Mari Utamakan Bahasa Indonesia


PAGI tadi, Kamis (18/11/2010), saya melintas di Jalan Yos Sudarso, Makassar. Pagi itu saya baru pulang mengantar istri yang kembali masuk kantor setelah libur Lebaran. Saat berada di perempatan Jalan Yos Sudarso-Jalan Tentara Pelajar, sebuah papan imbauan menarik perhatian saya. Sejenak saya menghentikan laju sepeda motor dan menepikannya.

Papan imbauan yang terbuat dari plat besi bercat putih itu berdiri tepat di dekat perempatan jalan. Letaknya hanya berjarak sekitar 30 meter arah timur dari kampus Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Makassar.

Pada plat itu bertera tulisan: MARI KITA UTAMAKAN BAHASA INDONESIA. Pesan yang ditulis dalam huruf kapital semua inilah yang membuat saya tertarik membaca dan memotretnya. Seorang warga setempat mengatakan, papan imbauan ini sudah berdiri sejak beberapa tahun lalu. Tepatnya ia tak ingat.

Usai membaca pesan itu, spontan pikiranku mengingat tulisan saya di media sosial kompasiana berjudul Kasihan Nasib Bahasa Indonesia di Makassar. . Tulisan ini kemudian diterbitkan di surat kabar Kompas edisi cetak.

Pada tulisan tersebut, intinya saya mengeritik maraknya nama-nama tempat di Kota Makassar dan sekitarnya yang menggunakan bahasa Inggris. Di Kota Makassar misalnya ada Celebes Convention Centre, Centre Point of Indonesia, Makassar Golden Hotel, Clarion Hotel & Convention, Quality Hotel, Aston Hotel and Convention, Karebosi Link, Makassar Town Square, Ratulangi Medical Centre, dan Makassar Trade Centre (MTC) Karebosi.

Sebentar lagi, dua mal yang menggunakan nama berbahasa Inggris di kota ini juga akan diresmikan. Namanya Mall of Makassar (MoM) di Jl Sungai Saddang. Dulunya mal ini bernama Latanete Plaza. Satunya lagi, Mal Karuwisi Trade Centre (KTC) di Jl Urip Sumoharjo. Saat tulisan ini dibuat, pengerjaan kedua mal itu hampir rampung.

Di Kabupaten Gowa terdapat Syekh Yusuf Discovery dan Gowa Discovery Park yang sedang dibangun Ketua Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan Provinsi Bali, Zainal Tayeb. Gowa Discovery Park ini berada dalam Kawasan Miniatur Sulawesi Selatan atau lebih dikenal kawasan Benteng Somba Opu.

Jika kita menyusuri jalan di Kota Makassar dan Kabupaten Gowa, maupun di daerah lainnya di Sulawesi Sekatan, kini dengan mudah kita menjumpai nama-nama bangunan yang menggunakan bahasa Inggris. Padahal, tak sedikit pemilik bangunan tersebut adalah warga Indonesia asli. Mereka yang datang di tempat itu pun kebanyakan orang Indonesia asli.

Agaknya bukan hanya nama-nama bangunan saja yang kini marak menggunakan bahasa Inggris, tapi juga nama acara yang pernah digelar di kota ini. Semisal acara Celebes Fair 2010 yang digelar Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan di Celebes Convention Centre (CCC), 27-31 Oktober lalu.

Pada 12-14 November 2010 lalu, juga ada acara Save The Tree Campaign di Mal GTC, Makassar. Acara yang berkaitan dengan kampanye peduli lingkungan ini digelar Yayasan Peduli Negeri (YPN). Masih di mal ini, Agustus 2010 lalu, juga pernah digelar Late Night Shopping. Acara ini digelar pengelola Mal GTC dalam rangka merayakan Ramadan 1431 H.

Ulah Pemerintah
Beberapa program Pemerintah Kota Makassar dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan juga latah menggunakan bahasa Inggris. Misalnya program Sulsel Go Green dan Makassar Green & Clean. Kedua program ini sejatinya mengajak masyarakat untuk menanam dan memelihara pohon serta menjaga kebersihan lingkungannya.

Tapi kok ajakan itu menggunakan bahasa Inggris ya? Bukankah studi komunikasi massa mengajarkan kepada kita bahwa bahasa yang efektif digunakan mengajak masyarakat agar mengikuti pesan kita adalah dengan menggunakan bahasa mayoritas masyarakat tersebut. Bukankah masyarakat daerah ini umumnya pengguna bahasa Indonesia?

Agaknya, bahasa Indonesia yang telah berjasa besar menyatukan ribuan suku di Nusantara ini masih kerap dianggap kurang cocok digunakan sejumlah pihak, termasuk pemerintah kita, dalam berkomunikasi dengan warganya sendiri.

Mungkin para pengguna bahasa asing itu, termasuk para pejabat di daerah ini, merasa lebih bangga jika menggunakan bahasa Inggris, meski berbicara dengan bangsanya sendiri. Aneh kan?

Contoh lain penggunaan bahasa Inggris yang telah marak di daerah ini bisa dijumpai di sejumlah mal, kafe, bank, hotel, termasuk di kantor-kantor pemerintah. Di tempat-tempat tersebut dengan mudah kita melihat tulisan teller, service, room, open, close, full, no smoking, push, exit, welcome, dan lain sebagainya. Pesan-pesan dalam bahasa Inggris itu umumnya tak dibarengi dengan terjemahan bahasa Indonesia.

Padahal, pada Pasal 36 ayat tiga Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan tertulis bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.

