Bercita-cita Jadi Ustad


RABU pagi, 13 Oktober 2010. Saat itu, saya prihatin melihat putra sulung kami, Imam Fadhlurrahman Mappanganro, yang bermain di ruang tamu rumah neneknya. Kulihat Imam yang insya Allah berusia dua tahun pada 21 Desember mendatang, bermain tanpa ceria. Dugaan saya, karena ia bermain tanpa ditemani sepupu-sepupunya.


Dua sepupunya yang masih duduk di bangku sekolah dasar, yang biasanya menemaninya bermain, sejak pukul tujuh pagi sudah berangkat ke sekolah. Tiba-tiba saya teringat dengan sepupunya yang lain yang biasanya juga menemaninya bermain. Namanya Ali Mubarak. Kerap dipanggil Alim.

Juni 2010 lalu, ia tamat dari sebuah sekolah dasar di Kota Makassar. Namun sejak pertengahan September 2010 lalu, ia telah menjadi salah seorang penghuni Pondok Pesantren Gontor di Jawa Timur. Mengingatnya, membuat saya kemudian tiba-tiba berkeinginan menulis sedikit tentang sosoknya.

Walau usianya masih sekitar 12 tahun, pikirannya membuat saya kagum. Betapa tidak, kebanyakan anak seusia dia, apalagi mereka yang bermukim di kota metropolitan seperti Makassar, berkeinginan melanjutkan pendidikannya di sekolah menengah pertama (SMP) umum. Kebanyakan anak seusia dia pun enggan hidup berpisah dengan orangtuanya dalam jangka waktu lama.

Belajar di pondok pesantren, biasanya anak-anak juga menghindarinya. Alasannya bermacam- macam memang. Namun, umumnya anak-anak belum siap hidup mandiri dan terikat dengan aturan pondok pesantren yang dikesankan ekstra disiplin.

Tapi Alim berbeda. Justru jauh hari sebelum ujian akhir sekolah (UAS), ia sudah bertekad melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Modern Gontor di Jawa Timur. Kendati keluarga dari bapaknya, terkesan kurang mendukung niat Alim ke Jawa menuntut ilmu.

Untunglah, kedua orangtuanya merespon positif keinginan putra sulungnya itu. Mengetahui keinginannya yang bulat untuk studi ke Gontor itu, saya penasaran ingin mengetahui alasan anak ini.

Suatu malam pada akhir Ramadan 1431 H atau awal September 2010 lalu, saya memboncengnya dengan sepeda motor. Sembari sepeda motor melaju di jalan yang padat kendaraan, saya iseng bertanya kepadanya.

"Alim, apa cita-citamu nanti?"
"Saya mau jadi ustad," katanya spontan dengan nada yang mantap.

Pahala-Uang
Mendengar jawabannya, saya kaget. Betapa tidak, selama ini, saya tak pernah mendengar jawaban seperti itu dari anak-anak lain. Yang kerap saya dengar dan mungkin Anda yang membaca tulisan ini adalah jawaban yang umum. Semisal bercita-cita menjadi insinyur, dokter, perawat, polisi, tentara, nakhoda kapal, pilot, masinis, dosen, penyanyi, bintang film, penulis, wartawan, atau berkeinginan menjadi guru.

Tapi, bercita-cita jadi ustad kelak, perasaan dan seingat saya baru saya dengar dari anak ini. Karena baru mendengar jawaban spontan seperti itu, saya sempat terkejut. Masih untung, keterkejutan saya itu tak membuat saya lupa menjaga keseimbangan mengemudi sepeda motor.

"Apa alasanmu mau jadi ustad," tanyaku lagi penasaran.

Katanya, jawabnya, jika jadi ustad, dia bisa mengajar dan memberi ceramah tentang Islam kepada banyak orang. Selain berpahala karena menganjurkan berbuat kebaikan, di sisi lain juga bisa menghasilkan uang.

"Kan kalau selesai ceramah, biasanya ustad diberi uang," ujarnya dengan polos.

Jawaban anak ini membuatku terkejut sekaligus terkesima. Saya tak menyangka pikirannya sudah ke arah sana. Luar biasa. Sejenak saya diam semberi berdoa, semoga dia nantinya bisa lulus seleksi masuk Pondok Pesantren Gontor.

Man jadda wa jadah. Siapa yang bersungguh-sungguh, insya Allah dia akan berhasil. Begitulah kalimat mujarab ini yang saya kutip dari buku laris, Negeri 5 Menara, novel yang mengisahkan persahabatan beberapa anak santri Pondok Pesantren Modern Gontor.

Pesan kalimat itu terbukti pada Alim. Setelah melewati serangkaian seleksi, Alim yang berangkat ke Gontor dengan ditemani kedua orangtuanya, akhirnya dinyatakan lulus pada tes tersebut, akhir September lalu. Semoga Imam dan adiknya, Izzun Ramadhan Mappanganro, kelak bisa mengikuti jejaknya. Amin.

Makassar, 14 Oktober 2010. Pukul 02.00 Wita. (jumadi mappanganro)

Keterangan foto: (mulai dari kanan) Ali Mubarak, Imam F Mappanganro, dan Arif berfoto bersama di rumah neneknya di Makassar, 24 Juli 2010 lalu.

Komentar