Lokalitas di Balik Fort Rotterdam

(Sumber: Kompas edisi 8 Oktober 2010)

Jejak-jejak kolonial Belanda ditemukan bertebaran di Tanah Air. Selain bangunan tempat tinggal, gudang rempah-rempah, dan perkantoran, bekas polesan arsitektur Belanda juga ditemukan dalam bentuk benteng pertahanan.

Sejumlah catatan menyebutkan, terdapat 160 benteng kolonial yang ada di Indonesia. Salah satu benteng yang masih relatif utuh dan kokoh adalah Fort Rotterdam yang ada di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng itu merupakan pusat pemerintah kolonial Belanda dan VOC untuk wilayah timur Nusantara.

Belanda mengutus Laksamana Cornelis Speelman meredam perlawanan Raja Gowa XVI, Sultan Hasanuddin, pada 1666. Speelman merebut benteng itu tahun 1667 dari Kerajaan Gowa setelah memenangi perang Makassar. Perjanjian Bungaya menandai penyerahan benteng itu dari Sultan Hasanuddin.

Kegagahan Fort Rotterdam yang berada di lahan seluas 2,5 hektar itu masih terlihat sampai sekarang. Walaupun di beberapa bagian terjadi kehancuran, secara umum benteng itu masih terlihat sangat kokoh dengan rata-rata ketebalan dinding benteng mencapai dua meter.

Saat masih menjadi pertahanan Kerajaan Gowa, benteng yang dibangun tahun 1545 itu bernama Benteng Panyua dengan merujuk pada bentuknya yang mirip penyu. Penyu merupakan simbol pertahanan darat dan maritim, mengingat hewan tersebut bisa hidup dua alam: darat dan laut.

Speelman mengganti namanya menjadi Fort Rotterdam untuk mengenang tempat kelahirannya, Rotterdam, di Belanda.

Walaupun kemudian Speelman memperkuatnya, keaslian benteng berbentuk penyu dan material bangunan dari batu karang, batu andesit, dan pasir serta kapur sebagai perekatnya masih tetap dipertahankan. Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar Andi Muhammad Said mengatakan, bangunan benteng hingga kini hanya mengalami renovasi kecil.

Renovasi ringan

Bangunan-bangunan yang berada di dalam kompleks benteng yang berjumlah 16 buah juga hanya mendapatkan renovasi ringan karena masih sangat kokoh. Bangunan-bangunan bergaya abad pertengahan di dalam kompleks benteng itu memang dibuat permanen oleh Speelman, antara lain gereja dan perkantoran. Kini, bangunan sayap kanan dijadikan museum La Galigo.

Selain karena sentuhan arsitek Belanda yang terkenal andal, kegagahan Fort Rotterdam tak bisa dilepaskan dari kecermatan arsitek-arsitek pribumi dari Kerajaan Gowa. Kemampuan arsitektur cendekiawan Gowa pada zaman itu juga bisa dilihat di Benteng Somba Opu, Kabupaten Gowa.

Kini, benteng Somba Opu yang dibangun menggunakan batu padas dan batu bata merah di tepi Sungai Jeneberang memang tidak utuh lagi karena sudah hancur di sejumlah bagian. Namun, bagian yang masih utuh memberi bukti bahwa para arsitek sudah merancang bangunan itu dengan sangat detail.

Pengamat sejarah dan budaya Sulawesi Selatan, Ishak Ngeljaratan, mengatakan, pemikiran-pemikiran kritis merupakan salah satu keunggulan yang dimiliki oleh Kerajaan Gowa pada masa itu. Ishak menunjuk kemampuan Karaeng Patingalloang, cendekiawan Gowa pada tahun 1600-an yang menguasai beberapa bahasa. Patingalloang menguasai sejumlah bahasa, di antaranya Latin, Belanda, Perancis, dan Arab. Kemampuannya itu membuat banyak negara kagum.

Menurut Ishak, tradisi kritis itu telah tumbuh sebelum Patingalloang ada. Kemungkinan besar, tradisi kritis itu pulalah yang mengilhami para arsitek Gowa dalam membangun benteng-bentengnya.

Belakangan ini, generasi muda Makassar menggagas kembalinya nama Benteng Rotterdam bernuansa lokal. Topik tersebut diperbincangkan di berbagai diskusi warung kopi dan dunia maya. Sejumlah usulan nama mengemuka, antara lain Pannyua, Makassar, dan Hasanuddin.

Melekatkan Rotterdam pada nama benteng itu sama saja dengan melestarikan ingatan kolektif akan pengisapan Belanda di Bumi Pertiwi.

”Mengapa harus mengabadikan nama kolonial pada jejak sejarah yang jelas-jelas bikinan pribumi? Pada era globalisasi, mari kita kuatkan lokalitas agar bangsa kita disegani,” ujar Jumadi Mappanganro, anak muda Makassar. (aha/nar)

 

Keterangan foto: Imam Fadhlurrahman Mappanganro berdiri di tengah Benteng Rotterdam, Makassar, Sabtu, 19 Maret 2011. Foto: jumadi mappanganro

Komentar