Terima Kasih Obama!


BEBERAPA hari terakhir, media massa di dunia, baik media cetak maupun elektronik, termasuk di Indonesia, ramai memberitakan perihal sikap Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama yang menyetujui pembangunan masjid dan pusat budaya Islam yang diberi nama Cordoba House di dekat Ground Zero, New York, AS. Ground Zero adalah lokasi runtuhnya gedung World Trade Center (WTC) akibat serangan teroris pada 11 September 2001 lalu.

Maraknya pemberitaan tersebut dikarenakan munculnya pro kontra terkait dukungan Obama terhadap pembangunan Cordoba House yang disampaikan pada Jumat, 13 Agustus 2010 lalu waktu setempat. Pernyataan dukungan Obama ini kemudian dipertegas lagi keesokan harinya.

Awalnya saya merasa kontroversi tersebut masih tahap wajar. Dalam suatu negara yang terdiri atas multikultur, apalagi seperti AS yang dihuni lebih 300 juta jiwa penduduk, perbedaan pandangan itu hal yang lumrah.

Namun kemudian saya merasa ada ketidakadilan, ketika sebagian berita-berita perihal dukungan Obama itu justru terkesan memojokkan Obama. Saya merasa, sebagian berita itu cenderung lebih banyak mengangkat dari sisi kubu yang menentang sikap Obama tersebut.

Memang tak bisa dipungkiri, banyak warga AS menentang pembangunan Cordoba House tersebut. Di antaranya datang dari parah tokoh Partai Republik seperti Peter King. Alasannya di antaranya karena pembangunan Cordoba House itu ibarat menaruh garam di luka.

Mereka yang menolak menilai pembangunan itu merupakan tindakan provokatif dan merupakan ketidakpedulian terhadap perasaan keluarga korban WTC. Padahal, bukankah yang menyerang WTC itu tidak semua Muslim? Bukankah pula korban peledakan gedung kembar WTC itu juga sebagian di antaranya adalah Muslim?

Bukankah

Bukankah sikap Obama yang memberi dukungan pembangunan Cordoba House itu sebagai wujud keadilan dan penghargaan Obama terhadap kemerdekaan beragama di AS? Bukankah AS kerap mengampanyekan diri sebagai negara paling demokratis dan menghargai kemerdekaan bagi warganya untuk mendirikan dan melaksanakan keyakinan sesuai agama yang dianutnya?

Bukankah dengan pembangunan masjid dan pusat budaya Islam di dekat Ground Zero, New York, itu justru akan memperkuat identitas AS sebagai negara yang bisa mengayomi seluruh rakyatnya melaksanakan ajaran agamanya? Bukankah pelarangan pembangunan itu justru bisa dikesankan adanya diskriminasi terhadap minoritas Muslim AS?

Makanya tepatlah apa yang dikatakan Obama ketika ia mengatakan bahwa dukungan terhadap pembangunan Cordoba House itu karena hendak memenuhi hak orang untuk beribadah sebagaimana telah diatur para pendiri bangsa AS. "Itulah nilai dasar negara kita," katanya.

Juga tepat sikap dan alasan Wali Kota New York Michael Bloomberg yang berani menyatakan persetujuannya dengan sikap Obama tersebut. Bloomberg berpendapat bahwa toleransi beragama merupakan jawaban atas ekstremisme agama.

Untuk sikap Obama yang mendukung kehadiran Cordoba House di dekat runtuhan WTC itu, sepantasnyalah mendapat sambutan positif. Sikap Obama ini justru akan memperbaiki citra AS di mata internasional, khususnya bagi negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim.

Semoga kehadiran Cordoba House itu nantinya akan memberi kesan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin atau agama yang kehadirannya memberi manfaat positif bagi peradaban manusia di dunia. Terima kasih, Obama! (jumadi mappanganro)

Makassar, 17 Agustus 2010

Sumber bacaan: Tribun Timur, www.tribunnews.com, reuters, www.yahoo.com, www.detik.com, www.kompas.com, dan www.wikipedia.com, www.cnn.com

Catatan:
Tulisan ini saya pertama kali posting di www.kompasiana.com. Sumber foto: www.matanews.com

Komentar