Menengok Kampung Kepiting Rajungan

Bersama Hidayat Palaloi melihat mangrove Kampung Lantebung, 10 Desember 2010.

GERIMIS membasahi pemukiman warga di Kampung Lantebung, Jumat (10/12/2010) sore. 

Kampung ini berada di wilayah administrasi RW 06 Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan.

Walau cuaca terasa dingin, sejumlah pria dewasa di kampung tersebut meninggalkan rumahnya menuju laut. Sekitar satu kilometer dari pesisir, para nelayan ini kemudian menyebarkan pukatnya. 

Tujuan mereka bukan menangkap ikan, melainkan menjaring kepiting rajungan. 

Inilah kampung pemasok kepiting rajungan yang hasilnya biasa ditemui di pasar-pasar tradisional di Kota Makassar, Kabupaten Maros, dan Gowa. 

"Sebagian lagi daging kepiting yang ditangkap nelayan di kampung ini diekspor ke Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan beberapa negara di Eropa," ujar Bahtiar (39) saat saya menemuinya di Kampung Lantebung.

Bahtiar adalah tokoh masyarakat setempat. Ia juga dikenal sebagai juragan pembeli kepiting rajungan untuk diolah. 

Untuk pengerjaan memisahkan daging dari cangkang kepiting itu, pria bertubuh gempal ini mempekerjakan sejumlah perempuan setempat.



Cerita Bahtiar, proses daging yang telah dipisahkan dari cangkangnya itu kemudian dijual kepada pengusaha pengekspor kepiting yang berada di Kawasan Industri Makassar (KIMA).

Menurut Saraba, Ketua RW 06 Kampung Lantebung, jumlah nelayan penangkap kepiting rajungan di kampung tersebut sekitar 110. 

Masing-masing dilengkapi satu perahu. Dalam sehari, setiap nelayan bisa menangkap lima hingga 10 kilogram kepiting. Harga per kilogram kepiting ini senilai Rp 17 ribu.

"Alhamdulillah, dari usaha menjaring kepiting, warga di kampung kami lumayan pendapatannya," ujar Saraba yang saya temui di rumahnya.

Saya tiba di kampung ini saat azan Jumat baru saja usai berkumandang. Setelah memarkir sepeda motor dan menitip tas di rumah Saraba, saya, Sape, dan Haedar Tasakka segera ke masjid. 

Karena hanya berjarak sekitar 50 meter dari rumah Saraba, kami hanya berjalan kaki ke masjid yang sedang tahap renovasi tersebut.

Sape dan Haedar adalah aktivis Institut Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (IPPM) Sulawesi Selatan. 

Saya dan keduanya sudah lama berkenalan. Kami sering berkumpul di Sekretariat JURnaL Celebes, sebuah organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang lingkungan.

Kedua aktivis LSM itulah yang mengajak dan memperkenalkan kepada saya tentang kampung ini.  

Saya belum mengetahui alasan mengapa wilayah pesisir yang berada di sebelah utara dari Kota Makassar ini dikerap disebut Kampung Lantebung.


Mungkin saja karena wilayah tersebut berada di Jalan Lantebung dan kondisi pemukiman warga setempat tak beda dengan kampung pesisir lainnya. 

Kondisi tak beda yang saya maksud di antaranya, rumah warga yang umumnya bermodel rumah panggung. Jalannya pun rusak parah. 

Sebagian masih tampak aspal, namun banyak kubangan. Sebagian lagi belum beraspal.

Setelah jumatan, kami pun terlibat bincang-bincang dengan Saraba, Bahtiar, dan beberapa tokoh masyarakat setempat. 

Perbicangan berlangsung di bawah kolong rumah panggung Saraba. Saat itu juga hadir Direktur IPPM Hidayat Palaloi. 

Seusai makan siang dengan menu utama kepiting rajungan yang dimasak istri Saraba, saya diajak melihat-lihat proses penangkapan hingga pengolahan kepiting rajungan di kampung tersebut. 