Seorang teman yang juga jurnalis, Rasid Alfarizi, pernah menulis di akun facebook menanggapi tulisan saya perihal Nasib Bahasa Indonesia di Makassar, Juli 2010 lalu. Ia menulis begini:

Bahasa asing sudah bikin lippu kita semua. Nyaris semua jabatan di perusahaan pakai istilah branch manager area, consultan area, representatif consultan, dan macam-macam istilah jabatan. Jabatannya lebih keren dari pekerjaanya dan mungkin tingkat kesejahteraannya. Sampai-sampai sering-miki salah tulis berita. Pakai lalo bahasa Indonesia. Kayaknya mereka belum tahu dasyatnya bahasa Indonesia yang bisa menyatukan puluhan ribu bahasa etnis di Nusantara.

Terkait banyak pejabat daerah ini yang suka menggunakan bahasa Inggris itu, Nasrullah Nara juga pernah menulis di akun facebook saya. Ia juga menanggapi tulisan saya, Nasib Bahasa Indonesia di Makassar. . Nasrullah adalah Ketua Perhimpunan Jurnalis (PJI) Sulawesi Selatan sekaligus Kepala Biro Makassar Indonesia Timur. Berikut ini komentarnya:

Itu pertanda, pejabat dan penyelenggara kegiatan banyak yang kurang percaya diri. "Sok Nginggris". He he... Mestinya, kalau suka menggunakan bahasa Inggris, mentalitasnya juga harus Inggris dong. Minimal sikap disiplin dan tertib berlalu lintas (kayak di Inggris). Jangan cuma suka sensasi dan kehebohan kulit-kulitnya saja, tanpa mengambil esensi (isinya).

Tak Alergi
Saya tak alergi dengan bahasa Inggris. Tapi bagaimana kita menempatkan bahasa Inggris pada tempatnya. Kalau tulisan itu ditujukan untuk anak negeri ini (bangsa Indonesia), ya mestinya pakai bahasa Indonesia dong. Kecuali kalau tulisan itu hendak ditujukan khusus bagi orang asing, ya silakan saja.

Tapi, kalau penulisan itu bahasa asing dan dilakukan di Indonesia, tetap saja harus dibarengi dengan bahasa Indonesia. Siapa lagi yang mencintai dan menjaga kelestarian bahasa Indonesia, kalau bukan kita?

Terkait maraknya penggunaan bahasa Inggris itu, Decy Wahyuni menyampaikan argumentasi kepada saya. Decy adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin yang juga staf di Kopertis Wilayah IX Sulawesi. Katanya, alasan yang selalu kita dengar dari pemberi nama atau istilah asing itu yakni karena "lebih menjual". "Jadi negara ini sedang menjual dirinya," kata Decy.

Padahal, di beberapa negara di dunia tak sedikit warganya telah ramai belajar bahasa Indonesia. Di Vietnam misalnya, justru bahasa Indonesia dijadikan bahasa resmi kedua, setara dengan bahasa Inggris.

Di Mekah, Madinah, dan sekitarnya para pedagang di sana juga banyak belajar bahasa Indonesia. Kendati motif belajarnya karena ekonomi karena tahu kalau orang asal Indonesia datang di negaranya suka belanja.

Saya bukan alergi dengan bahasa Inggris. Menguasai bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya seperti bahasa Arab, China, dan bahasa internasional lainnya tentu bernilai positif. Tapi mesti ditempatkan pada tempatnya.

Kalau di sekolah, demi kepetingan agar peserta didik bisa menguasai bahasa asing, penamaan tempat atau istilah-istilah berbahasa Inggris tak masalah digunakan. Dengan catatan dibarengi dengan terjemahan bahasa Indonesianya. Tapi kalau penamaan tempat-tempat umum di kota ini dengan bahasa Inggris, bagi saya itu kurang tepat. Apalagi jika tak dibarengi dengan bahasa Indonesia.

Mesti Bangga
Rakyat Indonesia mesti bangga memiliki bahasa Indonesia. Amerika Serikat saja, sebagai negara adikuasa dan superpower di dunia, tak memiliki bahasa asli yang menjadi bahasa resmi negaranya. Sebab bahasa resmi AS adalah bahasa Inggris, milik Kerajaan Inggris. Jadi berbanggalah kita.

Melihat gejala "peminggiran" bahasa Indonesia itu yang katanya tak hanya di Sulawesi Selatan, tapi juga sudah hampir merata di Indonesia, mungkinkah saatnya dibentuk: Komisi Pelindungan Bahasa Indonesia? Ah komisi lagi. Padahal sudah banyak komisi yang dibentuk di Negara ini, tapi hasilnya belum banyak mengubah bangsa ini ke arah lebih baik.

Agaknya, pesan yang tertulis di papan imbauan tersebut: MARI KITA UTAMAKAN BAHASA INDONESIA, tak mempan. Sebab para pejabat pemerintah di daerah ini, yang mestinya menjadi garda terdepan membela dan melestarikan bahasa Indonesia, tak memberi contoh yang baik.

Lantas, mestikah kita berdiam? Bukankah diam melihat gejala "pemusnahan" warisan pendiri bangsa ini adalah bagian dari pengkhianatan?

Ditulis di Warkop Aleta, Makassar, 18 November 2010.

Komentar

  1. mantap tulisannya saudaraku anak S2 komunikasi massa. kita memang mesti mengutamakan bahasa indonesia. thanks.

    BalasHapus
  2. Terima kasih Kanda sudah bersedia membaca tulisan di atas dan meresponnya. Salam dari Makassar.

    BalasHapus
  3. Mantap, mari mengindonesia...

    BalasHapus
  4. "Mari Kita Utamakan Bahasa Indonesia" what is the real meaning in English?

    BalasHapus

Posting Komentar