Sang Komunis dari Bumi Laskar Pelangi

SIAPA yang tak kenal DN Aidit? Bertahun-tahun orang mengenalnya dengan cap komunis yang 'jahat'. Hal itu karena dalam banyak buku sejarah dan film Pengkhianatan G-30-S/PKI yang kerap kita tonton pada rezim Orde Baru, Aidit dikisahkan sebagai orang yang memerintahkan pembunuhan massal di Jakarta pada 1965.


Sedangkan sisi lain dari pria bernama lengkap Dipa Nusantara Aidit ini tak banyak diketahui. Maka kehadiran buku Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara yang diangkat dari liputan khusus Majalah Berita Mingguan Tempo pada 2007 lalu ini menarik.

Sebab di buku ini banyak menyingkap hal-hal tentang Aidit yang masih sangat sedikit diketahui orang. Di antaranya bahwa pria kelahiran Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), pada 30 Juli 1923 ini juga banyak berjasa membawa Indonesia merdeka.

Bersama sejumlah aktivis pemuda antifasis seperti Wikana, Aidit disebut pernah terlibat menculik Soekarno dan Mohammad Hatta ke Rengasdengklok, Karawang. Penculikan itu dilakukan untuk mendesak Soekarno dan Hatta menyampaikan Proklamasi Kemerdekaan RI, Agustus 1945 lalu.

Walau sempat menolak, berkat desakan tersebut, Soekarno dan Hatta kemudian memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Sejak itulah Soekarno dan Aidit akrab.

Aidit yang tergabung dalam Aktivis Pemuda Indonesia (API) juga pernah bersama barisan buruh dan tani memprakarsai sebuah rapat raksasa di Lapangan Ikada (sekarang Monas), Jakarta, untuk menunjukkan dukungan rakyat kepada Soekarno dan Hatta. Ketika itu September 1945.

Tapi, hingga waktu yang direncanakan, Soekarno belum muncul. Massa yang datang sejak pagi di Lapangan Ikada mulai marah. Tiba-tiba, di bawah todongan moncong senapan tentara Jepang yang mengelilingi Ikada, Aidit bersama Suryo Sumanto naik podium.

Dua orang ini kemudian mengajak massa menyanyikan lagu perjuangan. Di antaranya Darah Rakyat, Padamu Negeri, dan Maju Tak Gentar. Massa pun tenang kembali hingga Soekarno tiba.

Di buku ini juga dituliskan bahwa Aidit semasa kecilnya kerap mengumandangkan azan di kampung halamannya, 'Bumi Laskar Pelangi'. Ia juga sebutkan sebagai pemuda cerdas, radikal, sekaligus organisatoris ulung. Buktinya, hanya setahun setelah diberi amanat sebagai Ketua Central Comittee Partai Komunis Indonesia (PKI), ia mampu membawa PKI sebagai peraih suara terbesar keempat di Indonesia pada Pemilu 1955.

Saat itu, Aidit baru berusia 31 tahun. Usia yang tergolong masih sangat muda bagi ketua partai politik besar di tingkat nasional. Bandingkan dengan usia para ketua partai politik tingkat nasional saat ini.

Sepak terjang Aidit berakhir pada Oktober 1965 setelah Gerakan 30 September gagal. Ia kemudian ditangkap tentara di Solo, Provinsi Jawa Tengah. Pria yang bercita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara komunis ini kemudian meninggal setelah disirami peluru dari senapan Kalashnikov.

Buku ini juga banyak mengetengahkan pemikiran, ketakutan, kekecewaan, pengkhianatan, juga kisah cinta dan perselingkuhan sejumlah tokoh komunis Indonesia. Kisah tentang DN Aidit ini adalah satu cerita tentang orang 'kiri' Indonesia.

Buku ini makin menarik juga karena dilengkapi foto-foto Aidit bersama keluarga dan rekan-rekannya yang belum banyak dipublikasikan. Membaca buku ini rasanya sangat beda dibandingkan membaca buku-buku sejarah tentang PKI dan Aidit umumnya. Ini karena buku ini ditulis dalam bentuk reportase jurnalistik sastrawi khas majalah Tempo.

Pada akhirnya, membaca buku ini kita bisa makin arif dan bijak menilai sosok Aidit. Sebab buku ini juga memberi pelajaran bahwa predikat 'pemberontak' dan 'pahlawan' amat tipis bedanya. (Jumadi Mappanganro)

Data Buku
Judul: Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara
Penulis: Tim liputan khusus majalah Tempo
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tebal: xiv + 143 halaman
Harga: Rp 40 ribu
ISBN: 13:978-979-91-0279-9

Catatan: Resensi buku di atas ditulis di Jakarta, 23 Juni 2011. Dimuat di Tribun Timur edisi Jumat, 24 Juni 2011.

Komentar