Tak Punya KTP, RS Dadi Tolak Pasien Gila


KAMIS sore, 4 November 2010. Saat itu saya sedang mengetik di kantor. Tiba-tiba seorang satpam memberitahuku bahwa ada seorang tamu yang ingin bertemu. Sudah kewajiban setiap ada tamu yang datang di kantor, wajib dilayani.


Saya pun meminta dua calon reporter Tribun Timur, Iin dan Mute, ikut menemui tamu tersebut. Biasanya tamu yang datang di kantor kami, ingin aspirasinya diberitakan. Dugaan saya benar.

Kali ini yang datang adalah seorang pria dewasa. Umurnya kira-kira lebih 40 tahun. Namanya Mappatunru. Mengenakan pakaian dinas warna coklat, ia mengaku adalah petugas dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lanto Daeng Pasewang, Kabupaten Jeneponto. Ia rupanya ingin mengadukan perilaku petugas di Rumah Sakit Dadi di Jl Lanto Dg Pasewang, Makassar.

Ceritanya begini. Kamis siang itu, dengan mengendarai mobil ambulans, Mappatunru datang di RS Dadi bersama seorang suster dan seorang pasien bernama Anita. Anita adalah pasien RSUD Lanto Daeng Pasewang yang beberapa hari lalu melahirkan. Malang, bayinya tersebut meninggal.

Tapi bukan karena pasien itu baru saja melahirkan sehingga dibawa ke RS Dadi untuk dirawat, melainkan karena perempuan itu mengalami gangguan jiwa. Pasalnya, RS Dadi adalah satu- satunya RS di Sulawesi Selatan yang juga menyediakan layanan perawatan untuk pasien gangguan jiwa.

Saat itu Mappatunru memperlihatkan kepada kami secarik kertas: surat rujukan yang dibuat dan ditandatangani Dr Hariadhi Batriy, dokter yang menangani Anita saat dirawat di RSUD Lanto Daeng Pasewang. RS ini berada sekitar 70 kilometer arah Selatan Kota Makassar. Isi surat ini antara lain agar pasien tersebut dirawat di RS Dadi.

Tapi apa yang terjadi? Mereka tidak mendapatkan sambutan baik selayaknya pasien yang berhak atas pengobatan. Mappatunru mengaku, keinginannya untuk menitipkan agar Anita dirawat di RS Dadi ditolak. Seorang petugas RS milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan (Sulsel) itu bersikeras menolak Anita dengan alasan pasien tak dilengkapi kartu tanda penduduk (KTP) maupun kartu keluarga (KK).

"Namanya saja pasien gila. Wajar kalau dia tidak punya KTP dan KK. Waktu kami menerima pasien ini yang diserahkan aparat polisi, kami tetap merawatnya. Kan Kami bisa memahami pasien itu tak punya KTP dan KK," kurang lebih begitulah yang diucapkan Mappatunru dengan wajah serius. Yang gila siapa ya?

Saat Mappatunru menceritakan hal itu kepada kami, pasien yang dimaksud sedang tidur di mobil ambulans. Ia ditemani seorang suster.

Mendengar kabar itu, tiba-tiba saya merasa sangat kesal dan marah terhadap pelayanan RS Dadi. Saya langsung prihatin terhadap pasien tersebut. Apalagi saat melihat Anita tertidur di dalam mobil ambulans. Rambut perempuan ini terlihat acak-acakan. Baju dan sarung yang dikenakannya pun sudah lusuh.

"Karena ditolak di RS Dadi, apa boleh buat saya kembalikan lagi pasien ini ke RS Lanto Daeng Pasewang. Pasien kami ini adalah manusia. Tidak mungkin kami simpan di jalanan dan membiarkan begitu saja," tutur Mappatunru.

Kontradiktif
Apa yang diungkapkan Mappatunru itu sangat kontradiktif dengan kampanye layanan kesehatan gratis yang dicanangkan Syahrul Yasin Limpo yang dilantik sebagai Gubernur Sulsel periode 2008-2013 pada 8 April 2008 lalu. Syahrul dalam banyak kesempatan pun kerap mengatakan akan memudahkan pelayanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat daerah ini, tanpa memandang status sosial orang tersebut.

