SBY dan Istana Negara


USAI rapat sore di kantor, saya meluncur ke Toko Buku (TB) Gramedia yang terletak di lantai dua Mal Ratu Indah (MaRI), Jl Dr Sam Ratulangi, Makassar. Saat itu, Rabu, 27 Oktober 2010. Sudah lebih sepekan saya berencana ke toko buku tersebut. Namun, baru kemarin sore-lah keinginan itu terwujud.

Sejak awal buku ini terbit, Juli 2010 lalu, saya berniat membeli salah satu buku dari Tetralogi Sisi Lain SBY tersebut. Banyak alasan mengapa saya tertarik membeli buku yang ditulis Wisnu Nugroho. Kendati, beberapa bagian tulisan dari buku itu sudah saya baca di www.kompasiana.com. Di media sosial inilah pertama kali Wisnu mem-posting tulisan-tulisannya perihal SBY dan Istana Negara sebelum kumpulan tulisan itu dibukukan.

Alasan kumaksud di antaranya karena dua bulan terakhir, buku yang ditulis jurnalis Kompas itu menjadi pembicaraan luas di masyarakat. Buku ini tak hanya ramai dibicarakan di kalangan Istana Negara, jurnalis, kantor pemerintah, swasta, maupun di kalangan partai politik, tapi juga sudah kerap diomongkan di kampus maupun di kafe-kafe di Indonesia, termasuk di Kota Makassar.

Alasan lain karena saya ingin belajar tentang bagaimana pikiran dan hasil amatan Wisnu terhadap Presiden SBY dan lingkungan di sekitarnya itu dituangkan dalam bentuk tulisan. Sebagai jurnalis, saya menganggap gagasan pria kelahiran Jakarta, 6 Mei 1976, ini layak dicontoh. Betapa Wisnu mampu mengungkap hal-hal yang mungkin sepele dan tak lazim ditulis di media arus utama (mainstream) menjadi tulisan yang bernas, menarik, dan enak dibaca.

Saat tiba di lokasi dimaksud, buku yang kucari itu rupanya dipajang di atas rak buku terbaru. Tak susah mendapatinya jika kita berada di dalam toko buku ini. Pada sore menjelang petang itu, rupanya baru ada dua judul buku berbeda dari tetralogi (empat) seri buku tentang sisi lain SBY tersebut.

Kedua judul buku yang saya maksud itu adalah Pak Beye dan Istananya serta buku Pak Beye dan Politiknya. Buku Pak Beye dan Istananya adalah bagian pertama dari Tetralogi Sisi Lain SBY yang dijual dengan harga Rp 48 ribu per eksamplar. Sedangkan buku Pak Beye dan Politiknya adalah buku kedua yang dijual dengan harga Rp 70 ribu. Kata salah seorang karyawan toko buku itu-saya lupa menanyakan namanya- kedua buku ini katanya tergolong laris.

Saat itu saya bermaksud membeli kedua buku yang dicetak Penerbit Buku Kompas tersebut. Namun, karena tertarik membeli buku lain, sore itu saya memutuskan hanya membeli salah satu dari dua buku tersebut yakni Pak Beye dan Istananya.

Buku setebal 256 halaman ini dibagi dalam enam bab. Bab I (Tunggangan Istana) berisi 15 kumpulan tulisan. Di antaranya ada tulisan tentang Mikrolet dan Metromini di Istana (halaman 48). Bab 2 (Orang Penting) berisi 11 kumpulan tulisan. Di antaranya tulisan tentang Misteri di Istana dan Kegiatan Puan-puan di Istana (halaman 86).

Bab 3 (Orang yang Terlupakan) berisi tujuh kumpulan tulisan. Di antaranya ada tulisan tentang Yang Bekerja dalam Senyap di Istana (halaman 103) dan Penjaga Selera Pak Beye (halaman 108). Bab 4 (Antara Penting dan Genting) berisi 12 kumpulan tulisan. Di antaranya ada tulisan tentang Obama dan Bunga Mawar di Istana Merdeka (halaman 143), Teror di Bawah Pohon Bodhi (halaman 161), dan Tradisi Penguasa Jawa di Istana Negara (halaman 170).

Bab 5 (Pernak-Pernik Pak Beye) berisi delapan tulisan. Di antaranya ada tulisan perihal Soto Ayam Kegemaran Pak Beye (halaman 179), Pak Beye dan Koleksi Batik Birunya (halaman 183), Ukuran Kasur Pak Beye (halaman 196), dan Anjing dan Superpuma di Istana (halaman 206)

Bab 6 (Istana Punya Cerita) terdiri atas sembilan kumpulan tulisan. Di antaranya ada tulisan tentang Melihat Istana dari Dalam (halaman 213), Yang Ganjil di Istana (halaman 221), dan ada cerita tentang Patung tanpa Busana di Istana. (halaman 242).

Setelah membaca beberapa tulisan dalam buku ini, rasa penasaran saya sebelumnya terobati. Tulisan-tulisan di buku ini ringan. Segar. Banyak sisi Istana yang di mata orang kebanyakan mungkin adalah hal biasa dan tak penting, namun lewat sentuhan Wisnu, sisi itu menjadi menarik dibaca.

Hingga mengetik tulisan ini, saya yang belum pernah sekali pun masuk ke halaman Istana Negara. Saya baru sebatas pernah melintas di depan Istana dan melihatnya dari atas Monumen Nasional (Monas). Namun setelah membaca buku yang dicetak pertama kali pada Juli 2010 lalu ini, pengetahuan saya tentang Istana Negara dan aktivitas orang-orang di dalamnya kini makin bertambah.

Begitu pun pengetahuan saya perihal Beye (SBY) dan orang-orang yang kerap berada di sekitarnya, makin bertambah setelah membaca buku ini. Tulisan Wisnu yang "lepas" ini memang layak jadi referensi bagi siapa saja, politisi, birokrat pemerintah, aparat penegak hukum, aktivis organisasi masyarakat sipil, akademisi, jurnalis, mahasiswa, dan pelajar, serta mereka yang profesi lain.

Jika buku yang ringan dan enak dibaca ini kemudian tergolong buku yang laris dibeli (best seller) atau telah cetakan ketiga per Agustus 2010 sejak pertama kali dicetak Juli 2010 lalu, saya bisa maklum. (jumadi mappanganro)

Makassar, 28 Oktober 2010.

Komentar