Indonesia Menangis, Makassar Pesta Sosis



BESOK
pagi atau Minggu, 31 Oktober 3010, Makassar akan berpesta makan sosis dan minum susu massal. Pesta yang digelar Pemerintah Kota Makassar ini dirangkaikan dengan acara Jalan Sehat 2010 Makassar.

Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Makassar, Baso Amiruddin, panitia pelaksana pesta tersebut, mengklaim kegiatan itu akan diikuti sekitar 60 ribu peserta. Jumlah ini, katanya, sesuai dengan total kupon kegiatan tersebut yang terjual. Acara ini tak gratis. Mereka yang ingin mengikuti acara ini diwajibkan membeli kupon. Satu orang satu kupon. Satu kupon dijual dengan harga Rp 15 ribu.

Pesta dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-403 Kota Makassar itu direncanakan memecahkan rekor dunia makan sosis dan minum susu massal dan dicatat dalam Guinness Book of World Records. Rekor ini masih dipegang Singapura dengan total peserta 45 ribu orang.

Untuk hajatan itu, tim dari Guinness Book of World Records direncanakan tiba di Makassar, Sulawesi Selatan, hari ini. Juga turut hadir tim dari Museum Rekor Indonesia (MuRI). Tim ini terdiri 30 orang. (Tribun Timur edisi 30 Oktober 2010).

Dengan jumlah 60 ribu orang yang makan sosis dan minum susu massal itu, bisa dibayangkan betapa besar dan mewahnya pesta tersebut. Sebab panitia penyelenggara hajatan itu juga menyediakan beragam hadiah. Di antaranya hadiah utama berupa satu unit rumah dan satu unit mobil serta puluhan sepeda motor.

Panitia juga menyiapkan ratusan hadiah (doorprize) berupa alat-alat elektronik. Salah satu perusahaan selular yang menjadi sponsor kegiatan itu, katanya, menyiapkan 403 hadiah ponsel bagi peserta yang beruntung.

Ironi

Saya membayangkan, panitia pelaksana acara itu akan larut dalam kegembiraan dan bangga telah menyelenggarakan pesta tersebut. Apalagi, jika rekor dunia (Guinness Book of World Records) dalam hal jumlah peserta pesta makan sosis dan minum susu massal itu dipecahkannya.

Salahkah jika panitia dan peserta pesta itu bergembira? Mungkin tidak. Tapi saya merasa sangat tidak sreg dengan acara itu. Betapa tidak, pesta itu digelar justru disaat bangsa Indonesia sedang menangis akibat gugurnya ratusan jiwa para korban bencana alam yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia dalam sebulan terakhir.

Apakah masih pantas pesta makan sosis dan minum susu massal itu digelar pada saat korban dan keluarganya masih berduka akibat bencana banjir bandang di Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat, yang terjadi pada Senin pagi, 4 Oktober 2010, lalu dan mengakibatkan lebih 130 orang meninggal?

Apakah masih pantas pesta itu digelar pada saat korban dan keluarganya masih berduka akibat diterpa bencana gempa dan tsunami di Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat, yang terjadi pada Senin malam, 25 Oktober 2010, dan mengakibatkan ratusan orang meninggal?

(Kompas.com mengabarkan korban meninggal dunia akibat gempa dan tsunami di Kepulauan Mentawai hingga Jumat (29/10/2010) siang mencapai 408 orang. Pusat Kendali Operasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah Sumatera Barat juga melansir korban yang masih hilang mencapai 303 orang dengan jumlah korban luka berat 270 orang)

Apakah masih pantas pesta itu digelar pada saat korban dan keluarganya masih berduka dan menjerit akibat letusan Gunung Merapi di Provinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah yang terjadi pada Selasa petang, 26 Oktober 2010, dan telah merenggut nyawa puluhan orang?

(OkezoneNews.com edisi Jumat (29/10/2010) melansir rilis Kemenko Kesra yang mencatat korban tewas akibat letusan Gunung Merapi tercatat 36 jiwa. Sebanyak 35 orang di Yogyakarta dan satu di Jawa Tengah. Sementara untuk korban luka berat tercatat sebanyak 17 orang. Korban ringan 12 orang dan pengungsi 47.906 jiwa.)