Kami menumpang perahu warga setempat. Saya diajak Kak Hidayat melihat dari dekat hutan bakau (mangrove) yang tumbuh rimbun di pesisir pantai kampung tersebut.

Program ini didukung Mangroves for the Future (MFF) dan UNDP.

Dari lembaga donatur itulah Hidayat cs memperoleh bantuan pembibitan sekitar 150 ribu bibit bakau yang ditanam secara bertahap di Kampung Lantebung.

"Saat pertama kali kami mau mengajak warga di kampung ini mengembangkan mangrove, beberapa perwakilan warga dari kampung ini kami ajak studi banding ke kawasan mangrove di Tongke-Tongke, Kabupaten Sinjai," cerita mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Makassar.

Tongke-tongke sengaja dipilih sebagai lokasi peninjauan karena di wilayah tersebut kini memiliki kawasan hutan bakau yang bisa dijadikan proyek percontohan. 

Keberhasilan pengembangan hutan bakau di Tongke-tongke itu juga tak lepas peran pendampingan yanga dilakukan Hidayat sejak lama terhadap warga di Tongke-tongke.

Menurut Hidayat, metode memperlihatkan langsung warga terkait program yang akan dilakukannya itu sangat efektif. 

Buktinya, sepulang dari Sinjai, beberapa perwakilan warga dari Kampung Lantebung akhirnya bersedia mengajak warga lainnya untuk menanam sendiri bakau di kampung mereka. 

Fungsi Bakau

Hasilnya, ujar Saraba, kekhawatiran warganya mulai berkurang seiring makin rimbunnya hutan bakau di kampung mereka. 

Maklum, kampung yang berada di pesisir pantai ini beberapa tahun lalu kerap dilanda rob atau banjir yang diakibatkan oleh air laut yang pasang yang menggenangi daratan. 

Saban banjir, tanah di Kampung Lantebung mengalami pengikisan. Tapi setelah hutan bakau tumbuh rimbun di kampung tersebut, jelasnya, pengikisan pesisir yang kerap menjadi kekhawatiran mereka bisa teratasi. 

Selain itu, adanya hutan bakau itu juga memberi dampak ekonomi bagi masyarakat setempat.

"Di antaranya sumber pencarian kami yakni mencari kepiting rajungan dan tude bisa bertahan lama dengan adanya kawasan mangrove ini," kata Saraba.


Pak Saraba

Hidayat menambahkan, sebenarnya hutan bakau memiliki banyak kegunaan. Di antaranya bisa menjadi tempat pendaratan burung-burung pantai. 

Vegetasi hutan bakau juga dapat melindungi bangunan, tanaman dan vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam melalui proses filtrasi.

Hutan bakau juga bisa menjadi sumber plasma nutfah. Plasma ini sangat berguna bagi perbaikan jenis-jenis satwa komersial maupun untuk memelihara populasi kehidupan liar itu sendiri. 

Bisa juga menjadi tempat wisata dan sarana pendidikan dan penelitian.

"Hutan bakau juga berfungsi sebagai penyerap karbon dan menjaga ketembaban serta curah hujan di kawasan tersebut," jelas dosen STIE Bongaya ini. 

Setelah merasa cukup dengan informasi yang diberikan Hidayat dan menengok hutan bakau sembari naik perahu, kami pun kembali ke darat. 

Kopi dan biskuit rupanya sudah menanti untuk disantap. Perbincangan ringan tentang kampung ini kembali berlanjut di bawah kolong rumah Saraba hingga sore.

Kami meninggalkan kampung ini saat matahari mulai terbenam. (jumadi mappanganro)

Komentar

  1. saya sangat hobi sekali dengan olahan masakan berbahan rajungan, tapi rata rata bumbunya tidak bisa meresap sampai kedalam dagingnya dan rasanya masih agak amis, bagaimana trik supaya hal tersebut tidak terjadi ya mas?

    BalasHapus
  2. Dimana penjual rajungan segar dikota Makassar dan harga per kilo nya berapa

    BalasHapus

Posting Komentar