Bedah Buku Bersama Andreas Harsono


SAYA merasa beruntung bisa menghadiri Bedah Buku 'A9ama' Saya Adalah Jurnalisme, Rabu (23/3/2011) siang. Acara yang digelar Lembaga Penerbitan dan Penyiaran Mahasiswa (LPPM) Profesi UNM ini berlangsung di Hotel La Macca, Jalan Andi Pangerang Petta Rani, Kota Makassar.

Banyak alasan mengapa saya mengatakan beruntung menghadiri bedah buku tersebut. Di antaranya karena bedah buku ini menghadirkan penulisnya, Andreas Harsono, sebagai pembicara.

Bagi saya, Andreas adalah tipe jurnalis sekaligus kritikus media massa yang masih langka di Indonesia. Itu karena ia tergolong rajin menulis kritikannya terhadap laku dan karya jurnalis serta media massa di Indonesia. Tulisannya pun selalu bernas, jelas, sekaligus enak dibaca.

Ia pernah bekerja sebagai wartawan The Jakarta Post, The Nation (Bangkok), The Star (Kuala Lumpur), dan Pantau (Jakarta). Dia juga pernah menerima Nieman Fellowship on Journalism dari Universitas Harvard. Di Universitas Harvard, Andreas pernah belajar langsung dari Bill Kovach, penulis buku Sembilan Elemen Jurnalisme yang kemudian menjadi "kitab" para jurnalis abad 21.

Bedah buku ini saya nilai makin berbobot karena juga menampilkan dua penanggap yang berkompeten. Kedua penanggap itu adalah Kepala Biro Koran Tempo Makassar Elik Susanto dan dosen Universitas Negeri Makassar (UNM) Dr Ahyar Anwar yang dikenal sebagai penulis dan kritikus sastra di Sulsel.

Melalui bedah buku ini saya merasa mendapat banyak tambahan ilmu, khususnya tentang jurnalisme dari ketiga pembicara tersebut. Dari Andreas, saya merasa kembali diingatkan tentang desain suratkabar yang membutuhkan adanya garis tipis untuk memisahkan berita dan iklan.

Garis tipis ini merupakan lambang pagar api (firewall) yang mencerminkan prinsip antara berita dengan iklan harus dipisahkan secara tegas. Katanya, pada sejumlah surat kabar berpengaruh di luar negeri, pagar apinya jelas.

Sedangkan pada media massa di Indonesia, khususnya surat kabar banyak lagi yang tak jelas adanya pembatasan berita dengan iklan sehingga kerap bercampur. Menurutnya, media massa yang tak jelas pagar apinya itu, lambat laun bakal mengalami penurunan tingkat kepercayaan di mata publik. Konsekuensinya lambat atau cepat, nilai media massa itu juga akan menurun.

Pada kesempatan itu, lelaki yang ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga memaparkan bahwa seiring perkembangan teknologi informasi, internet khususnya, telah berdampak pada maraknya jurnalisme warga (citizen journalism). Terkait keberadaan jurnalisme warga itu, Andreas sependapat dengan gurunya, Bill Kovach.

Dalam buku edisi revisi The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel memasukkan jurnalisme warga sebagai elemen ke-10. Inti pesan dalam buku baru ini menegaskan bahwa siapa saja (publik) dibolehkan menjadi wartawan atau melakukan kegiatan jurnalistik. Kegiatan dimaksud adalah mencari, memperoleh, menyimpan, mengolah, memerifikasi, dan menyebarluaskan informasi tersebut kepada publik.

"Disiplin verifikasi dimaksudkan agar berita yang disebarkan ke publik itu tak menjadi tsunami. Ibarat air dalam wadah botol, jika diminum menyehatkan. Tapi jika air itu sudah menjadi tsunami, tentu bisa merusak. Begitu pula dalam hal berita," tutur pria kelahiran Jember, Provinsi Jawa Timur, ini.

Sebagai oleh-oleh dari bedah buku itu, Andreas menyarankan agar wartawan masa kini sebaiknya bisa menguasai bahasa Inggris, membuat blog, dan tak bosan terus belajar untuk memperdalam pengetahuannya, terutama di bidang jurnalistik.

Tentang Buku

Buku yang dibedah tersebut merupakan kumpulan (antologi) tulisan Andreas sejak tahun 1999 lalu. Sebagian tulisan pernah dimuat di beberapa media massa di Indonesia. Sebagian lainnya merupakan makalah Andreas yang pernah disampaikan pada beberapa pelatihan.

Buku dengan sampul yang didominasi warna merah ini diterbitkan Kanisius, Yogyakarta, 2010 lalu. Buku antologi ini terdiri 268 halaman yang memuat 34 judul tulisan Andreas. Buku ini juga antara lain membahas tentang sembilan elemen jurnalisme, model pelatihan wartawan mahasiswa, byline dan tagline, dan pagar api desain suratkabar.

Ada juga yang membahas jurnalisme warga, belajar menulis bahasa Inggris, kupas tuntas Tomy Winata, independesi Bill Kovach, jurnalise dan nasional, apa itu investigatif reporting, dan kapan wartawan boleh mencuri?

Menurut Andreas, ada beberapa alasan ia menggunakan kata 'a9ama' pada judul buku tersebut. Di antaranya karena kata ini bermakna pakaian kebesaran, merujuk kata agama yang disadur dari bahasa Jawa yakni agaman. Selain itu, juga memenuhi syarat pemasaran.

Sedangkan angka sembilan yang menyelip pada kata 'a9ama' itu merujuk sembilan elemen jurnalisme yang dirumuskan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Kovach dan Rosenstiel pernah bekerja sebagai jurnalis di surat kabar berpengaruh di Amerika Serikat yang kini banyak mendedikasikan hidupnya sebagai pengajar jurnalisme dan kritikus media.

Penjelasan mengapa ia menggunakan kata agama dan angka sembilan pada judul bukunya itu memang sengaja tak dijelaskan dalam buku ini. "Nanti saat bedah buku seperti ini barulah saya jelaskan dan hal ini memang kerap ditanyakan," ujar Andreas yang saat bedah buku itu tampil mengenakan kemeja yang didominasi warna merah.

Peserta
Bedah buku yang dibuka Rektor UNM Prof Dr Arismunandar ini dihadiri sekitar 100-an peserta. Para peserta tak hanya kalangan mahasiswa, ada juga kalangan dosen, jurnalis, dan masyarakat pemerhati media massa.

Di antara mereka hadir mantan Rektor UNM Prof Dr Paturungi Parawangsa, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan Rusdin Tompo dan dosen Universitas 45 Makassar Fadly M Natsif.

Hadir pula Ketua AJI Makassar Ana Rusli, Koordinator Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi Upi Asmaradhana, serta sejumlah aktivis pers kampus. Untuk mengikuti kegiatan ini, tak dipungut bayaran.

Di lokasi acara bedah buku ini, saya sempat membeli buku' A9ama' Saya Adalah Jurnalisme. Harganya Rp 50 ribu untuk satu buku. (jumadi mappanganro)

Komentar