Keterlaluan

Jika pertanyaan-pertanyaan itu ditujukan kepada saya, maka jawaban saya adalah sungguh tak pantas dan keterlaluan jika kita berpesta pada saat Indonesia menangis. Di mana rasa solidaritas kita, jika ada ratusan saudara sebangsa kita meninggal dan pada saat bersamaan ada ribuan anak negeri ini sedang menderita akibat bencana tersebut?

Tapi bukankah "keterlaluan" panitia penyelenggara itu memang terasa sejak awal kegiatan itu hendak digelar? Betapa tidak, untuk memenuhi target 60 ribu peserta, para kepala sekolah dan guru dikabarkan dikerahkan untuk memobilisasi para peserta didiknya.

Caranya para guru tersebut dijadikan tenaga pemasaran. Sasarannya, siapa lagi kalau bukan peserta didiknya. Peserta didik pun bakal sungkan jika tak membeli produk yang ditawarkan gurunya. Menyasar massa dari sekolah, memang paling efektif karena dalam waktu yang singkat, target massa dengan mudah dipenuhi. Maka, saya tak heran ketika 40 ribu dari 60 ribu kupon yang disediakan panitia penyelenggara itu dalam waktu singkat habis dibeli kalangan pelajar.

Baso Amiruddin, panitia pelaksana pesta, itu boleh saja berdalih bahwa tidak ada paksaan bagi murid, orangtua siswa, dan guru untuk mengikuti pesta tersebut. Tapi beberapa murid, orangtua murid, dan guru itu tak bisa menyembunyikan keluhannya karena, katanya, terkesan mereka "dipaksa" untuk mengikuti acara itu.

Masih lebih baik apa yang dilakukan para pimpinan dan karyawan PT PLN Sultanbatara saat menggelar jalan santai untuk merayakan Hari Listrik Nasional pada Minggu pagi, 24 Oktober 2010 lalu. Untuk hajatan itu, panitia jalan santai itu tak memaksa para karyawan PLN dan keluarganya untuk mengikuti acara itu. Memang ada pembayaran Rp 10 ribu per orang yang dikenakan bagi setiap peserta jalan santai itu. Tapi semua uang pendaftaran itu, kata GM PT PLN Sultanbatara Ahmad Siang, disumbangkan untuk para korban bencana di Wasior.

Hal lain yang menurut saya kurang sreg dengan pesta makan sosis dan minum susu massal itu adalah niat panitia pelaksana yang agaknya lebih condong hendak mengejar rekor dunia dan dicatat di Guinness Book of World Records maupun Museum Rekor Indonesia (MuRI).

Agaknya panitia pesta itu latah dengan apa yang dilakukan sebagian para penguasa di negeri ini yang suka mengejar rekor MuRI dengan menggelar kegiatan yang sering kurang relevan dengan tugas pokok pemerintah.

Seorang teman yang aktif di salah satu organisasi masyarakat sipil (OMS) di Makassar, Mawardi H.Setran namanya, memberitahukanku bahwa untuk setiap pemecahan rekor MuRI saja, pengundang harus membayar lebih kurang Rp 50 juta. Kabar itu juga diperoleh dari rekannya.

Saya tidak bisa mengklarifikasi soal biaya itu, karena saya tak punya kontak sumber di MuRI. Jadi jika ada orang MuRI mau memberi klarifikasi soal biaya itu, dengan senang hati saya terima. Jika untuk MuRI harus bayar minimal Rp 50 juta, entah berapa biaya yang harus dikeluarkan panitia penyelenggara untuk mendatangkan tim dari Guinness Book of World Records.

Tepatkah alasan Pemerintah Kota Makassar menggelar pesta makan sosis dan minum susu massal itu katanya untuk memenuhi gizi warganya, khususnya para pelajar?

Kalau itu alasan pemerintah kota ini, mengapa sosis dan susu itu dibagi cuma-cuma saja kepada para pelajar di sekolah mereka? Tak perlu mereka dikumpulkan dalam satu tempat hingga puluhan ribu orang hanya untuk makan sosis dan minum susu massal. Apalagi mereka dikenakan biaya Rp 15 ribu per orang.

Bukankah itu justru membebani para pelajar dan orangtuanya? Apalagi untuk datang di lokasi tersebut, para pelajar dan orangtuanya itu harus berkorban lagi untuk biaya transportasi. Lantas, apa korelasinya pesta itu bagi si miskin? (jumadi mappanganro)

Makassar, 30 Oktober 2010

Catatan: Tulisan di atas pertama kali diposting di www.kompasiana.com pada 30 Oktober 2010 lalu.

Komentar