Kenyataan itu juga bertentangan dengan sosialisasi tentang kinerja dan keseriusan Pemprov Sulsel memberi pelayanan kesehatan maksimal kepada warganya yang marak dipublikasikan Kepala Dinas Kesehatan Sulsel dr Rachmat Latief SpPD melalui media massa. Salah satunya melalui publikasi di Tribun Timur, tempat saya bekerja sebagai jurnalis.

Kok
hanya karena tak memiliki KTP dan KK, petugas RS Dadi "tega" menolak menampung dan merawat pasien yang mengalami gangguan jiwa? Namanya saja gila, tentu yang bersangkutan tak mengerti bahwa ia perlu memiliki KTP dan KK. Bagi saya, perlakuan itu tak manusiawi.

Ironinya, pengelola RS yang kurang "manusiawi" itu dinakhodai drg Ayunsri Harahap, istri Syahrul Yasin Limpo. Ayunsri resmi menjabat Direktur RS Dadi itu sejak dilantik oleh suaminya sendiri pada 2 Oktober 2009 lalu. Ia menggantikan dr Djoko Poernomo.

Konfirmasi
Karena informasi itu akan dibuat berita, kami menganggap informasi dari Mappatunru itu tak cukup. Mesti ada konfirmasi dari pihak tertuduh yakni pengelola RS Dadi. Biar seimbang. Begitulah yang sering kami diajarkan dalam pelatihan jurnalistik.

Maka sore itu, saya meminta Iin mengonfirmasi ke RS Dadi. Ia kemudian mendapat keterangan dari Kepala Bidang Perawatan RS Dadi, Hany. Kata Hany, tidak akan ada penolakan pasien kecuali terkendala kamar inap penuh dan kelengkapan berkas.

"Bila berkas tidak lengkap juga akan diberikan keringanan selama 3 x 24 jam untuk mengurus kelengkapan. Jadi kami tidak menolak pasien," katanya melalui telepon genggam. Tapi kenyataannya?

Sedangkan keterangan dari Ayunsri diperoleh dari Aqsa Rinandy Pananrang, jurnalis Tribun Timur yang selalu bertugas meliput aktivitas Gubernur Sulsel. Menurut Ayunsri, tidak benar ada penolakan dari RS Dadi terhadap siapa pun yang berobat di RS yang dipimpinnya.

"Tapi dengan catatan harus memenuhi persyaratan yakni ada KTP dan KK. Kalau tidak ada, siapa yang bertanggungjawab. Kalau ada apa-apanya itu pasien bagaimana?" kata Ayusnri yang juga Ketua Persatuan Dokter Gigi (PDGI) Sulsel ini.

Ah, sama saja. Lagi-lagi berkas administrasi masih jadi syarat pertama dan utama pasien itu bisa atau tidak dirawat di RS pelat merah itu. Andai pasien itu waras, mungkin tak soal jika dimintai KTP atau KK. Tapi bagaimana dengan nasib pasien gila?

Semoga saja pemerintah daerah ini, khususnya para pengelola dan pengambil kebijakan terkait pelayanan rumah sakit, mau meninjau ulang aturan yang mewajibkan setiap orang yang mau dirawat di RS terlebih dahulu menunjukkan KTP dan KK-nya. Melainkan rawat dulu orang tersebut, belakangan baru dimintakan KTP dan KK-nya. Apalagi jika orang itu sedang membutuhkan penanganan medis segera.

Sementara bagi orang yang mengalami gangguan jiwa, tak perlu lagi ada persyaratan administrasi semisal KTP atau KK baru dirawat. Kewajiban pemerintah-lah pula menanggung semua biaya perawatannya. Semoga terwujud. Amin. (jumadi mappanganro)

Makassar, 7 November 2010

Sumber gambar: swaberita.com

Komentar