Anies Baswedan dan Indonesia Mengajar


TAK salah jika pada 2008 lalu, Prof. Dr. Anies Baswedan mendapat anugerah sebagai 100 Tokoh Intelektual Muda Dunia versi Majalah Foreign Policy dari Amerika Serikat. Saya juga bisa memaklumi jika pada April 2010 lalu, Anies yang juga Rektor Universitas Paramadina ini terpilih sebagai satu dari 20 tokoh yang membawa perubahan dunia untuk 20 tahun mendatang versi majalah Foresight yang terbit di Jepang.

Nama mantan Ketua Senat Mahasiswa UGM ini pun wajar jika disejajarkan dengan tokoh dunia seperti Noam Chomsky dan para penerima penghargaan Nobel seperti Shirin Ebadi, Al Gore, Muhammad Yunus, dan Amartya Sen.

Setidaknya itulah yang saya rasakan saat ikut berbincang-bincang dengan Rektor Universitas Paramadina ini di kantor Tribun Timur, Jl Cenderawasih, Makassar, Minggu, 2 Januari 2011 lalu. Walau perbicangan itu hanya berlangsung hampir dua jam, dari cara ia berkomunikasi dan memaparkan pemikiran-pemikirannya itu, saya merasa penilaian di atas wajar.

Anies menemui kami dalam rangka mengajak Tribun ikut menyebarluaskan visi, misi, dan program Yayasan Indonesia Mengajar. Yayasan ini digagas dan didirikan Anies pada penghujung 2009 lalu.

Anies tiba di kantor kami bersama rombongan. Di antaranya ada Direktur Bimbingan Belajar Ranu Prima Muhammad Ramli Rahim yang juga Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Sulsel, putri sulung Anies, dan Direktur Eksekutif Indonesia Mengajar Ikmar.

Beberapa pengajar muda angkatan pertama yang direkrut Yayasan Indonesia Mengajar juga turut hadir. Mereka di antaranya Erwin Puspaningtyas Irjayanti, Firman Budi Kurniawan, Sekar Arrum Nuswantari, dan Soleh Ahmad Nugraha.

Para pengajar muda ini ditempatkan di Kabupaten Majene. Walau satu kabupaten, mereka tidak disatukan dalam satu SD dan rumah penduduk. Melainkan, masing-masing terpisah. Satu orang pengajar muda di tempatkan di dusun berbeda.

Kehadiran mereka di Makassar sekaitan pula dengan sosialisasi Yayasan Indonesia Mengajar yang digelar di kampus Universitas Hasanuddin, Kecamatan Tamalanrea, Makassar, pada Senin, 3 Januari 2010.

Anies bercerita, salah satu program Indonesia Mengajar adalah merekrut para sarjana yang cerdas, berusia di bawah 25 tahun dan memiliki potensi menjadi world class leader di bidangnya masing-masing. Mereka selanjutnya diberi tugas setahun mengajar di daerah-daerah terpencil di Indonesia.

Sebagian besar daerah terpencil itu belum dijamah listrik atau pun sinyal telepon selular. Para pengajar muda ini pun diwajibkan tinggal di rumah penduduk setempat selama setahun.

Pada program kali ini, ada lima kabupaten yang menjadi lokasi penempatan para Pengajar Muda itu. Kelima daerah itu adalah Kabupaten Bengkalis di Provinsi Riau, Kabupaten Tulang Bawang Barat di Provinsi Lampung, Kabupaten Paser di Kalimantan Timur, Kabupaten Majene di Sulawesi Barat, dan Kabupaten Halmahera Selatan di Maluku Utara.

Peminat Tinggi

Kira-kira jika membaca maksud program tersebut, ada tidak ya anak-anak muda yang baru lulus dari perguruan tinggi pavorit di Indonesia itu berminat? Jika ada yang mengatakan bahwa peminat program ini sangat sedikit, hal itu keliru.

Buktinya, papar Anies, saat Yayasan Indonesia Mengajar itu mengumumkan program ini dan membuka pendaftaran angkatan pertama selama enam pekan pada Mei-Juni 2010 lalu, rupanya tantangan itu dijawab secara kolosal. Ada 1.383 sarjana muda mendaftar dengan menyatakan siap jadi guru di daerah terpencil.

Kata Anies, jumlah pendaftar itu memberi gambaran bahwa rupanya masih banyak anak-anak muda di negeri ini yang idealis dan mau berjuang mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Mengharukan.

Namun karena program ini terbatas yang bisa memperoleh kesempatan menjadi Pengajar Muda di yayasan ini, seleksi ketat pun digelar. Seleksi ini melibatkan lembaga profesional yang sudah biasa menangani seleksi calon manager perusahaan-perusahaaan bonafid di Indonesia. Anies sempat menyebut nama perusahaan tersebut, tapi saya lupa nama resminya.

Hasil seleksi itu mengerucut pada 51 nama. Mereka adalah para alumni sejumlah perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Dari buku tentang profil pengajar muda angkatan I 2010 yang dibagi-bagikan pada bincang-bincang tersebut, tertera bahwa ke-51 pengajar muda itu, 14 di antaranya adalah lulusan ITB. Sebanyak 13 dari UI, tujuh dari UGM, lima dari Unair, dan masing-masing tiga dari IPB, Undip, dan Unpad. Serta masing-masing satu sarjana lulus Paramadina, ITS, dan Unhas.

