Indonesia Bukan Mustahil Bakal Senasib India


INDONESIA sebagai negara di masa mendatang bukan mustahil bakal lenyap seperti Uni Soviet yang pecah dan membentuk sejumlah negara. Nama Uni Soviet sendiri akhirnya lenyap. Indonesia juga bukan tak mungkin senasib India yang juga pecah dan melahirkan negara Pakistan.

Parahnya, India dan Uni Sovyet tak sekadar pecah, melainkan juga telah menimbulkan perang berkepanjangan antara negara yang dulunya bersatu. Penyebab perpercahan itu di antaranya karena keberagaman suku, agama, dan ras di kedua negara itu tak bisa dikelola baik.

Indonesia yang memiliki realitas sosial yang nyaris sama dengan kedua negara itu pun berpeluang sama, jika keberagaman di Indonesia juga tak dikelola dengan baik. Karena itu, agar Indonesia tetap eksis, maka instrumen fundamental dan universal dalam kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia yakni Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, tak boleh berubah.

"Hakikat bernegara dan berbangsa kita adalah keberagaman. Jadi tidak perlu ada penyeragaman. Jadi suku-suku, agama, biarkan saja mereka berbeda," papar Idris Patarai, Kepala Bappeda Makassar, saat berbicara pada Dialog Publik Hidup untuk Semua-Makassar untuk Semua di kampus STIE Nobel, Jl Sultan Alauddin, Makassar, Rabu (10/11/2010).

Idris hadir mewakili Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin yang berhalangan hadir karena sedang melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci.

Selain Idris, tampil sebagai pembicara di antaranya Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, budayawan Ishak Ngeljaratan, dan Pastor Ritan. Kegiatan ini digelar Jaringan Interfaith Sulawesi (JIS) Sulawesi Selatan.

JIS adalah organisasi gabungan sejumlah organiasasi. Di antaranya Forlog Sulsel, LAPAR Sulsel, Gardan, CICM, SPAM, Lakpesdam NU Makassar, Sehati, PMII Metro Makassar, IPNU, IPPNU, OASE Intim, dan PMKRI.

Pada dialog itu, Idris juga menyatakan sikapnya tak setuju kegiatan semisal lomba menggambar untuk anak-anak berdasarkan agama tertentu. Begitu pula desain perumahan yang mengkhususkan penghuninya berdasarkan agama tertentu.

"Kok mulai anak-anak saja sudah diajarkan pengkotak-kotakan berdasarkan agama. Jelas ini mendidik mereka sejak dini dengan sikap ekslusif," ujar Idris yang disambut aplaus dari peserta yang didominasi kalangan mahasiswa dan beberapa perwakilan organisasi keagamaan dan lembaga swadaya masyarakat.

Sementara Qasim Mathar dan Ishak Ngeljaratan memaparkan bahwa dalam ajaran agama yang diyakini juga mengakui pluralistik atau diversitas (keberagaman) dalam beragama dan pentingnya menghargai perbedaan suku, ras, dan budaya. (jumadi mappanganro)

Tulisan di atas terbit di Tribun Timur edisi Kamis, 11 November 2010.

Komentar