar 10 tahun terakhir, pemilik kios ini menambah ragam jualannya seperti aneka minuman ringan (soft drink), kopi, teh, mi rebus, hingga menjajakan kue putu cangkir.

Jadi, jika Anda sedang melintas di Jalan Poros Limbung, tak ada salahnya mencoba mencicipi putu cangkir khas Gowa ini. Bisa makan di tempat. Bisa juga dibungkus untuk dibawa pulang ke rumah. (jumadi mappanganro)

Makassar, 5 Agustus 2010
Catatan: Tulisan di atas lebih dulu dimuat di www.kompasiana.com

Komentar