Para pengajar muda ini tergolong sarjana berprestasi secara akademik. Dari 51 pengajar muda itu, sebanyak 37 orang di antaranya memiliki indeks prestasi kumulatif (IPK) di atas 3,25. Sisanya ber-IPK antara 2,80 hingga 3, 24. Dari 51 anak muda itu, 26 di antaranya ternyata sudah bekerja.

Di antaranya Erwin Puspaningtyas Irjayanti yang turut hadir di kantor Tribun. Wanita ini telah bekerja di Bank Mandiri. Dia adalah penulis novel produktif dengan nama pena Anisa Salsabila dan Waheeda El Humayra. Novelnya berjudul Sebuah Penantian dan Hati yang Terluka pada 2008 menjadi novel laris dibeli (best seller).

Tepat pada 10 November 2010 lalu, serentak mereka dikirim ke daerah-daerah tujuan. Namun sebelum mereka dikirim ke daerah-daerah terpencil untuk mengajar, para pengajar muda yang telah lulus seleksi itu mengikuti program pelatihan selama tujuh pekan. Pada pelatihan ini mereka digembleng untuk mengembangkan jiwa kepemimpinan dan kemampuan mengajar. Anies turut langsung memberi materi kepada mereka.

Memberi Inspirasi

Anies yang menyelesaikan pendidikan doktornya di Universitas Northern Illinois, AS, itu mengatakan, selain mengajar, para pengajar muda berkualitas tersebut bertugas memberi inspirasi bagi anak-anak kampung yang ditinggali. Mereka diharapkan hadir menjadi visualisasi nyata atas mimpi para orangtua di daerah-daerah terpencil yang barangkali masih sangat jarang menyaksikan anak-anak desa itu menjadi sarjana.

Para pengajar muda itu juga diharapkan mampu menggandakan sikap optimistik, sikap positif, dan turut merangsang anak-anak di desa terpencil untuk bekerja keras guna meraih kehidupan yang lebih baik.

"Program ini juga dimaksudkan untuk mengisi kekurangan guru berkualitas di sekolah-sekolah dasar, khususnya di daerah-daerah terpencil Indonesia Kita berharap nantinya janji kemerdekaan itu bisa kita lunasi yakni mencerdaskan kehidupan bangsa," papar putra dari pasangan Rasyid Baswedan dan Aliyah Rasyid ini.

Rasyid adalah mantan Wakil Rektor Universitas Islam Indonesia dan putra Abdurrachman Baswedan, seorang jurnalis dan perintis kemerdekaan yang pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan (1946) dan anggota konstituante (DPR) era Presiden Sokearno. Sedangkan Aliyah adalah guru besar di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Prof Koesnadi

Anies mengakui, ide pengiriman dan penempatan pengajar muda berkualitas ke daerah-daerah terpencil di Indonesia itu terinspirasi dari gagasan almarhum Prof Dr Koesnadi Hardja Sumantri SH ML yang disebut sebagai gurunya.

Koesnadi yang dimaksud adalah Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) periode 1986-1990 dan meninggal pada kecelakaan pesawat Garuda Rabu, 7 Maret 2007, di Bandara Adisucipto, Jogjakarta. Ia juga dikenal sebagai penggagas Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang kini diterapkan seluruh perguruan tinggi di Indonesia.

Menurut Anies, saat Prof Koesnadi baru saja menyelesaikan sarjananya, ia bersama tujuh rekannya memilih mengajar di pelosok negeri ini. Mereka tersebar. Prof Koesnadi memilih mengajar dan menetap beberapa tahun di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Waktu itu, Kupang masih sangat tertinggal. Beberapa muridnya di Kupang itu kemudian melanjutkan pendidikan di UGM dan kelak menjadi tokoh dan hidup mapan.

Pada era Prof Koesnadi menjabat Rektor UGM, dibuat program pengiriman tenaga mahasiswa (PTM) ke pelosok-pelosok untuk mengajar. Kelak program PTM ini bernama KKN. Kata Anies, jika banyak anak-anak dari desa di Indonesia pada era tahun 70-80-an yang kini menjadi tokoh saat ini, sedikit banyak karena pengaruh kerja-kerja dari program PTM.

"Jadi semangat menyebarkan pengajar muda ke daerah-daerah terpencil itu juga bagian dari melanjutkan semangat dan gagasan Prof Kus," ujar Anies yang mengaku kagum dan meneladani sosok gurunya, Prof Koesnadi.

Mendengar paparan Anies tersebut, siapa yang tak tersentuh untuk mendukungnya? Mendengar ulasan Anies itu makin membuat saya percaya Anies kelak bisa membawa perubahan dunia pada masa mendatang, minimal rakyat Indonesia makin cerdas. Semoga tercapai. Amin.

Saya berharap bisa pula mengikuti semangat dan ide brilian Anies tersebut kelak. Amin. (jumadi mappanganro)

Makassar, 4 Januari 2011


Catatan: Tulisan di atas pertama kali diposting di www.kompasiana.com dan sempat menjadi headline pada 4 Januari 2011. Hanya dalam beberapa setelah diposting, dibaca lebih 500.

Komentar