Tan Malaka, Bolsyewik yang Terbuang


SEBULAN terakhir, perbincangan tentang Tan Malaka di Indonesia marak digelar. Pada perbincangan itu, mencuat usulan dari sebagian anak negeri saat ini agar pria bernama lengkap Ibrahim Sutan Datuk Tan Malaka itu dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional. Namun tak sedikit pula mereka yang menolaknya.

Pro kontra layak tidaknya Tan Malaka diusulkan sebagai Pahlawan Nasional itu terkait dengan momentum Hari Pahlawan yang digelar di negeri ini setiap 10 November.

Sudah lazim, pada setiap 10 November, Presiden RI mengumumkan nama para pahlawan nasional yang baru dan tahun ini yang diangkat adalah Johannes Leimena dan Johanes Abraham Dimara.

Leimena adalah mantan Menteri Kesehatan Kabinet Hatta I dan II pada 1949, hingga Wakil Perdana Menteri untuk urusan Umum Kabinet Dwikora III pada 1966. Sedangkan Dimara adalah mantan Ketua Organisasi Pembebasan Irian (OPI) yang berkedudukan di Ambon dan mantan Ketua Gerakan Rakyat Irian Barat untuk menggalang kekuatan dan mendukung Trikora.

Kontroversi layak atau tidak Tan Malaka masuk daftar usulan Pahlawan Nasional itu bisa dimaklumi. Di buku Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan ini banyak mengulas kontroversi tersebut.

Bagi yang pro Tan diusulkan sebagai Pahlawan, itu karena ia dinilai berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di antaranya buku-buku yang ditulis Tan seperti Naar de Republiek Indonesia dan Massa Actie saat itu menjadi bacaan "wajib" Ir Sukarno dan para bapak bangsa lain. Ia pun kerap digelar sebagai Bapak Republik bangsa ini.

Bagi yang kontra, itu karena di antaranya Tan dinilai pernah memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI), organisasi yang divonis terlarang di negeri ini.

Dalam beberapa bagian buku ini, Tan digambarkan sebagai seorang revolusioner kiri radikal, Bolsyewik, pembaca buku Karl Marx dan banyak berguru dengan para tokoh penting komunis di Rusia dan beberapa negeri Komunis lainnya. Di bagian lain, kisah percintaan pria kelahiran Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 19 Februari 1896, ini juga bisa dibaca.

Yang menarik sekaligus membuat buku ini enak dibaca karena cerita-cerita tentang Tan pada buku ini ditulis dalam bentuk jurnalistik ala majalah Tempo. Majalah yang dirintis dan pernah dipimpin Goenawan Mohamad ini dikenal sebagai pelopor jurnalisme sastrawi di Indonesia.

Buku ini makin berbobot karena juga dilengkapi kolom yang ditulis dari sejumlah pakar yang mengulas dari beragam sudut pandang. Di antaranya sosiolog Ignas Kleden dan sejarahwan Asvi Warman Adam. Sehingga membaca buku ini, kita makin mengetahui sosok Tan Malaka, Bolsyewik sekaligus Bapak Republik yang terbuang. (jumadi mappanganro)

Data buku:
Judul: Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan
Tebal: xx + 184 halaman
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Cetakan pertama: September 2010
Penulis: Tim Tempo
Harga: Rp 48.500

Catatan: Tulisan di atas terbit di Tribun Timur edisi Sabtu, 13 November 2010. Sumber gambar: munyie.com

Komentar