Bencana Alam dan Sikap Media Massa di Indonesia


BENCANA banjir, gempa, dan tsunami telah sering melanda wilayah Indonesia. Banjir yang menimpa Wasior di Papua Barat, tsunami yang memorak-porandakan Kepulauan Mentawai, dan letusan Gunung Merapi di Yogyakarta, Oktober 2010 lalu, hanya segelintir contoh betapa bencana alam di Indonesia sudah akrab.

Jauh sebelum peristiwa tersebut, bencana tsunami juga pernah menghantam Pulau Halmahera (Maluku Utara) pada 1969, Flores pada 1979 dan 1992, Aceh dan sekitarnya pada Desember 2004 lalu, serta Pulau Nias pada Maret 2005. Akibat tsunami ini, ratusan ribu orang meninggal. Yogyakarta juga pernah dihantam gempa bumi yang menewaskan sekitar 6.000 orang dan lebih 100 ribu rumah warga hancur pada Mei 2006 lalu.

Tahun demi tahun Indonesia seperti tak lepas dari rentetan bencana. Namun, selekas gempa datang, selekas itu pula orang lupa. Negara dan kebanyakan media massa di Indonesia seakan tak siap dengan bencana yang datang silih berganti.

Hal itulah di antaranya yang hendak dipaparkan dalam buku Jurnalisme Bencana Bencana Jurnalisme: Kesaksian dari Tanah Bencana yang ditulis jurnalis Kompas, Ahmad Arif.

Ahmad memaparkan, pendidikan meliput bencana hampir tak ada. Umumnya media massa di Indonesia juga belum memiliki standar operasional yang jelas untuk meliput bencana. (halaman 33-34)

Hal itu berdampak, tak sedikit wartawan menulis atau menampilkan gambar atau siaran tentang bencana yang justru menimbulkan trauma. Padahal menjadi tugas berat jurnalis membuat berita yang menyentuh dan bisa menggalang solidaritas, tetapi tak sadis. Mendeskripsikan kehancuran, namun tidak tidak menimbulkan trauma.

Sebagian jurnalis di Indonesia yang berada di lokasi bencana, sering menampilkan berita atau tayangan yang berpotensi mengundang derai air mata. Padahal, peliput bencana yang profesional juga idealnya menampilkan tayangan atau tulisan dari jenis yang mengundang optimisme, rasional, dan mendorong orang belajar dari bencana.

Hal tersebut bertujuan agar korban bisa bangkit kembali dan pembaca atau pemirsa di daerah lain bisa lebih waspada terhadap bencana. (halaman 169-170). Ada kalanya pula wartawan yang berada di lokasi bencana, justru menjadi korban karena tak waspada.

Pada buku ini, penulis yang juga alumnus Teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada ini juga mengeritik sikap pengelola media massa yang hanya intensif memberitakan bencana pada awal-awal kejadian saja. Sementara saat tahap rehabilitasi dan rekonstruksi lokasi bencana dan para korbannya, kerap tak lagi diberitakan.

Padahal, menurutnya, justru pada tahap itu, menjadi sangat penting dikawal wartawan. Pasalnya, korupsi, kesenjangan, dan konflik kepemilikan tanah sangat mungkin terjadi. Hal ini, katanya, adalah bahaya gelombang kedua. Karena itu, media seharusnya tetap serius mengawal proses rekonstruksi dan rehabilitasi.

Kelebihan buku ini, karena ditulis dengan gaya reportase seorang jurnalis. Bukan hanya itu, buku ini juga didukung dengan analisis hasil riset sejarah tentang bencana banjir, gempa, dan tsunami yang pernah melanda Indonesia. (jumadi mappanganro)

Data buku

- Judul: Jurnalisme Bencana Bencana Jurnalisme: Kesaksian dari Tanah Bencana
- Penulis: Ahmad Arif
- Penyunting: Salomo Simanungkalit dan Christina M Udiani
- Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
- Cetakan pertama, April 2010
- Tebal: xxiv + 193 halaman
- ISBN: 978-979-91-0236-2

Catatan: Resensi di atas dimuat di Tribun Timur edisi Senin, 22 November 2010

Komentar